Recent Posts

settia

MENIMBANG KETOKOHAN S.M. KARTOSOEWIRJO DAN PEMIKIRAN POLITIKNYA


PROLOG

Pepatah mengatakan sejarah itu berulang, “L’histoire serepete”. Kebenaran pepatah ini menemukan relevansinya saat ketika kita menyaksikan belakangan ini gejala kebangkitan ‘politik aliran’ atau ideologi politik yang pernah hidup di zaman lampau . ‘Politik aliran’ atau ideologi politik yang saya maksud adalah ideologi kiri radikal (Komunisme, PKI) dan ideologi kanan radikal (Darul Islam).

Komunisme, apa pun definisinya, bangkit kembali. Tidak mudah untuk meng-identifikasi secara pasti organisasi dan aktivis berideologi komunis yang bangkit itu. Namun, dengan mengamati berbagai gejala politik yang belakangan terjadi sukar mempercayai Komunisme telah benar-benar mati . Pembebasan Napol/Tapol PKI, an-tara lain kolonel (pur.) Latief, Dr. Subandrio, Bungkoes, Ketek, Rewang dan bebas berkeliarannya mantan tokoh Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat), Pramoedya Ananta Toer, tampaknya memiliki andil dalam membangkitkan kembali ideologi Komunisme.

Menolak versi sejarah Orde Baru yang menganggap PKI aktor utama tragedi 30 September 1965, beberapa mantan PKI itu mengatakan bahwa aktor utama gerakan bukanlah PKI karena ia hanyalah ‘korban’ pertarungan di tubuh Angkatan Darat. PKI digunakan sebagai ‘alat’ oleh segelintir elite Angkatan Darat, antara lain mantan Presiden Soeharto, untuk memukul lawan-lawan politiknya. Kini para mantan PKI itu ingin ‘meluruskan sejarah’ PKI seperti yang dilakukan Pramoedya, Carmel Budiardjo dan mantan penculik Mayjen M.T. Haryono, eks. Serda Bongkoes. Tidak tertutup kemung-kinan usaha ‘pelurusan sejarah’ itu tendensius: ‘upaya cuci tangan’ tokoh-tokoh PKI atas kejahatan-kejahatan politiknya di masa lampau. Mereka menyadari era keterbukaan saat ini adalah ‘peluang emas’ untuk bersih-bersih diri.

Sejarah Indonesia kontemporer ibarat bandul jam yang bergerak ke kanan, ke kiri. Ketika bergerak ke kiri, ada kekuatan yang menariknya ke arah berlawanan. Proses historis itulah yang kini terjadi. Kebangkitan Komunisme diikuti oleh kebangkitan ‘ideologi radikal kanan’ lawannya, Darul Islam (aktivitas NII). Aktivis NII yang selama Orde Baru berkuasa bergerilya politik di bawah tanah (underground movement) menggugat wacana sejarah Orde Baru yang amat memojokkan perjuangan ‘suci’ Darul Islam. Sejarah DI, dalam perspektif mereka, tidak seburuk yang dikonstruksikan Orde Baru. Gerakan Darul Islam sesungguhnya tidak pernah ‘mati’, tetap survive. Kini terasa telah muncul usaha menawarkan ideologi DI sebagai wacana ideologi alternatif. Dan momentum politik saat ini dinilai paling tepat untuk itu.

IDEOLOGI DARUL ISLAM
Ideologi sesungguhnya tak pernah mati, apalagi ia bersumber pada ajaran agama-agama klasik seperti Islam. Dalam suatu kurun sejarah tertentu --karena ditindas penguasa politik-- bisa saja ideologi itu tenggelam, tapi suatu saat ia akan bangkit kembali manakala situasinya kondusif. Strategi ‘pagar betis’ TNI (1960-an) telah berhasil menumpas para pejuang DI. Pemimpinnya, S.M. Kartosoewirjo diekskusi mati, 1962. Tapi kematian para pejuang DI itu, bukan berarti ideologi Negara Islam yang mereka perjuangkan mati pula. Ideologi itu tetap survive hingga memasuki dekade 1980-an.

Apa latar belakang kebangkitan kembali ideologi DI, juga ideologi radikal kiri seperti Komunisme, saat ini? Mengapa sebagian kaum muda kita tertarik pada ideologi-ideologi radikal anti kemapanan itu? Apa daya tariknya?

