Recent Posts

settia

Islamisme dan Paradigma Kemanusiaan Ali bin Abi Thalib


Sejatinya, tidak ada agama yang mengajarkan tentang kejahatan kemanusiaan. Kecuali mereka para pemeluknya yang mengalami Troubled awareness secara intelektual, emosional dan spiritual dalam menganalisis, mengkaji, serta experience dalam agama tersebut. Bagaimana kita mencapai keimanan yang paling tinggi, jika kesadaran IQ, SQ, dan EQ dalam diri kita telah mengalami kelumpuhan secara fungsional. Kita harus tahu bahwa kesadaran manusia adalah derajat ketuhanan yang paling tinggi di dunia ini.

Ajaran Islam Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah bukti kesadaran Islam yang telah hilang. Kita harus membangun paradigma kemanusiaan dengan membangkitkan kembali organ-organ Islam yang “memanusiakan manusia lain”. Karena Islam yang seharusnya mencerahkan telah menjadi redup. Islam yang seharusnya menyenangkan telah menjadi ketakutan dan kegetiran. Islam yang seharusnya menjadi pelindung, keamanan, dan kenyamanan, telah berubah menjadi sistem legalitas kekerasan yang melupakan kemanusiaan.

Kita lupa bahwa keimanan sesungguhnya harus kita perjuangkan dengan bentuk pematangan, dan keteguhan hati.  Karena kesempurnaan iman dapat dibentuk dengan pemantapan hati kepada-Nya, relasi sosial yang baik, serta aktivitas kebaikan-kebaikan sosial dan spiritual. Bukan dengan cara membantai dan melakukan bom bunuh diri terhadap mereka yang tidak seiman. Karena problematika ini terletak pada “kecerdasan emosional” kita tidak berfungsi secara normal. Sehingga kita melupakan bahwa sesungguhnya, di balik perbedaan keyakinan dalam diri kita. Ada satu kesatuan yang tidak bisa kita pisahkan satu sama lainnya. Yaitu “saudara sesama umat manusia”.

Kita lahir dalam komunitas yang paling diagungkan oleh Tuhan karena kita bisa “berpikir” karena memiliki akal bukan tindakan “Insting” yang hanya akan memunculkan sifat kebinatangan dalam bertindak. Kita diciptakan dengan kesempurnaan hati, akal, perasaan, jiwa, serta tindakan-tindakan yang mencerminkan itu semua. Kita dalam satu kelompok yang harus membangun peradaban yang lebih baik. Jangan sampai dengan berbedaan tiap-tiap individu maupun kelompok bisa menjadi pemicu terjadinya kehancuran komunitas kita.

Kita hidup dengan kebudayaan yang egoisme yang berlebihan. Misal, kita begitu peka terhadap kesalahan orang lain, dan bahkan berusaha untuk sedemikian detailnya kesalahan-kesalahan orang lain untuk kita dapatkan sebagai opini dasar yang akan kita gunakan sebagai dalih pembentukan opini kebenaran diri. Bahwa hasil pemikiran, keyakinan, dan bahkan tindakan dirinya secara pribadi itu adalah kebenaran yang sangat mutlak. Sedangkan orang lain yang telah kita cabik-cabik itu murni sebuah kesalahan. Egoisme yang semacam ini sangat banyak digunakan dalam masyarakat beragama di Indonesia saat ini.

Dengan membuang egoisme semacam itu, nilai persaudaraan dalam kemanusiaan kita akan secara perlahan terbangun dengan sendirinya. Karena yang akan bekerja adalah kesadaran kita secara spiritual, emosional, dan intelektual. Jika tiga kerangka kesadaran manusia ini ada yang bermasalah, bahkan tidak berfungsi, niscaya ini akan menjadi polemik yang akan memicu pertikaian dalam banyak hal perbedaan yang ada dalam pribadi-pribadi tersebut. Karena kita tidak akan menerima perbedaan tersebut secara emosional, dan tidak akan dipertimbangkan secara intelektual, dan akan berpengaruh terhadap spiritual kita.

