Recent Posts

settia

Algoritma Nikel Masa Depan Indonesia


Bukan sekali atau dua kali, bu Menkeu mengungkapakan kekhawatirannya tentang Indonesia yang berpotensi terjebak dalam "middle income trap" atau negara yang terjebak pada penghasilan menengah terus menerus. Itu bukan monopoli atau tidak hanya terjadi pada negara kita saja tapi merupakan tantangan bagi setiap negara berkembang.

Dengan mudah kita akan menyebut Jepang,  singapore, Korea Selatan, Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan banyak negara di Eropa barat adalah negara-negara yang masuk kategori negara maju, negara dengan tingkat penghasilannya yang tinggi. 

Mereka tak memiliki kekayaan semelimpah kita namun sumber daya manusiannya telah mencapai titik luar biasa. Mereka juga adalah negara-negara yang sudah pernah melewati jebakan itu dan kini telah menjadi negara kaya tapi pada suatu saat dulu mereka juga pernah sama seperti kita. 

Mustahilkah negara kita akan dapat melewati jebakan itu? Bila ukurannya adalah seberapa kaya sumber daya alam kita, jawaban positif "ya kita pasti bisa" muncul di sana.

Namun bukankah kekayaan alam tersebut tak mungkin mendapat nilai tambah bila SDA kita buruk? Ini adalah masalah kita. Di sisi yang lain, kekayaan alam yang melimpah pada suatu negara di mana SDA nya buruk seringkali justru akan menjadi sebab sebuah negara terpuruk.

Itu terjadi pada banyak negara-negara Afrika, sebut saja Kongo negara dengan SDA berupa cobalt. Cobalt adalah salah satu mineral bumi yang langka sekaligus sangat dibutuhkan dalam banyak kebutuhan teknologi. Kongo yang diberi anugerah besar atas mineral langka itu bukan hanya masuk dalam kategori negara berkembang, Kongo bahkan masuk dalam 10 negara termiskin di dunia.

Kekayaan alamnya telah menjadi sumber perpecahan. Perang saudara tak mengenal kata lelah terus terjadi di sana. Para kapitalis tamak berebut dalam lumpur penuh darah sang pribumi demi barang langka anugerah rakyat Afrika tengah tersebut.

Tak separah Kongo, namun perlakuan yang sama dari para kapitalis asing pada negeri kita ini pernah mereka coba. Perang saudara pada tahun 1965 atau yang kita kenal dengan peristiwa G 30 S PKI tak dapat dilepas dari agenda tersebut. 

Dengan mudah itu dapat kita buktikan yakni terjadinya bagi-bagi jarahan dari minyak di Aceh hingga blok Mahakam hingga gunung emas di Papua. Dari Inggris, Perancis hingga AS mendapat hadiah hak eksploitasi SDA kita tak lama setelah Soeharto berkuasa. 

Jauh sebelum itu, banyak peristiwa pemberontakan yang terjadi pun selalu ada dalang di belakangnya. Ada indikasi peran AS pada pemberontakan PRRI 1958. Pun pada peristiwa pemberontakan DI/TII hingga Kahar Muzakar.

Indonesia pada satu sisi sebagai negara yang kaya sumber daya alam sekaligus terlalu besar wilayahnya bukan jenis negara diinginkan oleh banyak pihak. 

Negara-negara Persemakmuran seperti Malaysia, Singapore, Brunei, Papua New Ginea dan Australia yang mengelilingi kita sering merasa tak nyaman dengan negara kita. Itu terkait dengan peristiwa 1964 saat Presiden Soekarno mengkampanyekan ganyang Malaysia. 

Indonesia negara yang demikian besar dan memiliki angkatan perang hebat pernah menjadi ancaman bagi kelompok negara-negara itu.

Kita memang tak pernah terlarut dalam perang saudara tak berkesudahan seperti Kongo, namun rasa persatuan kita selalu mudah dibuat rusak. Kita demikian mudah terpecah hanya karena hal-hal sepele. Dan itu tampak dengan jelas pada banyaknya peristiwa pemberontakan sejak negara ini merdeka hingga 1965.

Stabilitas keamanan negeri ini memang sempat terjaga dengan baik saat Soeharto berkuasa sejak 1967 namun bukankah itu terjadi karena mereka yang terindikasi selalu berada di belakang setiap kerusuhan telah mendapat apa yang mereka inginkan?🙄. Kita telah memberi apa yang mereka mau?