Dari perspektif struktural, kebangkitan DI saat ini akibat struktural kekuasaan repressif Orde Baru selama berkuasa tiga dekade. Di bawah kekuasaan Orde Baru, ideologi negara Pancasila menjadi demikian repressif dan monolitik (monolithic ideo-logy). Penguasa Orde Baru mengklaim hanya Pancasila yang boleh hidup, sementara ideologi lain termasuk ideologi Negara Islam mesti dikubur dalam-dalam. DI diseja-jarkan dengan PKI dan Kartosoewirjo dengan Muso dan Aidit. Image DI pengkhianat dan pemberontak ditanamkan sedemikian rupa agar menimbulkan ketakutan kepada siapa pun yang ingin mengetahui --meski dalam bentuk kajian ilmiah-- apa sesungguhnya DI dan ajaran-ajaran Kartosoewirjo. Buku-buku DI dilarang, para penerbit atau mengedarnya dituduh subversif. Aktivis-aktivis DI ditangkapi dan pengadilan terhadap mereka diekspose di berbagai media massa.

Repressif politik Orde Baru meredam gerakan DI dan ideologinya itu memang efektif untuk jangka waktu tertentu. Namun, cara itu justru membangkitkan ingin tahu publik (curiousity) --khususnya anak-anak muda Muslim yang kritis dan enerjik-- tentang apa sesungguhnya DI itu dan mengapa ia dilarang, ditutup-tutupi. Maka, semakin pemerintah melarang dan merepressif DI, semakin kuat rasa ingin tahu mereka. Disadari atau tidak tindakan repressif penguasa Orde Baru justru membuat ideologi DI dan Kartosoewirjo semakin populer di kalangan aktivis-aktivis muda Islam. Mereka, melalui jalur-jalur khusus yang ‘rahasia’ --memperoleh karya-karya tentang DI dan karangan-karangan Kartosoewirjo. Dari sinilah rasa ketertarikan itu mendorong mereka kemudian terlibat dalam gerakan DI bawah tanah. Dalam konteks inilah ideologi DI sebagai ‘ideologi tandingan’ (counter ideology) dimunculkan. Gejala serupa juga terjadi di kalangan aktivis-aktivis gerakan kiri radikal. Jadi, struktur kekuasaan Orde Baru yang repressif dikehendaki atau tidak menyediakan lahan subur bagi bangkitnya ideologi-ideologi radikal itu.

Kegagalan ulama, kyai atau kaum intelektual Muslim menawarkan sebuah konseptualisasi ideologis bagi perubahan sosial merupakan unsur penting dalam membangkitkan semangat kaum muda mempelajari ideologi-ideologi radikal. Mereka kecewa dengan tokoh-tokoh agama yang seakan membiarkan maraknya kezaliman penguasa, penindasan, kemaksiatan, kesenjangan sosial. Di mata mereka ulama yang seharusnya memainkan ‘peran suci’ sebagai ‘pewaris perjuangan para Nabi (ulama’ warotsatu al anbiyaa) justru menjadi pendukung kekuasaan tiranik, koruptif dan zalim. Godaan kekuasaan membuat kaum ulama menjadi ulama as su’u. Bagi anak-anak muda itu, keadaan ini memuakkan dan harus dirubah. Bila perlu dilawan dengan kekerasan. Di sinilah motif perlawanan politik dan gejala radikalisasi muncul di kalangan anak-anak muda itu. Salahkah mereka? Tidaklah arif menimpakan seluruh ‘kesalahan’ pada anak-anak muda yang sedang mencari jati diri itu. Nampaknya para ulama dan cendekiawan Muslim kita perlu intropeksi diri bahwa mereka telah gagal menawarkan wacana ideologi alternatif bagi anak-anak muda itu.

