Recent Posts

settia

KARTOSOEWIRJO: BIOGRAFI POLITIK INTELEKTUAL


Oleh : Ahmad Suhelmi, MA
Sambungan dari :
MENIMBANG KETOKOHAN S.M. KARTOSOEWIRJO DAN PEMIKIRAN POLITIKNYA
Sampai saat ini biografi Kartosoewirjo tetap merupakan ‘misteri’ sejarah. Siapa sesungguhnya Kartosoewirjo? Bagaimana tokoh ini menapaki jalan kehidupan intelektual, spiritual dan politiknya ketika hidup? Mengapa akhir kehidupan tokoh ini tragis, mati ditembak seperti ‘anak-anak revolusi’ Indonesia lainnya? Selama Orde Baru biografi Kartosoewirjo, seperti juga biografi Mohammad Natsir, Syafruddin Prawira-negara, Isa Anshary, Tan Malaka, Syahrir, Bung Karno dan Jenderal Sudirman seakan dihalangi dinding-dinding tebal wacana sejarah formal. Ada semacam kesengajaan untuk menyembunyikan peran-peran historis mereka dengan tujuan politis melanggengkan kekuasaan.

Ini berakibat buruk. Angkatan muda Indonesia saat ini yang nota bene tidak pernah mengalami pahit getirnya dinamika politik zaman Revolusi, Demokrasi Parlementer, dan Orde Lama, kurang atau bahkan tidak mengenal sama sekali tokoh-tokoh sejarah bangsa mereka sendiri. Mereka tidak mengenal secara objektif sisi ‘plus-minus’ peran historis dan jasa-jasa tokoh-tokoh sejarah itu. Bila demikian, bagaimana mungkin bangsa ini bisa belajar dari kesalahan atau kearifan mereka di masa lampau? Bagaimana mungkin bangsa ini menghargai jasa-jasa pahlawannya bila mereka tak dikenal? Padahal, seperti dikatakan Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.”

Yang berkembang kemudian, yang justru diyakini sebagai kebenaran sejarah, adalah mitologisasi sosok mereka. Mitologisasi itu misalnya terjadi dalam sosok Bung Karno. Cerita-cerita sejarah tentang Bung Karno berkembang penuh mitos yang kebenarannya sukar dipertanggungjawabkan secara akademis. Anak-anak muda kita mengidolakan Bung Karno tanpa pemikiran kritis. Dinding-dinding mitos di sekitar tokoh ini tentu perlu di ‘sobek’, agar sosok tokoh sejarah itu nampak sebagaimana adanya (as it is).

Biografi dan sejarah Bung Karno perlu didekonstruksi, sekaligus direkonstruksi.
Ketokohan Kartosoewirjo juga diliputi mitos dan manipulasi sejarah. Di masa Orde Baru karakter tokoh ini dimanipulasi dan dimitoskan, sehingga yang tampil di hadapan kita adalah Kartosoewirjo ‘pemberontak’, pengkhianat bangsa dan musuh negara jauh dari apa yang digambarkan Hiroko Horikoshi yang menilai tokoh ini sebagai pejuang anti penindasan kolonial, berjasa membendung Komunisme di zaman pergerakan nasional dan pejuang keadilan. Lukisan ‘distortif’ tentang Kartosoewirjo itu diindoktrinasi selama Orde Baru melalui berbagai penataran P4 (Pedoman, Peng-hayatan, Pengamalan Pancasila) dan pelajaran sekolah dari SD hingga SMU. Hal serupa dilakukan dalam pendidikan-pendidikan militer tingkat SESKO ABRI. Sisi-sisi positif kehidupan pribadi dan politiknya nyaris tidak akan ditemukan dalam buku-buku sejarah formal Orde Baru.

