Recent Posts

settia

Benarkah Palestina Negara Pertama Yang Mengakui Kemerdekaan Indoneaia ? Dimana Tahun 1945 Palestina Belum Menjadi Sebuah Negara dan Masih Menjadi Kolomi Inggris


Benarkah Palestina Negara Pertama yang Mengakui Kemerdekaan Indonesia? Sedangkan di tahun 1945 Palestina belum menjadi sebuah negara dan masih di bawah koloni Inggris.

Proses pengakuan kemerdekaan Indonesia menjadi babak berikutnya, setelah kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, dalam perjalanan sejarah kita. Keberhasilan Indonesia mendapatkan dukungan diplomatik dari dunia internasional merupakan kesuksesan para diplomat kita melobi dan bernegosiasi. Beberapa negara awal, terutama negara-negara di kawasan Timur Tengah, menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia. Dan, mengenai hal ini, negara yang sering dianggap sebagai negara pertama yang mendukung dan mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Palestina. 

Apakah benar anggapan tersebut secara historis? Jika tidak, mengapa anggapan ini muncul? Apa pengaruh dari anggapan tersebut bagi masyarakat kita? Tulisan awal ini  mencoba menjawab dan menguraikan ketiga pertanyaan tersebut.

Anggapan ini pertama kali dinyatakan dalam tulisan M. Zein Hassan. Ia mengatakan bahwa pernyataan “Palestina” muncul pada laporan Panitia Pusat kepada Pemerintah Republik Indonesia pada Agustus 1946. Diungkapkan, dalam laporan tersebut, pada 6 September 1944, Radio Berlin yang berbahasa Arab menyiarkan sebuah berita mengenai “pengakuan kemerdekaan oleh Jepang”[1] kepada Indonesia, yang disuarakan oleh Mufti Besar Palestina, Amin al-Husayni,[2] selama dua hari berturut-turut. Informasi ini kemudian disebarkan oleh masyarakat Indonesia di Mesir melalui harian Al-Ahram.[3] Tidak dapat diketahui cara mereka memberitakan hal tersebut, mengingat kesulitan untuk menjangkau sumber tersebut.[4]

Disayangkan, Zein Hassan tidak menjabarkan lebih lanjut mengenai pernyataan ini. Yang ia lakukan adalah lebih sebagai memberikan sebuah kutipan langsung. Tidak ada penjabaran lebih lanjut posisi Amin al-Husayni mengenai berita yang ia sampaikan. Juga, tidak ada argumentasi mengenai keberadaan al-Husayni di Jerman, untuk kepentingan apa, dan apa relevansi antara pemberitaan tersebut dengan janji Jepang dan perang yang sedang berkecambuk. Penyelidikan lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui hal ini.

Respon atas laporan Panitia Pusat, menurut saya, mungkin diterima positif oleh masyarakat Indonesia. Dengan melihat kedekatan antara Abdul Kahar Mudzakkir dengan Amin al-Husayni, bisa dikatakan bahwa laporan ini ditindaklanjuti dalam bentuk pandangan lain oleh para tokoh Indonesia.[5] Meski begitu, ini masih sekadar asumsi, dan penelusuran lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui hal ini secara lebih mendalam.

Ketika pernyataan al-Husayni, yang termuat dalam laporan pada 1946 dan dimuat dalam Zein Hassan menjadi sebuah pemikiran kolektif dan “fakta” dalam benak masyarakat Indonesia, posisi Mesir, yang menyatakan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia pada 22 Maret 1946, menghilang. Padahal, secara de facto, mereka merupakan negara pertama yang melakukan hal tersebut, dan hal ini mendorong negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab untuk ikut mendukung kemerdekaan Indonesia, seperti yang tercatat dalam keterangan Mohammad Abdul Mun’in kepada Soekarno pada 15 Maret 1947 mengenai keputusan sidang Dewan Liga Arab pada 18 November 1946.[6] Palestina, saat itu, masih belum menjadi sebuah negara, tetapi masih sebagai identitas etnis dan bangsa Arab yang lahir di wilayah Mandat Palestina, yang dikelola Inggris.[7]

Saya tidak dapat memastikan kapan pernyataan Zein Hassan menjadi sebuah pemikiran kolektif secara pasti. Saya berasumsi bahwa anggapan ini digemakan pertama kali di Indonesia sekitar tahun 1950-an. Namun, siapa yang menyebarkan kabar ini pertama kali, masih sulit untuk dipastikan. Saya hanya dapat mendasarkn asumsi ini dengan melihat  hubungan antara Indonesia dengan Palestina yang akrab dan erat erat karena memiliki kesamaan agama. Selain itu, Sukarno juga merupakan orang yang tengah gencar membangun solidaritas bagi negara-negara di Asia dan Afrika pada pertengahan 1950-an, khususnya dalam Konferensi Asia Afrika.[8]

Satu hal yang dapat pastikan, anggapan mengenai Palestina sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia berpengaruh dalam lingkungan masyarakat Muslim di Indonesia. Ini dapat kita lihat dan amati dalam berbagai aksi solidaritas menuntut kemerdekaan Palestina dari hegemoni Israel yang selalu bergema, terlebih lagi ketika berita mengenai kekejaman Israel populer. Aksi solidaritas tersebut dilakukan dalam berbagai wujud, seperti aksi demonstrasi, dukungan melalui berbagai media sosial, penggalangan dana, hingga dalam ranah sepakbola.[9] Anggapan tersebut, pada akhirnya, mengkristal menjadi sebuah “fakta” dan “kepercayaan”, mengingat bahwa dengan mempercayai hal ini, menyatakan bahwa Indonesia dan Palestina adalah bersaudara.