Anak-anak muda yang tertarik pada Marxisme, Komunisme atau Sosialisme Demokratis (democratic socialism) menjadikan Marx-Engels, Tan Malaka, Bung Karno, Che Guevarra, atau Antonio Gramci atau tokoh-tokoh teologi pembahasan (theologi of liberation) panutan. Dan kekaguman terhadap tokoh-tokoh itu melampaui batas-batas agama (trans agama). Di antara mereka sebagian beragama Islam, Kristen atau Khatolik. Karya para tokoh legendaris sejarah itu dijadikan sumber inspirasi, ideologi dan platform perjuangan mereka. Anak-anak (mahasiswa) Muslim yang memiliki kecenderungan ‘radikal’ serta terlibat dalam kelompok diskusi Islam di kampus, usrah, atau kegiatan tarbiyyah menemukan ‘sumber kekuatan spiritual dan ideologis’ dalam sosok Hasan Albana, Sayyid Qutb, Abul A’la Maududi, Mohammad Natsir atau S.M. Kartosoewirjo. Ada juga yang mengagumi Dr. Ali Syariati, ideolog dan arsitek Revolusi Islam Iran. Sebagian mereka juga mengagumi pemikir-pemikir Islam ‘moderat’ seperti Nurcholish Madjid atau Amien Rais.

Idealisasi terhadap Kartosoewirjo semakin diperkuat oleh proses sosiologis yang berlangsung selama Orde Baru. Modernisasi --sebagai prasyarat pelaksanaan ideologi developmentalisme (ideology of developmentalism)-- telah menyebabkan disorientasi kehidupan keagamaan, dan meretakkan ikatan-ikatan persaudaraan dalam struktur kehidupan Muslim Indonesia. Ukhuwah Islamiyah yang intinya, meminjam Emile Durkheim, solidaritas organis digantikan oleh solidaritas mekanis. Semangat kolektif digantikan individualisme. Manusia menjadi egois dengan dirinya. Kehausan spiritual pun menggejala, khususnya di kalangan kaum muda terpelajar di kampus-kampus. Mereka frustasi dengan ideologi sekuler --sebagai bagian dari modernitas-- dan meng-anggapnya sebagai bencana bagi kemanusiaan dan penyebab degradasi kehidupan spiritual.

Mereka mengalami kehausan spiritual, lalu mencari jalan yang bisa memuaskan dahaga spiritual itu. Dalam proses pencarian itulah sebagian mereka menemukan ‘air penyejuk’ kehausan spiritualisme dengan memasuki perkumpulan Jama’ah Tabligh atau sejenisnya yang banyak tersebar di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung dan Surabaya. Sebagian lainnya menemukan ‘air penyejuk kedahagaan spiritual’ itu dalam ajaran-ajaran S.M. Kartosoewirjo, tokoh utama Darul Islam. Dengan memasuki kelompok pergerakan ini mereka merebut kembali kehangatan persaudaraan sesama Muslim, kesatuan jama’ah dan menemukan wadah yang pas untuk mengeks-presikan makna-makna simbolik politik Islam. Alasan ini misalnya yang melatari keter-libatan Al Chaidar dalam gerakan DI. Dalam wawancaranya dengan Aliansi Keadilan, ia mengatakan, “Saya memang merasa haus belajar Islam karena suasana kampus itu sangat sekuler dan sangat individualis. Jadi, hati saya kosong dan kering. Maka saya merasa harus belajar Islam, tapi harus Islam yang berpolitik, biar tidak tanggung. Saya malas belajar Islam kalau bukan Islam yang berpolitik.”

Keterlibatan anak-anak muda dalam gerakan DI juga disebabkan ideologi dan ajaran-ajaran Kartosoewirjo memiliki daya pikat kuat. Ini salah satu kunci untuk mema-hami mengapa gerakan DI mampu bertahan selama puluhan tahun. Daya pikat itu terletak pada:
Pertama, kemampuan Kartosoewirjo mengartikulasikan gagasan-gagasan Islam yang langsung diambil dari sumber utama Islam, Al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Tampaknya ia juga menguasai khasanah sejarah (tarikh) periode Islam klasik. Perpaduan analisa tekstual-skripturalis dengan analisa historis yang dikemu-kakan dalam karya-karyanya memiliki daya tarik kuat khususnya bagi mereka yang terobsesi untuk ‘kembali kepada Al-Qur`an dan Sunnah Nabi’ dan perjuangan mene-gakkan Islam ‘kaffah’ (sempurna).

