Recent Posts

settia

Kemenangan Merebut Ruang Kerja, Bukan Ruang Kekuasaan, Menepis Mendung Menghalau Badai

Untuk sesaat, rasa gamang menyusup dalam benaknya. Sedikit gontai, untuk pertama kalinya kaki kurus itu menapakkan kakinya. Dia berdiri diatas lambang kekuasaan tertinggi negeri ini.

Seharusnya pesta besar menyambut setelah perjuangan panjang dan melelahkan. Seharusnya, gelak tawa dengan alunan musik menyelusup masuk pada setiap sudut penuh orang bergembira dengan tangan kiri memegang gelas wine, dan sebelah tangannya yang lain cerutu.
Kemenangannya dalam pilpres 2014 dimaknai sebagai merebut ruang kerja, bukan ruang kekuasaan.
Kerja, kerja dan kerja justru menjadi kata-kata pertamanya.
Sekilas mendung gelap bahkan teramat tebal itu sempat mengganggunya. Ongkos politik kini menghadangnya.
Mengajak mereka tampil dan duduk dalam kabinet sebagai bayaran atas koalisi bukan sesuatu yang menyenangkannya. Cita-cita langsung tancap gas, sepertinya adalah hal mustahil.
Terlalu berat beban kendaraan itu mengangkut banyak kepentingan.
Periode pertamanya, idealisme harus ditanggalkan. Dia hanya mengerjakan fondasi dan membangun jalan bagi cita-cita ngebut plus sapu bersih pada periode keduanya.
Benar, dia tidak langsung melawan apa yang dia lihat salah, dia kantongi bukti-bukti itu, dia tambal sedikit demi sedikit setiap lubang kebocoran, dia petakan semua dalam satu paket cita-cita bila kelak berlanjut pada periode keduanya.
Dulu...,meminta Soeharto turun dan kemudian menjamin penguasa Orba itu tak diperlakukan sama seperti saat Soeharto memperlakukan sang Proklamator, Wiranto sebagai Panglima ABRI pasang badan.
Soeharto tidak mengalami apa yang dialami Soekarno setelah dilengserkan. Soeharto dan bahkan termasuk anak-anaknya dijamin keselamatannya oleh negara atas nama Panglima ABRI saat itu.
Itu adalah salah satu dari lima poin yang disampaikan oleh Wiranto selaku Menhankam/Panglima Abri seusai Soeharto mengumumkan berhenti sebagai Presiden, yakni kamis 21 mei 1998.
Dan...,jalan Cendana dijaga super ketat bahkan dengan mudah kita warga Jakarta saat itu menyaksikan tank dan panser parkir disana plus ratusan pasukan bersenjata lengkap.
Korupsi super besar pada periode itu bukan mitos belaka, semua maklum bahwa 32 tahun memerintah, Soeharto telah menumpuk kekayaan super besar. Semua media bercerita tentang itu.
Selama 32 tahun, budaya korupsi tak dapat disangkal telah menghinggapi setiap benak bahkan menjadi tradisi yang harus dilakukan oleh setiap orang.
Dengan mudah, kita akan menemukan praktek korupsi itu pada semua birokrasi.
Masih ingat kebiasaan kita memberi tip saat minta surat apapun di Kelurahan misalnya? Itu terjadi setiap hari. Semua hal selalu terkait dengan uang ketika bertemu dan berhadapan dengan birokrasi.
Korupsi adalah kita dan kita adalah korupsi, mungkin tak terlalu berlebihan di pakai sebagai gambaran bagaimana kondisi negara dan masyarakat kita saat itu.
KPK yang dibentuk oleh Megawati tahun 2002 adalah sisi pandang bu Mega sebagai Presiden saat itu tentang tak lagi punya rasa percaya kepada Kepolisian dan Kejaksaan dalam rangka pemberantasan korupsi. Tak mungkin korupsi diberantas oleh lembaga yang dianggapnya korup.
KPK sesaat menjadi lembaga super bodi, super kuat karena mengambil hak polisi yakni sebagai penyidik dan mempunyai hak menuntut atau penuntutuan yang kemarin menjadi milik Kejaksaan.