Dalam hal ini Orde Baru berhasil mensosialisasikan kebohongan sejarah untuk waktu relatif lama. Biografi Kartosoewirjo oleh karena itu perlu didekonstruksi. Peran-peran historisnya, terutama pra-gerakan DI (1949) perlu dikaji secara akademis, jujur dan objektif. Tanpa campur tangan kepentingan kekuasaan. Kartosoewirjo harus dilihat sebagai manusia yang memiliki kelebihan, sekaligus kelemahan. Sama seperti kita melihat sosok Bung Karno. Hanya dengan cara itulah kita bisa jujur pada sejarah. Saya kira dengan cara itulah generasi muda Indonesia akan mampu menempatkan ketokohan Kartosoewirjo dalam spektrum wacana sejarah yang adil dan objektif. Lepas dari bias-bias kepentingan politik. Dan dengan cara itu pula bangsa kita belajar semakin dewasa dalam menatap sejarah masa lampau.

Dekonstruksi sejarah dan biografi Kartosoewirjo dilakukan dengan menggali beberapa topik berikut. Pertama, bagaimana sesungguhnya peran Kartosoewirjo di zaman Kolonial, pergerakan nasional sebelum Indonesia merdeka? Apa makna historis keberadaannya dalam perjuangan melawan penjajahan? Kedua, dengan maksud dan tujuan apakah Kartosoewirjo membentuk DI? Mengapa ia memberontak terhadap pemerintahan Bung Karno? Apa motif sosial-ekonomi, militer dan ideologis yang melatari pemberontakannya? Adakah ia merasa dikhianati oleh Republik, ataukah karena wataknya yang tidak kompromistis? Mengapa kemudian ia menggunakan cara kekerasan (dengan membentuk Tentara Islam Indonesia/TII) untuk membentuk Negara Islam? Faktor-faktor apakah yang menyebabkan gerakan yang dipimpinnya mampu bertahan untuk jangka waktu relatif lama?

Jawaban-jawaban jujur dan objektif terhadap pertanyaan itu akan mampu memberikan gambaran yang lebih jernih tentang sosok sesungguhnya Kartosoewirjo. Untuk sampai kepada penjelasan-penjelasan historis yang objektif itu tentu diperlukan berbagai persyaratan tehnik-metodologis. Dua di antaranya adalah tersedianya data-data primair seperti tulisan, karya atau pidato-pidato Kartosoewirjo. Data primair ini sangat penting dalam kajian biografis karena mampu memberikan gambaran pemikiran Kartosoewirjo langsung dengan menggali sumber pertama. Sayangnya, tulisan-tulisan Kartosoewirjo sukar diperoleh. Peneliti serius mungkin dapat memperolehnya di perpustakaan luar negeri, seperti perpustakaan Leiden (Belanda), Monash University, Australian National University (Australia), Cornell University (Ithaca, AS), atau Library Congress (Washington DC, AS).

Diperlukan juga sejarawan biografi profesional yang benar-benar mumpuni melacak kehidupan pribadi tokoh sejarah. Namun di sinilah letak kelemahan dunia akademik kita selama ini. Kita belum memiliki, kalau pun ada jumlahnya amat terbatas, sejarawan ahli biografi itu. Dunia akademik barat telah lama memiliki sejarawan yang mengkhu-suskan kajiannya pada biografi tokoh-tokoh sejarah. Rudolf Mrazeck misalnya yang mengkaji biografi Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Karya Mrazeck tentang Tan Malaka menarik dilihat dari perspektif kultural dan psikoanalisa yang dipakainya untuk memahami dinamika pemikiran dan tingkah laku kedua tokoh itu. Riwayat hidup Tan Malaka ibarat cerita detektif, penuh kisah dramatis. Dia juga tokoh unik dan misterius. Mungkin karena alasan ini Mrazeck tertarik mengkaji biografinya.

Biografi Kartosoewirjo, saya kira tidak kalah menariknya dengan Tan Malaka, Syahrir, atau juga Bung Karno. Liku-liku dan perjuangan hidup Kartosoewirjo unik, dramatis, penuh ‘misteri’. Kartosoewirjo, meminjam Herbert Marcuse, bukan ‘manusia satu dimensi’ (one dimensional man) yang melulu bergulat dengan wacana teoritis yang abstrak. Dia juga seorang aktivis politik yang bergulat dengan dunia praxis dan menjadi bagian darinya. Karier semasa hidup membuktikan hal itu; Kartosoewirjo menjadi teoritisi dan politikus (PSII dan Masyumi, era 1920-an - pertengahan 1940-an), mistikus, wartawan, dan iman gerilyawan DI TII.