Bukankah Itu langsung terbukti dan tampak pada kerusuhan Poso, Ambon, GAM hingga gejolak Papua yang langsung terjadi di negeri ini tak lama setelah Soeharto turun? Pun cerita pelepasan diri Timor Timur dari Indonesia dan tertampak pada arogannya sikap Australia.

"Trus apa kaitannya dengan kegelisahan ibu Menkeu tadi?"

"Turah-turah" (berlebih) SDA kita bila hanya ingin membuat Indonesia kaya. Menjadi masalah adalah ketika SDM kita tak memenuhi syarat bagi nilai tambah atas bahan mentah tersebut apalagi bila hanya dikeruk oleh asing atas perselingkuhannya dengan para politisi kita. Itu adalah apa yang kita lihat saat Orba berkuasa.

Enam tahun pertama sejak reformasi negeri ini dipimpin oleh 3 orang Presiden. Tak banyak yang dapat beliau-beliau lakukan dengan pemerintahan yang amat sangat singkat. Reformasi terlihat seperti tak berkutik melawan oligarki yang telah demikian kuat.

Harapan pada SBY atas 10 tahunnya berkuasa tak terlihat hadir. Kapitalis asing dalam wajah ormas agama hingga hak asasi manusia justru semakin kuat. Hatei yang ditolak pada banyak negara disambut. Efpei makin bersinar dalam benderang justru tampak pada periode ini. Kita terjebak. 

Banyak rakyat kita yang terbuai agama dan berangkat ke Suriah demi sesuatu yang bukan bangsa ini punya urusan. Pun dia yang dulu dikejar Soeharto dan lari ke Malaysia karena menolak asas tunggal Pancasila justru diangkat menjadi dewan penasehat KPK hingga wajah KPK berubah.

Pada periode ini, sekali lagi kita tampak hebat dalam stabilitas keamanan. Semua senang, semua terbagi secara rata. Tak ada alasan bagi hadirnya kemarahan. Negeri ini tampak tenang tanpa gejolak.

Benarkah?

Bumi datar, babi ngepet, hingga surga tertuju seolah hanya demi bidadari kini justru banyak dipercaya oleh warga negeri ini sebagai hasil. Itu tak terlepas dari abai kita pada radikal agama. Itu akibat langsung dari diam kita ketika semua ruang mereka rampas. 

Adakah SDM seperti ini akan mampu memberi nilai tambah atas SDA berlimpah kita? 

Adakah ini tak terkait dengan mereka yang di luar sana ingin negara ini tetap bodoh dan maka radikal cara kita beragama menjadi targetnya? 

Di luar sana, bukan hanya pemerintahan suatu negara, swasta pun sedang berebut ilmu demi membuat pijakan bagi kaki mereka pada planet Mars. Di sini, kita masih berdebat dalam tegang tentang bentuk bumi bulat atau datar.

Di luar sana, orang sudah berebut membuat kecerdasan buatan agar pekerjaan yang tak mungkin dapat dilakukan fisik kita, terbantu perangkat tersebut. Tak mau kalah kreatif, kita minta bantuan babi ngepet. 

Masih ada dan banyak kebodohan fatal kita tampilkan dalam bangga. 

Bukan hanya kita masuk pada jebakan negara berpenghasilan menengah, negara kita justru akan menjadi makin miskin. Itu adalah arah tertuju bila kebodohan level mengerikan seperti ini masih kita biarkan hidup di negeri ini.

Kita dibuat sibuk mencaci orang lain dibanding mencari teman. Kita didorong mundur jauh ke belakang dan kita tak boleh melawan karena alasan agama.

Dengan level SDA seperti itu, bermimpi menjadi maju seperti Jepang atau Jerman, jelas hanya retorika belaka. Terlalu jauh api dari panggangan.  Kita tertinggal dalam banyak hal bahkan yang terdasar sekali pun. Logika sebagai dasar kita melangkah tak pernah kita temukan. Kita hanya akan berakhir pada hasrat tanpa kenyataan.

Negara harus hadir. Negara harus ambil alih banyak ruang publik yang telah mereka rampas terutama ruang diskusi ilmiah.

"Kenapa pemerintah terlihat cenderung tak berdaya menghadapi kekacauan seperti itu?"