Satu paket kekuatan yang sangat menggentarkan

Siapa tak ingin duduk disana? Siapa tak ingin punya kekuatan gabungan polisi dan jaksa sekaligus? Seharusnya hanya pribadi yang mendekati sifat malaikat saja boleh duduk disana, apalagi menjabat sebagai ketua.
"Mungkinkah?"
Untuk sesaat, segelintir pribadi yang masih memiliki idealisme tinggi, mungkin dapat ditempatkan disana dengan tetap berpegang pada idealismenya itu, namun selamanya, jelas mustahil. Terlalu
hebat
godaannya.
Megawati kalah oleh SBY. KPK dipertahankan tetap menjadi lembaga anti rasuah. Namun keberadaannya mulai digugat. Cicak vs Buaya, kasus simulator SIM adalah benturan Polri dengan KPK.
Rakyat yang saat itu masih lebih percaya kepada KPK dibanding Polisi dan Jaksa adalah cara masyarakat kita memberikan kritik pada kedua lembaga Polri dan Kejaksaan.
Penangkapan atau yang biasa kita kenal dengan OTT menjadi hiburan atas rasa skeptis kita pada pada apa yang dinamakan keadilan.
Para petinggi partai politik hingga pejabat negara yang berhasil digelandang dan "dipakaikan" rompi oranye dan disorot dari banyak sisi dengan banyak kamera benar-benar melambungkan lembaga anti rasuah itu.
Berbekal senjata "super sakti" penyadapan tanpa harus minta ijin siapapun, semua manusia di Indonesia, tak terkecuali, terpantau oleh KPK. Anda selingkuh, terdata. Anda bicara salah, seorang lesbian atau homo, atheis, semua tercatat. Pasti akan berguna buat apa saja dikemudian hari.
KPK menjadi pahlawan. KPK ibarat setetes air pelepas dahaga bagi rasa muak dan marah atas korupsi yang makin menggila. Rakyat senang dengan hiburan itu. Puluhan dan bahkan ratusan orang yang dianggap musuh negara ditangkap dan disaksikan melalui layar kaca dan terjadi tiap hari.
Namun, kerugian negara tak pernah sebanding dengan jumlah uang yang dapat dikembalikan dari penangkapan-penangkapan itu.
Rakyat tak paham dan tidak mau tahu atau bahkan diberi tahu karena memang bukan itu yang disukai. Bagi kebanyakan orang, drama dan proses penangkapan koruptor yang dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri, adalah bentuk keberhasilan.
Mereka puas ada pejabat yang dahulu tak pernah dapat disentuh oleh polisi dan jaksa kini dengan mata kepala sendiri, mereka menyaksikan bahkan kadang dengan siaran langsung, DITANGKAP dan digelandang.
KPK berhasil menarik simpati rakyat. KPK menjadi harapan besar rakyat. Jabatan sebagai Pimpinan KPK kini dilirik demi promosi bahkan tangga bagi tujuan politis. Menjadi calon atau kandidat Presiden misalnnya. (Ada loh yang Ge-Er sudah selayak itu...!)
Anehnya, korupsi masih berjalan pada ruang gelap yang lebih besar bahkan sangat besar dengan kerugian ratusan hingga ribuan kali dari jumlah yang berhasil dikembalikan oleh KPK, bahkan dibanding dengan pengeluaran negara bagi pembiayaan lembaga itu.
BLBI, Century hingga e KTP tak menjadi target.
Secara sederhana, seharusnya saat negara dalam kerugian amat besar akibat korupsi, pikiran mengembalikan kerugian negara adalah tujuan.
Mengeluarkan modal Rp 10.000 dengan mendirikan KPK demi mengembalikan kerugian negara yang hilang hingga mencapai Rp 100.000 bahkan bila mungkin sejuta, adalah targetnya.
Bila modal Rp 10.000 dan yang dikembalikan hanya Rp 1000, bukankah sia-sia? Belum lagi kerugian negara akibat tindakan para koruptor itu.
Banyak orang dengan gampang mengatakan, negara bukan pedagang, negara tak boleh berpikir dengan pola untung rugi.
Benar. Namun bila niat mendirikan lembaga itu adalah demi mengurangi kebocoran, dan harga tambalannya ternyata lebih mahal dari nilai kebocorannya bukankah patadoks? Negara harus tetap berhitung.
Buat apa mempertahankan lembaga dengan biaya sangat mahal, bahkan kewenangan luar biasa besar pernah diberikan dengan resiko negara melanggar hak asasi warga negaranya yakni ruang privat yang bileh disadap tanpa ijin dan tanpa batas waktu?
Dan bukankah seharusnya KPK juga berbatas waktu? Sudah 18 tahun dia berdiri, tak mungkin ini akan menjadi lembaga seumur hidup.