Kedua, image Kartosoewirjo sebagai ‘pembela’ kaum dhu’afa (mustadh’afien, tertindas) menjadi daya tarik lain mengapa kaum muda terpikat pada DI. Ideologi DI yang Kartosoewirjo memiliki andil penting merumuskannya, menunjukkan keberpihakan kuat pada kaum tertindas ini (Buktinya? Lihat kutipan idiom-idiom Al-Qur`an tentang dhu’afa dalam Sikap Hidjrah PSII). Image keberpihakan itu diperkuat oleh kehidupan sehari-hari Kartosoewirjo yang sederhana. Jauh dari kemewahan. Bila tokoh-tokoh ‘nasionalis sekuler’ banyak menghabiskan waktu mereka dengan berdansa-dansi, minum khamar --sebagaimana kolonialis Belanda yang dimusuhinya-- maka Kartosoewirjo mengha-biskan waktunya di Insitute Suffah, di pedesaan Malangbong Tasikmalaya (Jawa Barat). Di tempat itu ia memasuki dunia tasawuf, mistisisme Islam.

Dalam soal keberpihakan DI terhadap kaum tertindas ideologinya memiliki ‘kemiripan’ dengan ideologi Marxis (Marxisme). Marxisme memiliki daya pikat kuat bagi kaum tertindas (istilah Marxis: kaum proletariat). Di mata kaum marxis, Karl Marx (1818-1885) adalah ‘Nabi kaum tertindas’ (Prophet of the Proletariat). Di masa jayanya PKI (1950-1965) pelecehan terhadap Marx membangkitkan kemarahan kaum komunis, sama seperti kemarahan umat beragama manakala seorang nabinya dilecehkan.
Ketiga, janji-janji dan harapan-harapan messianistik yang ditawarkannya kepada generasi muda Islam. Ideologi DI menjadikan bahwa keterlibatan dalam aktivitas DI dan perjuangan demi DI kelak memberikan ‘penyelamatan’ manusia. Bila tidak di dunia ini, maka ‘penyelamatan’ itu kelak akan diperoleh di akhirat. Pengorbanan apa pun yang diberikan untuk perjuangan DI tak pernah sia-sia. Kematian akibat perjuangan DI dijanjikan memperoleh kesyahidan (martyrdom) dan membawa seseorang ke surga yang penuh kenikmatan. Ideologi inilah yang menyebabkan banyak anggota DI yang tahan menghadapi siksaan dan penderitaan. Di sini terletak salah satu kekuatan ajaran DI yang tidak mudah dipatahkan.

Keempat, daya pikat ideologi DI juga terletak pada wataknya yang romantis. DI merupakan sebuah gerakan revolusioner yang berupaya menghidupkan kembali romantisme Islam zaman Rasulullah Muhammad SAW. DI merupakan sebuah simboli-sasi ‘glorification of the past’. Di kalangan aktivis DI, ajaran-ajaran Kartosoewirjo memberikan --meminjam istilah Holk H. Dengel-- ‘angan-angan’ akan kejayaan Islam masa lampau, khususnya di zaman Nabi Muhammad. Perjuangan DI berupaya mewu-judkan kembali kejayaan masa lampau Islam itu dalam konteks dunia (modern) masa kini. Romantisme secara emosional memang memikat, karena ia melahirkan gairah untuk perjuangan membela cita-cita.

Kelima, sebagaimana Marxisme, ideologi DI merupakan ideologi monolitik (monolithic ideology). Sebagai ideologi monolistik, ideologi DI meyakinkan para penganutnya akan kemampuannya sebagai ‘alat penjelasan’ terhadap apa pun persoalan hidup manusia. Tidak hanya persoalan dunia, tapi juga akhirat. Segala persoalan hidup manusia di dunia dan akhirat seakan ada jawabannya dalam ideologi itu. Dan, dalam kehidupan spiritual manusia modern yang mengalami kegamangan, ketidak berdayaan menghadapi masa depan yang tidak pasti, dan ‘kekeringan jiwa’ ideologi monolistik seperti itu berdaya pikat luar biasa. Inilah faktor-faktor yang membuat ideologi DI dan Kartosoewirjo memiliki daya tarik.
Bersambung ke : KARTOSOEWIRJO: BIOGRAFI POLITIK INTELEKTUAL