Recent Posts

settia

Archandra Tahar: BIJI NIKEL, PENGOLAHAN DAN BATERAI


Nikel menjadi pokok bahasan penting sejak mobil listrik booming di dunia, termasuk di Indonesia. Seperti apa nilai strategis nikel dan bagaimana pengolahannya? Kami mencoba untuk membahasnya dengan data dan pengalaman berinteraksi dengan pelaku industri nikel. Jika ada perbedaan data dan pendapat kami terbuka dengan masukannya.

Nikel memiliki banyak daya tarik dibandingkan mineral lain. Pertama, nikel punya sifat tahan korosi. Kedua, sangat kuat pada temperature tinggi. Ketiga, memiliki kemampuan membentuk alloys dengan metal yang lain, sehingga mendapatkan sifat unggul yang direncanakan. Keempat, dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk baterai.
Secara garis besar ada dua jenis biji nikel (nickel ores) yang ditemukan di bumi. Pertama, sulphide ores yaitu ores yang berasal dari magma perut bumi yang naik ke permukaan. Kedua, oxide (laterite) ores yaitu ore yang berasal dari pelapukan batu, tanah dan mineral lain yang kontak dengan atmosfir bumi. Banyak teori tentang asal usul nikel ini.
Sulphide ores mengandung 1-8% nikel dan mineral lain seperti Cu (tembaga), Co (cobalt), Fe (besi) dan mineral berharga lainnya. Deposit nikel ores jenis ini berada jauh dibawah permukaan bumi, sehingga memerlukan biaya yang tinggi untuk menambangnya (underground mining). Oxide ores mengandung 1-3% nikel dan mineral lain seperti Co (cobalt), high Fe (besi) dan 30-45% H2O (air). Depositnya berada dipermukaan bumi, sehingga bisa dilakukan dengan cara tambang terbuka (open cut mining).
Tiga puluh enam percent (36%) deposit nikel dunia adalah jenis sulphide, sisanya oxide. Walaupun depositnya lebih sedikit, 60% dari produksi nikel dunia adalah sulphide ores dalam bentuk konsentrat dari negara seperti Kanada, Afrika, Australia dan Finland. Sementara produksi oxide ores banyak diproduksi di Indonesia, New Caledonia, Australia, US dan Amerika Latin.