Kartosoewirjo adalah tokoh gerilyawan legendaris. Tidak berlebihan menyebut reputasinya sebagai gerilyawan jauh di atas tokoh Falintil, Xanana Gusmao. Ia mungkin setara dengan Che Guevarra, gerilyawan dan teoritisi Marxis terkemuka Amerika Latin. Atau setara dengan Nur Misuari, gerilyawan MNLF (Moro National Liberation Front). Belasan tahun lamanya Kartosoewirjo bersama pengikutnya tetap survive bergerilya di belantara hutan-hutan pegunungan Jawa Barat. Dalam keadaan sakit parah pun, sama seperti almarhum Panglima Besar Jenderal Sudirman, gerilya itu tetap dilakukannya.

Banyak persoalan di sekitar kehidupan pribadinya sejak remaja, masa pendudukan Jepang, zaman revolusi hingga detik-detik terakhir kehidupannya masih menjadi ‘teka-teki’ sampai saat ini. Sejarawan telah mengungkap sebagian perjalanan hidupnya. Namun, sejauh penelitian yang telah dilakukan mereka, tetap saja masih banyak ‘misteri’ kehidupan Kartosoewirjo yang tetap menuntut kejelasan.
Kartosoewirjo dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ayahnya seorang makelar candu di desa Pamotan, Rembang. Melihat pekerjaan ayahnya, jelas Kartosoewirjo bukanlah dilahirkan dalam keluarga santri, tapi keluarga abangan atau priyayi. Yang pasti keluarganya termasuk keluarga terpandang di masa itu. Ini dibuktikan dengan kemampuan keluarganya menyekolahkan Kartosoewirjo ke sekolah Belanda. Mengenai struktur nasabnya, Kartosoewirjo pernah menyebarkan desas-desus dirinya ‘berdarah biru’, keturunan Aryo Jipang, seorang cucu Raden Patah sang penakluk kerajaan Hindu Majapahit.

Pada usia 6 tahun ia masuk SR (Sekolah Rakyat), sekolah yang khusus bagi pribumi di Pamotan. Kartosoewirjo belajar hanya sampai kelas IV di SR itu, karena kemudian pindah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Tahun 1919 orang tuanya pindah ke Bojonegoro, maka Kartosoewirjo pun pindah sekolah. Oleh orang tuanya ia dimasukkan ke ELS (Europeesche Leger School). Semasa di Bojonegoro inilah ia belajar Islam pada Notodihardjo. Inilah satu-satunya pendidikan agama yang diperoleh Kartosoewirjo di masa kanak-kanak dan remajanya. Kartosoewirjo tidak pernah memasuki sistem pendidikan Islam seperti pesantren yang banyak terdapat di Jawa Timur.

Kartosoewirjo, seperti Soekarno, adalah seorang otodidak. Pengetahuannya tentang Islam sangat mungkin diperolehnya melalui buku-buku agama (berbahasa Belanda dan Inggris) atau diskusi dengan pemimpin-pemimpin politik Islam seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim.

Setelah lulus dari ELS (1923) Kartosoewirjo masuk Sekolah Kedokteran NIAS (Nederlandsche Indische Artsen School). Pendidikannya di NIAS tidak diselesaikannya karena ia diberhentikan (drop out) akibat menyimpan buku-buku Marxis-Komunis, 1927. Di mana itu (1926-1927) pemerintah kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya memburu orang-orang komunis yang dianggap terlibat dalam pemberontakan PKI. Sebagian komunis yang tertangkap dipenjarakan, disiksa atau dibuang ke Boven Digoel. Siapa pun yang kedapatan menyebarkan ideologi Marxis-Komunis ditangkap. Maka sangat beralasan bila pihak sekolah NIAS menghukum Kartosoewirjo dengan mengeluarkannya dari sekolah tersebut. Berhenti dari sekolah, bukanlah akhir proses belajar otodidaknya. Sistem pendidikan kolonial yang sempat digelutinya memberi-kannya bekal yang relatif cukup untuk menjelajahi berbagai pemikiran dan filsafat politik yang berkembang pada zaman itu, antara lain Marxisme.