Cara hadirnya tak tampak seperti kebanyakan para pendahulunya. Pondasi lama di mana birokrasi dan oligarki lebih penting dibanding rakyat dia gugat. Bunyi retakan dinding dan riuh suara reruntuhan material yang dulu tak menempel dengan sempurna adalah akibat logis pondasi lama dia bongkar. 

Resiko runtuh dan dia terkubur bukan tidak mungkin terjadi namun dia tetap konsisten melakukannya. 

Jalan sebagai urat nadi bagi lancarnya sebuah aliran sudah semakin dekat pada posisi terjauh dari yang kemarin tak terakses. Pelabuhan dan bandara sebagai titik tuju dan berangkat telah pula tersebar. 

Rakyat sebagai tujuan akhir harus terjangkau dia jadikan keutamaan dan mereka yang tertinggal marah. Seharusnya ini adalah pondasi termaksud. Ini dasar bagi pijakan langkah yang semakin terarah demi semua terlibat dan semua bekerja.

Itu adalah apa yang pernah Jepang dan banyak negara maju lakukan. Membangun demi seluruh rakyat terlibat dalam satu irama dan gerak bersama. Bukan oligarki atau elit negara sebagai tujuan.

Merebut dan menciptakan banyak ruang debat ilmiah sekaligus ruang seni dan budaya adalah cerita selanjutnya.

Ketika nafas kehidupan mulai terdengar dari Morowali, Halmahera dan kawasan Industri di Brebes hingga panen melimpah atas banyaknya waduk yang telah berfungsi, itu bukti langkahnya tepat. Urat nadi bagi ekonomi dalam bentuk jalan telah memberi aliran darah bagi seluruh rakyatnya.

Kabar bahwa swasta bernama bukit algoritma sedang membangun komunitas sadar iptek di Sukabumi adalah berita baik. Banyak ruang bagi penelitian hingga debat ilmiah akan tercipta di sana dengan mega investasi sebesar 18 triliun rupiah tersebut.

Itu seperti booster bagi apa yang Presiden Jokowi sedang lakukan. Itu juga tentang peran swasta terlibat menawarkan budaya baru pada masyarakat akan pentingnya membuka wawasan terhadap kemajuan teknologi di mana kita sudah tertinggal cukup jauh.

Ramai komunitas di bukit algoritma itu nanti melakukan aktifitas dalam obrolan logis berbau ilmiah dan akademis adalah cara seorang Budiman Sudjatmiko membantu Presiden menciptakan sekaligus mengambil alih ruang diskusi masyarakat yang kemarin hanya berputar pada masalah itu-itu saja. Ini akan mengajak sekaligus membuka cakrawala baru.

Ini tentang bagaimana proses terciptanya sumber daya manusia berjalan secara alamiah dan logis. Komunitas sadar kemajuan akan membawa pada dampak bagi kemajuan itu sendiri. Sekaligus, ini akan meningkatkan kualitas SDM kita setahap demi setahap sebagai syarat Indonesia tak lagi terjebak pada barisan negara berkembang yang gagal dan tak pernah masuk menjadi negara maju seperti bu Menkeu khawatirkan.

Tak perlu mimpi terlalu tinggi kita targetkan dalam waktu singkat, cukup kita geser kebiasaan obrolan kita tentang babi ngepet, bumi datar hingga surga penuh bidadari dan berhasil kita ganti dengan pembicaraan seputar keharusan maju negeri ini dari olah teknologi dan budaya, itu adalah satu langkah kecil demi langkah yang lebih besar nanti.

Bukankah sebagai penghasil nikel terbesar di dunia Indonesia layak dan logis harus mampu mengembangkan teknologi terdepan berbasis nikel itu sendiri? Bila Jepang saja yang tak memiliki SDA seperti nikel dan namun memiliki Panasonic sebagai perusahaan terdepan dalam teknologi baterai berbasis nikel, justru tak logis bila Indonesia malah tak mampu. Itu aneh sekaligus bukti malas dan payahnya SDM kita. 

Seharusnya tidak. Kita punya peluang dan tak ada kata terlambat menjemput peluang tersebut. 

Minta pada Budiman agar di bukit algoritma nanti, nikel menjadi pokok penelitan terutama terkait dengan teknologi pengembangannya selain teknologi pertanian. Saat ini, itu paling masuk akal.

RAHAYU

Karto Bugel