Dalam tiga dekade belakangan, cadangan nikel jenis sulphide ores makin menipis. Nikel jenis laterite kemudian menjadi pilihan untuk di proses. Nikel laterite dibagi berdasarkan kedalamannya dari permukaan bumi. Nikel di lapisan atas dinamakan dengan limonite dan saprolite adalah nikel dilapisan bawahnya. Tipe limonite dicirikan dengan kadar nikel yang rendah (kurang dari 1.7%), kadar Fe dan Co yang tinggi. Sebaliknya tipe saprolite dicirikan dengan kadar nikel yang tinggi (1.5% - 2.5%) dan kadar Fe dan Co yang rendah.
Nikel tipe limonite dapat diolah dengan cara pyrometallurgy (blast furnace) untuk menghasilkan Nickel Pig Iron (Ni dengan kadar dibawah 12%) atau dengan cara hydrometallurgy (High Pressure Acid Leaching – HPAL) untuk menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dan Mixed Sulphide Precipitate (MSP). Nickel Pig Iron (NPI) dapat digunakan untuk membuat stainless steel kualitas rendah seperti sendok dan peralatan rumah tangga. Sementara MSP dan MHP digunakan sebagai bahan dasar untuk katoda baterai.
Nikel tipe saprolite juga dapat diolah dengan cara pyrometallurgy (blast furnace atau rotary kiln electric furnace – RKEF). Smelter RKEF dapat menghasilkan Ferro Nickel (FeNi) dengan kadar nikel dbawah 30% dan digunakan untuk stainless steel kualitas tinggi seperti untuk jet engine.
Sulphide ores diolah untuk menghasilkan nickel matte yang dilanjutkan menjadi nickel sulphate dan cobalt sulphate. Keduanya digunakan untuk membuat baterai dengan chemical seperti Nickel Manganese Cobalt (NMC – lihat tulisan kami sebelumnya). Nickel matte juga bisa digunakan untuk membentuk alloys kualitas tinggi.
Dengan rumitnya hubungan antara teknologi pengolahan (smelter) dengan jenis biji nikel, apakah mungkin membangun smelter yang bisa mengolah semua jenis biji nikel? Apakah semua smelter akan menghasilkan produk hilirisasi yang bisa digunakan untuk baterai. Smelter jenis apa yang sudah dibangun di Indonesia? Ikuti ulasan kami selanjutnya.
Setelah memahami rumitnya memilih teknologi pengolahan dan jenis biji nikel, kami akan bahas tentang produk hilirisasi yang diharapkan.
Sebelum membangun smelter di suatu negara, ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan. Pertama, ketersediaan biji nikel dan jenisnya. Misalnya, kalau biji nikel yang tersedia punya kadar Ni rendah (limonite) maka tidak ekonomis untuk membangun smelter jenis RKEF. Karena butuh energi listrik yang sangat tinggi sementara nilai jual produknya rendah. Kadang unsur pengotor sperti Si (silicon), Al (aluminum), P (phosphorus) harus dibersihkan juga. Untuk itu smelter blast furnace (BF) bisa menjadi pilihan.
Beberapa kegagalan smelter RKEF disebabkan karena komposisi kimia dari biji nikel di negara tersebut. Ratio SiO2/MgO menjadi penting karena untuk menjaga fluiditas dari slag yang keluar dari tungku. Semakin tinggi rasionya, semakin kental slagnya. Ini tentu tidak diinginkan karena akan membentuk gumpalan-gumpalan di dalam tungku. Kadar Fe yang tinggi juga menjadikan tantangan bagi smelter RKEF untuk beroperasi secara ekonomis.
Kalau begitu adakah alternatif teknologi selain RKEF dan BF yang bisa dipakai untuk mengolah biji nikel kadar rendah? Jawabannya tentu ada. Syaratnya ada kemauan untuk tidak terpaku pada tekonologi yang ditawarkan oleh negara tertentu. Teknologi the reduction roasting-magnetic separation (RRMS) bisa menjadi pilihan. Selain ramah lingkungan juga berbiaya rendah. Ini bisa menjadi topik tersendiri untuk dibahas.
Kedua, produk hilirisasi seperti apa yang dapat diserap oleh industri sekitar? Di China banyak sekali smelter BF yang menghasilkan Nickel Pig Iron (kandungan nikel yang rendah). Hal ini karena banyak industri yang membutuhkannya untuk membuat produk stainless steel kualitas rendah seperti untuk peralatan rumah tangga. Kalau tidak ditopang oleh industri hilir ini maka kemungkinan besar smelter BF tidak akan ekonomis untuk didirikan. Selain harga NPI yang rendah dalam pengolahannya juga butuh batubara (coke sebagai reduktor) yang harganya mahal dan berfluktuasi. Mungkin saja terjadi subsidi silang antara perusahaan smelter dengan industri hilirnya.
Beda dengan China, industri di Jepang lebih membutuhkan produk smelter dengan nikel kadar tinggi seperti FeNi. Hilirisasi disana fokus kepada memberi nilai tambah untuk memproduksi stainless steel kualitas tinggi seperti untuk turbine blade dan mesin mobil. Oleh karenanya smelter RKEF lebih ekonomis untuk dibangun di Jepang. Ini adalah simbiosis. Dimana perusahaan smelter mendapat jaminan bahwa FeNi mereka akan ada pasarnya, sementara industri hilirnya mendapatkan FeNi dengan harga kompetitif.