Kartosoewirjo mempelajari (menyimpan) karya-karya Marxis? Dari mana ia memperoleh tulisan-tulisan itu? Kartosoewirjo mempunyai seorang paman bernama Marko Kartodikromo, tokoh komunis (PKI) seangkatan dengan Alimin, Tan Malaka, Semaun dan Darsono. Marko inilah yang memberikan buku-buku itu kepada Kartosoewirjo . Juga melalui pamannya inilah Kartosoewirjo tertarik pada Marxisme. Tetapi, kenapa ia tertarik? Tampaknya Marxisme (dan Komunisme) di zaman itu merupa-kan sebuah ideologi anti kolonialisme-imperialisme dan berpihak kepada rakyat tertindas. Inilah yang menjadi daya tarik Marxisme-Komunisme bagi kaum pergerakan ketika itu. Maka, tidak terlalu mengejutkan bila banyak tokoh pergerakan --termasuk yang beragama Islam-- yang mempelajari dan terinspirasi ideologi itu (terutama Marxisme). Di antara tokoh pergerakan itu antara lain: Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Syahrir, Haji Misbach dan Kartosoewirjo.

Bila ini diakui keabsahannya, maka terbuka kemungkinan radikalisme Kartosoe-wirjo dan semangat anti kolonialisme-imperialismenya di masa remajanya produk interaksi intelektualnya yang intensif dengan pemikiran-pemikiran Marxis. Ini bisa dimengerti mengingat akses Kartosoewirjo terhadap pemikiran atau ideologi Islam amat terbatas. Pendidikan agamanya, sebagaimana dikatakan di atas, juga terbatas. Ini barulah sebuah hipotesis yang perlu diteliti lebih jauh. Tapi tidak tertutup kemungkinan pula Kartosoewirjo mengalami radikalisasi akibat persentuhan dirinya dengan gagasan-gagasan Pan Islamisme Al-Afghani yang di masa itu cukup berpengaruh terhadap tokoh-tokoh pergerakan Islam. Situasi revolusioner, khususnya menjelang pemberontakan 1926-1927 juga telah membentuk wataknya menjadi radikalis.

Kartosoewirjo diusia remaja tidak seperti Natsir atau K.H. Agus Salim --tidak menguasai bahasa Arab yang amat vital bagi usaha memahami pemikiran Islam. Dalam soal ini, Kartosoewirjo tidak banyak berbeda dengan Soekarno. Interaksi pemikiran Kartosoewirjo paling intensif terjadi ketika belajar Islam dari Ajengan Ardiwisastra di Malangbong (Tasikmalaya, Jawa Barat).

Lalu, salahkah Kartosoewirjo, seperti juga Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir dan lain-lain mengadopsi pemikiran-pemikiran Marxis? Saya kira tidak juga. Karena pertama, mereka adalah sebagian dari produk sistem pendidikan kolonial. Dalam sistem pendidikan kolonial, guru-guru Belanda yang mendidik tokoh-tokoh itu sebagian bersemangat marxis-humanis dan liberal. Mereka inilah yang mempengaruhi anak-anak didiknya seperti Soekarno, Syahrir, atau Hatta.