Keberadaan anggapan tersebut ini tumbuh dan mengakar di Indonesia, meskipun, secara historis, kontradiktif dengan realita yang ada. Juga, dukungan tersebut muncul dari seorang Mufti, dan terlepas apakah pernyataan yang ia sampaikan mewakili seluruh rakyat Palestina atau bukan, tidak dapat menjadi dasar dan bukti bahwa Palestina sebagai negara pertama yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Mungkin, lebih tepat, apabila dukungan Amin Al-Husayni dipandang sebagai sebagai “orang pertama yang mendukung kemerdekaan Indonesia”.

Meskipun “kepercayaan” tersebut hanya sebatas anggapan yang tidak memiliki dasar yang kuat dan meyakinkan secara historis, keberadaannya menjadi penting dalam mentalitas masyarakat Indonesia. Siapapun yang mencoba melakukan pembantahan atas “kepercayaan” ini, harus bersiap-siap menerima berbagai “serangan frontal” dari mereka yang mempercayainya. Ini merupakan salah satu poin dalam melihat keberadaan sebuah “kepercayaan” akan sebuah realita sejarah, yakni tidak hanya terfokus mengenai apakah ia benar atau salah, tetapi juga melihat signifikasi dari “kepercayaan” tersebut.

Keberadaan anggapan ini membuat masyarakat Muslim di Indonesia memiliki solidaritas tinggi[10] yang berlandaskan kesamaan keagamaan, terutama berbicara mengenai Palestina. Bukankah entitas keagamaan dan kebangsaan merupakan salah satu faktor yang dapat membentuk persatuan umat manusia, seperti yang pernah diungkapkan Yuval Noah Harari?[11]

Penulis : Dzikri

Editor : Ema


Catatan kaki:

[1] Pada 7 September 1944, dalam Sidang Istimewa ke-85 Teikoku Ginkai (Parlemen Jepang) di Tokyo, Perdana Menteri Kuniaki Koiso mengumumkan tentang pendirian Pemerintah Kemaharajaan Jepang, dan mengatakan bahwa daerah Hindia Timur diperkenankan merdeka dikemudian hari. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2011), hlm. 120-121.

[2] Mufti Yerusalem dari 1921 hingga 1937. Sepanjang 1937 hingga 1945, ia mengasingkan diri ke Eropa dan berkerjasama dengan Hitler dan kekuatan Axis. Ua juga memiliki agenda tersendiri mengenai kemerdekaan bangsa Arab dan dunia Islam dari hegemoni  Inggris. “Hajj Amin al-Husayni: The Mufti of Jerusalem” https://encyclopedia.ushmm.org/content/en/article/hajj-amin-al-husayni-the-grand-mufti-of-jerusalem. Diakses pada 9 Agustus 2021.

[3] Harian tertua kedua yang terbit di Mesir, dan saat ini beredar paling luas di wilayah tersebut. Menurut M. Zein Hassan, saat itu, terbitan ini dipimpin oleh Abdul Hamid Al-Ghamrawi, yang digambarkan “selalu berbaju hitam dan berdasi hitam”, dan “sangat simpati terhadap gerakan” yang ada. M. Zein Hassan, Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri (Jakarta Bulan Bintang, 1980), hlm. 40.

[4] Dokumen ini tersedia dan dapat ditelusuri ketika melakukan penelusuran. Hanya saja, tidak dapat diakses secara publik.

[5] Tashadi, Prof. K. H. Abdul Kahar Mudzakkir: Riwayat Hidup dan Perjuangan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), hlm. 18-19.

[6] Wildan Insan Fauzi dan Neni Nurmayanti Hasanah. “Diplomat dari Negeri Kata-Kata (Diplomasi Haji Agus Salim pada Inter Asian Relation Conference dan Komisi Tiga Negara)” dalam HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, Vol. 2, No. 2, 2019, hlm. 115.

[7] Mengenai hal ini, lihat Muhammad Y. Muslih, The Origins of Palestinian Nationalism (New York: Columbia University Press, 1988); Bernard Wasserstein, The British in Palestine: The Mandatory Government and the Arab-Jewish Conflict, 1917-1929 (London: The Society, 1978).

[8] M. F. Mukhti, “Sukarno dan Palestina”, https://historia.id/politik/articles/sukarno-dan-palestina-Dw5OP, diakses pada 13 Agustus 2021.

[9]“Kejadian Aneh Suporter Timnas Indonesia U-23 Bernyanyi Merayakan Kemenangan Palestina”, https://www.bola.com/asian-games/read/3620075/kejadian-aneh-suporter-timnas-indonesia-u-23-bernyanyi-merayakan-kemenangan-palestina, diakses pada 13 Agustus 2021.

[10] Muhammad Abdan Shadiq, Hamdi Muluk, dan Mirra Noor Milla. “Support for Palestine Among Indonesian Muslims: Religious Identity and Solidarity as Reasons for E-Petition Signing” dalam Psychological  Research on Urban Society, Vol. 3, No. 1, 2020, hlm. 44.

[11] Yuval Noah Harari, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018), Bab 12.