Bagaimana sebuah negara yang tidak punya industri pendukung untuk hilirisasi produk nikel? Tentu membangun smelter adalah sebuah kemajuan. Namun nilai tambahnya terbatas. Semakin panjang rantai hilirisasi dari sebuah produk, tentu akan semakin besar manfaat ekonomi yang didapat. Banyak negara berlomba-lomba untuk memanfaatkan kekayaan alamnya dengan memperpanjang rantai hilirisasi. Caranya bangun industri hilir sebanyak-banyaknya dan bangun ekosistem yang saling mendukung. Industri hilir disini bisa jadi adalah industri dasar dimana negara seperti Jerman, Inggris, Jepang adalah negara yang sangat maju dibidang ini.
Pertanyaan selanjutnya, teknologi pengolahan nikel seperti apa yang cocok untuk menghasilkan mineral yang bisa dipakai untuk baterai? Apakah teknologi BF, RKEF dan RRMS bisa menghasilkan mineral yang dimaksud? Sabar ya...
Produk antara berupa Nickel Pig Iron (NPI) dan Ferro Nickel (FeNi) yang dihasilkan oleh smelter Blast Furnace (BF) dan Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) sudah kami bahas pada tulisan sebelumnya. NPI dan FeNi banyak digunakan sebagai bahan stainless steel.
Apakah NPI dan FeNi bisa digunakan sebagai katoda untuk baterai? Best practice mengatakan bahwa NPI dan FeNi bukanlah produk antara yang bisa digunakan untuk baterai. Produk antara yang bisa digunakan untuk baterai adalah Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), Mixed Sulphide Precipitate (MSP) dan Nickel Matte. Ketiga jenis produk ini bisa diolah lebih lanjut (refining) untuk menghasilkan NiSO4 dan CoSO4 untuk baterai.
Sampai tahun 2020, sebagian besar pengolahan biji nikel di Indonesia berada pada jalur untuk memproduksi NPI dan FeNi, bukan pada jalur untuk baterai. Untuk jalur baterai ini diperlukan teknologi hydro metallurgy yang sangat canggih dan rumit. Salah satu yang menjadi pilihan sampai hari ini adalah High Pressure Acid Leaching (HPAL).
Ada beberapa alasan kenapa HPAL sangat jarang kita temukan di dunia. Pertama, butuh investasi sangat besar. Sebagai perbandingan, capex untuk HPAL bisa 5 kali lebih mahal daripada RKEF untuk per ton nikel yang dihasilkan. Kedua, tidak banyak perusahaan yang menguasai teknologi HPAL. Hanya perusahaan besar yang didukung dengan dana R&D besar yang mau fokus untuk mengembangkan teknologi HPAL.
Ketiga, teknologi proses yang rumit dan sangat bergantung pada kombinasi antar komposisi biji nikel dan chemical yang digunakan untuk leaching. Kesesuaian ini yang menyebabkan desain smelter HPAL menjadi unik dan tidak bisa menggunakan filosofi Design One Build Many. Dengan kata lain, kesuksesan smelter HPAL di suatu negara belum tentu bisa diaplikasikan ke negara lain.
Keempat, leaching chemical (H2SO4 misalnya) yang digunakan bersifat sangat corrosive pada autoclave di tekanan tinggi dan temperature tinggi, sehingga equipment yang dipakai harus dari bahan yang anti korosi dan kadang memerlukan special alloys yang sangat mahal.
Kelima, limbah dari proses leaching yang tidak ramah lingkungan. Ide untuk menyimpan limbah ini di laut dalam punya tantangan yang tidak mudah untuk direalisasikan.
Dari semua tantangan di atas, yang paling penting untuk diperhatikan adalah berapa tingkat kesuksesan dari pembangunan smelter HPAL di dunia. Apakah semua yang dibangun bisa beroperasi sesuai harapan? Apakah rencana Capex dan Opex tidak melebihi budget yang disetujui? Apakah komposisi mineral dari biji nikel sesuai dengan yang direncanakan? Dari data yang kami pelajari, tingkat kesuksesan dari smelter HPAL tidak lebih dari 25%.
Selain tantangan yang dihadapi smelter HPAL, tentu teknologi ini juga punya keunggulan. Salah satunya adalah bisa menggunakan biji nikel kadar rendah (limonite) sebagai feedstock nya. Sebelum NPI banyak dibutuhkan di China, biji nikel kadar rendah yang berada di lapisan atas banyak yang dibuang sebagai overburden. Biji nikel jenis limonite ini juga kaya akan Co (cobalt) yang dibutuhkan untuk katoda baterai jenis Nickel Manganese Cobalt (NMC).
Apakah ada teknologi selain HPAL yang mungkin lebih unggul dan dengan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Secara teori tentu ada. Para praktisi dan inovator sedang giat-giatnya untuk menemukan teknologi yang dimaksud. Sayangnya tidak ada jalan pintas untuk mendapatkannya selain memulai dengan kemampuan yang kita punya, kemudian bersungguh-sungguh mencari teknik dan formula terbaik.
Strategi itu dimulai dengan mengetahui komposisi mineral biji nikel yang tersedia, lakukan laboratory test untuk metoda dan teknologi ekstrasi yang direncanakan. Selanjutnya lakukan pilot test dan baru memulai dengan membangun smelternya. Setiap proses memerlukan waktu dan setiap waktu memerlukan tenaga dan biaya. Tidak mudah.
Tulisan di atas baru sampai pada tahap mendapatkan NiSO4 dan CoSO4. Proses selanjutnya adalah menjadikan kedua bahan itu menjadi baterai. Disini tentu para pembaca bisa melakukan riset sendiri. Semoga berhasil. Inshaa Allah ..