Kedua, di zaman itu bangsa kita membutuhkan sebuah ideologi perlawanan terhadap kolonialisme-imperialisme. Kekejaman penjajahan mesti di ‘sobek’, dan itu hanya mungkin dilakukan oleh gerakan-gerakan ideologis radikal seperti Marxisme. Ketiga, struktur sosial mengalami proses ideologisasi dalam skala pasif. Berbagai aspek kehidupan sosial, politik dan agama mengalami ideologisasi. Oleh karena itu, sejarawan Kuntowijoyo menyebut zaman itu (dekade pertama abad XX), ‘fase ideologi.’ Dalam konteks historis itulah pengadopsian Marxisme mesti dipahami. Dalam perspektif mereka Marxisme menyediakan suatu basis ideologis bagi perlawanan itu. Di mana itu, bahkan berkembang anggapan bahwa Marxisme-Komunisme tidak bertentangan dengan Islam karena keduanya sama-sama berpihak kepada kaum tertindas dan anti kolonialisme-imperialisme. Penganut pandangan ini antara lain Soekarno dan Haji Misbach.

Di sinilah saya kira perbedaan menyolok antara Kartosoewirjo dengan Natsir misalnya. Sama seperti patriot bangsa lainnya, Natsir juga anti kolonialisme-impe-rialisme. Namun wataknya yang demikian lebih terinspirasikan oleh Islam, ketimbang Marxisme. Natsir sejak kanak-kanak telah belajar Islam di surau dan beranjak remaja dididik tokoh-tokoh Islam seperti Ahmad Hasan, radikalis Persis (Persatuan Islam) dan Haji Agus Salim. Bagi Natsir, Islam adalah agama anti penindasan yang menolak ekploitasi manusia oleh manusia (L’exploitation de L’homme par L’homme). Bila benar radikalisme Kartosoewirjo terinspirasikan oleh Marxisme maka persoalannya kemudian adalah bagaimana tokoh ini bisa memilah Marxisme sebagai ideologi perlawanan (ideologi of protest) dan pada saat yang sama membuang jauh-jauh ‘unsur-unsur ateistik’ dalam ajaran-ajaran Marx itu? Persoalan ini patut dikaji sejarawan biografi.

Kecenderungan Kartosoewirjo pada kegiatan organisasi sudah mulai nampak tatkala memasuki Jong Java, Jong Islamieten Bond (JIB) dan kemudian PSII. Dalam waktu relatif singkat Kartosoewirjo telah menunjukkan kemampuannya memimpin. Tidak terlalu mengejutkan bila tokoh Sarekat Islam H.O.S. Tjokroaminoto kemudian mengangkatnya menjadi sekretaris pribadinya. Sebagai sekretaris Tjokroaminoto, Kartosoewirjo jelas memiliki tempat tersendiri di hati tokoh puncak Sarekat Islam itu. Dalam hubungan dekatnya dengan Tjokroaminoto itulah nampaknya Kartosoewirjo belajar banyak tentang Islam, metode organisasi, berkomunikasi dengan massa dan membangun kekuatan umat. Dan di masa ini pula ‘sosok Islam ideologis’ Kartosoe-wirjo mulai terbentuk. Ia mulai mendambakan lahirnya Negara Islam dan masyarakat Islam ideal di Indonesia suatu saat kelak. Juga di rumah Tjokroaminoto (Cimahi, Bandung) untuk pertama kalinya Kartosoewirjo berkenalan dengan Soekarno yang ketika itu telah menjadi ketua PNI. Interaksi Soekarno dengan Kartosoewirjo di rumah Tjokroaminoto masa itu tentu merupakan peristiwa sejarah menarik yang patut diteliti sejarawan.

Dalam usia 20 tahun (1927), Kartosoewirjo menjadi wartawan surat kabar Fadjar Asia mulai dari bawah sebagai korektor dan reporter. Dalam waktu 16 bulan kemudian ia diangkat sebagai wakil pemimpin redaksi dan kuasa usaha. Ini prestasi cukup mengesankan ketika itu. Dalam fase kehidupan jurnalistik inilah Kartosoewirjo mengembangkan kemampuan artikulasi gagasan-gagasannya. Fadjar Asia wadah pa-ling tepat untuk itu. Dalam Fadjar Asia itulah tulisan-tulisannya ‘mengalir’ bak air terjun.