Indikasi bahwa kini KPK juga telah berfungsi tak sebagaimana seharusnya, tentu tak mungkin Presiden Jokowi menafikkannya.
Maka pada periode keduanya Jokowi mencoba memfungsikan kembali Kepolisian dan Kejaksaan.
Kepolisian dan Kejaksaan seharusnya telah berbenah. Kedua lembaga itu seharusnya sudah layak menerima kembali pekerjaan yang dulu harus "dipinjamkan" kepada KPK.
Dan...,Jiwasraya menunjukkan titik terangnya. Tak perlu berspekulasi ada apa disana. Masuk ranah persidangan, adalah cara paling tepat membuka tabir besar kerugian kakap negara dari korupsi.
Membuka dan mengupas semua kebobrokan di pengadilan adalah cara paling elegan. Tak ada usaha menutupi debat tentang bukti dan saksi, salah dan benar, semua dibuka dengan benderang.
Tak ada hak pemerintah untuk intervensi apalagi demi citra seorang Presiden.
Kepolisian dan Kejaksaan mulai berani masuk dalam ruang gelap penuh misteri dan jebakan dimana KPK kemarin sempat ragu dan enggan untuk memasukinya.
Jejak-jejak misterius yang terlalu lama didiamkan, kini mulai disorot. Cahaya itu kini mulai menerangi apa yang kemarin sengaja dibuat gelap.
Gilanya, jejak itu mengarah pada kekuasaan sangat besar, yang melibatkan banyak pihak yang dahulu sangat berkuasa. Semakin dalam cahaya itu menjangkau, semakin banyak jejak tertinggal didalamnya tampak.
Berangkat dari kesaksian seorang Benny Tjokro dirut PT Hanson Internasional tbk, Kejagung mendapatkan jejak besar. Sebesar apa, biarkan Pengadilan yang berbicara.
Katanya Grup Bakri sudah mulai disebut. Katanya ada tiga belas perusahaan besar terlibat disana. Katanya, Ada peran BPK dan juga OJK disana.
"Lho koq bisa?"
Isu tak sepaham SM dan B pada saat keduanya sama-sama menjabat menteri pada jaman SBY juga mulai terdengar lagi. Demikian pula kenapa SM gak lagi mau menjabat menteri dan lebih memilih menjadi salah satu direktur di World Bank.
Seberapa besar kapasitas seseorang dapat menentukan siapa menjadi apa di BPK juga OJK, atau bahkan di KPK sehingga ini tak menjadi incaran saat itu, tentu tergantung pada posisi apa yang dia duduki dan sedekat apa dia dengan siapa yang tertinggi saat itu.
Lebih sial lagi, SM dua periode ini masuk dan menjadi menteri pada kabinet Jokowi. Seluruh informasi terkait dengan hal itu pasti mengalir dengan lancar.
Menepis mendung adalah usaha membuat dan memindahkan gelapnya awan berpotensi hujan itu menipis. Terang disatu sisi adalah akibat dari menipisnya mendung, namun membuat hujan dan bahkan badai melanda ditempat lain bukan sesuatu yang mustahil.
Sedikit demi sedikit terang akibat tertepisnya mendung itu telah membuat kita mampu melihat masalah dengan lebih jelas, namun potensi besar badai akibat hal tersebut, kini menghantui kita.
Pembakaran bendera PDIP dan provokasi agar para kader partai itu ngamuk, ditunggu. Itu hanya salah satu calon badai yang sedang mereka nanti. Bentrok dua atau lebih kekuatan massa akibat pembakaran bendera ini adalah badai besar yang sedang mereka tunggu.
Banyak calon badai sudah, sedang dan akan terus merekai semai demi hasrat tak kita kenal.
Yang kita tahu, mereka hanya ingin menutup dan menyimpan jejak kotor masa lalu. Ada pula sebagian dari mereka ingin agar jejak seperti itu bukan hal yang harus dilarang, cukup sama-sama dinikmati saja.
Sungguh, badai itu akan benar-benar besar dan dahsyat. Bukan hanya mereka yang dibayar dan tak tahu apa-apa selain cuma ikutan, ini tentang orang yang pernah berkuasa dan dana demikian besar yang akan direbut kembali oleh negara.
Ini juga tentang nama baik yang dipertaruhkan, dan mereka tidak siap. Mereka telah ambil keputusan siap menjadi "arang" bila harus bertempur daripada malu seumur hidup.
Akankah Jokowi mampu menepis mendung sekaligus menghalau badai, tidak...!
Bukan dia seorang..,tapi bersama dengan kita.
Badai tak akan pernah terjadi bila negara bertindak dan berdiri sebagaimana seharusnya, bukan rakyat..!!
Ada aparat yang tupoksinya adalah untuk hal tersebut.
Tinggalkan "amuk" sebagai cara, tempuh hukum demi martabat.
Semoga bermanfaat.

Oleh : Karto Bugel