Gagasan-gagasan radikal Kartosoewirjo mulai nampak dalam artikel-artikel Fadjar Asia itu. Ia menentang para bangsawan Jawa (kaum priyayi) yang bekerja sama dengan pemerintahan Belanda. Pembelaannya terhadap kaum tertindas, petani kecil dan buruh-buruh juga dikemukakan. Ketika para petani kecil di Lampung diusir dari tanah miliknya oleh ‘kapitalis asing’, Kartosoewirjo menulis: “Orang-orang Lampung dipandang dan diperlakukan sebagai monyet belaka, ialah monyet yang diusir dari sebatang pohon ke sebatang pohon lainnya.” Dikecamnya Volksraad yang tidak melindungi dan berpihak kepada rakyat serta ‘hanya omong kosong belaka.’ Kepada kaum buruh ia menyerukan melawan para penindasnya: “Jangan berkeluh kesah, jangan meminta-minta! Jangan tinggal diam saja! Kalau takut mati jangan hidup! Kalau hendak hidup janganlah takut mati!” Dalam tulisannya yang lain ia mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya bisa diperoleh dengan pengorbanan: “Sebab kemerdekaan tanah air itu tidaklah sedikit harganya, yang oleh karenanya harganya, tentu bakal memakan korban luar biasa.”

Kepada kaum abangan dan PNI Soekarno yang menyerang Islam, reaksi Kartosoewirjo lebih keras lagi. Mengetahui Parada Harahap --ketua redaksi Bintang Timoer-- menghina Islam, Kartosoewirjo menulis: “Si Parada Harahap menjilat-jilat pantat dan mencari muka kaum Nasionalis (PNI). Menjilat pantat dan mencari muka, karena ia perlu akan hal itu sebab boleh jadi Parada Harahap takut kalau ia lantaran berbuat berkhianat terhadap kepada bangsa dan tanah air -mendapat kemplangan di arah kepalanya, sehingga boleh jadi ia menjadi tidak sadar kalau tidak mampus sama sekali.” Kartosoewirjo juga menjuluki Parada Harahap ‘Penjual Bangsa Indonesia’, dan ‘Binatang Tikus dari Krekot.’

Dalam dekade 1930-an peran politik Sarekat Islam semakin menurun akibat wafatnya Tjokroaminoto (1934), krisis keuangan, munculnya golongan nasionalis sekuler (PNI Soekarno), dan konflik internal antara kubu kooperatif versus non-kooperatif. Sebelumnya SI dilanda konflik antara ‘SI Merah versus SI Putih?’ Dalam pergolakan di tubuh SI itu, Kartosoewirjo bersama Abikoesno Tjokrosoejoso berpihak ke kubu ‘SI Putih’ dan kubu non-kooperatif. Di masa ini Kartosoewirjo memainkan peran politiknya yang strategis dalam Sarekat Islam. Ia seakan menjadi ‘pemimpin politik bayangan’ yang menggantikan Tjokroaminoto. ‘Peran sentral’ tampak dari per-mintaan organisasi agar Kartosoewirjo menulis Brosur Sikap Hidjrah PSII yang dapat dijadikan landasan ideologis perjuangan PSII. Sikap Hidjrah PSII merupakan master-pice, salah satu karya tulis terbaik Kartosoewirjo.

Dalam tulisan itu Kartosoewirjo membahas fase-fase perjuangan Islam PSII, kewajiban jihad dan hijrah dan konsolidasi kekuatan Islam. Secara kreatif-inovatif ia menganalogikan Indonesia sebagai Makkah yang harus ditransformasikan menjadi Madinah. Makkah dan Madinah bermakna simbolik, yang pertama bermakna negara kafir (jahiliyah) dan yang kedua Negara Islam. Menegakkan negara berdasar Islam menurutnya adalah bagian dari upaya umat Islam mengikuti sunnah (tradisi) Rasulullah Muhammad SAW. Di sini Kartosoewirjo mendemonstrasikan secara piawai pengeta-huannya mengenai tarikh klasik Islam, tafsir Al-Qur`an dan strategi perjuangan mene-gakkan Islam.

Bersambung ke : DARUL ISLAM : ANGAN-ANGAN KEKUASAAN POLITIK ISLAM