Pandangan Islam kemanusiaan Ali bin Abi Thalib merupakan warisan terpenting Nabi Muhammad SAW untuk masa depan Islam yang lebih gemilang. Islam yang lebih mengedepankan nilai-nilai toleransi, persatuan, kebersamaan, dan saling melindungi dengan mengatasnamakan “persaudaraan sesama manusia”. Karena iman letaknya dalam hati yang harus kita teguhkan dengan menjalani syariatnya: yaitu menjalani perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya  “hablum minallah . Serta berbuat kebaikan sesama umat manusia tanpa memikirkan sebuah perbedaan “hablum minannas”.


Ali Bin Abi Thalib: Jika Dia Bukan Saudaramu Seagama, Dia Saudaramu Dalam Kemanusiaan

Sebelum lebih dari satu dekade silam, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mengumumkan dengan bangga bahwa, Komisi Hak Asasi Manusia di New York mengeluarkan keputusan historisnya pada tahun 2002 yang menyatakan, “Khalifah kaum Muslimin Ali bin Abi Thalib adalah penguasa paling adil sepanjang sejarah manusia.” Keputusan itu didasarkan pada dokumen setebal 160 halaman.

Bertahun-tahun kemudian, Komisi Hukum PBB merilis pesan Ali bin Abi Thalib kepada wakilnya di Mesir, Gubernur Malik Al-Asytar, “Wahai Malik, sesungguhnya manusia itu ada dua tipe: Jika dia bukan saudaramu seagama, dia saudaramu dalam kemanusiaan.” Setelah melewati berbagai diskusi dan kajian, akhirnya pesan itu masuk nominasi untuk dijadikan salah satu sumber hukum dunia. Puncaknya pemungutan suara memutuskan pesan itu sebagai salah dasar hukum positif.

Dan tidak lama kemudian, saya mendengar seorang profesor yang meceritakan tentang perjalanannya ke Cina dipandu seorang aktivis yang memiliki lembaga sosial. Saat profesor itu berjalan di jalan raya, sang pemandu menunjukkan padanya sebuah bangunan tingkat tinggi yang di sisinya tertulis ungkapan berbahasa Cina. Kalimat ini, kata sang pemandu, menjadi slogan hidup masyarakat. Dan katanya, pernyataan ini berasal dari pria Arab. Sang profesor pun kemudian mencatatnya.

Lalu saya bertanya pada sang profesor: “Apa bunyi ungkapan itu dan siapa pria yang mengatakannya?”

Dia pun menjawab bahwa sumber ungkapan itu adalah pria yang Anda sebut dengan nama Ali bin Abi Thalib dimana dia pernah berkata, “Seandainya kemiskinan berwujud manusia, maka aku akan membunuhnya.”

Jika kita memeriksa koleksi perpustakan kongres AS di Washington dan membaca buku berjudul Lost History: The Enduring Legacy of Muslim Scientists karya penulis kontemporer Amerika, Michael Hamilton Morgan, maka kita akan menemukan kekagumannya yang luar biasa terhadap kebijaksanaan seorang penguasa bernama Ali bin Abi Thalib. Hal itu tercermin ketika Morgan menjelaskan surat-surat Ali pada gubernur-gubernurnya, diantaranya surat panjang dia kepada Malik Al Asytar di Mesir. Surat-surat itu menekankan pada mereka untuk memperlakukan warganya yang non-muslim dengan semangat keadilan dan kesetaraan dalam hak dan kewajiban.

Penulis asing ini memandang dengan refleksi yang jujur tentang prilaku terpuji khalifah yang dibingkai dengan keutamaan-keutamaan akhlak itu. Menurutnya, prilaku mulia itu meletakkan Ali dalam sejarah kemanusiaan dari pintu yang lebih luas.

Demikian juga jika kita dalami pembahasan ini, kita akan dapatkan Imam Ali as sebagai simbol kepribadian sekaligus pendekatan ilmiah yang diajarkan dikebanyakan negara-negara di dunia.

Namun, ketika kita meminta mahasiswa di negara-negara Islam manapun untuk menengok kembali pada periode kekhalifahan dan bertanya tentang sosok Ali, maka jawabannya tidak lebih dari apa yang diajarkan dalam buku-buku sejarah yang ada. Yaitu bahwa Ali adalah anak paman Nabi, menantu Nabi, khalifah keempat, sahabat yang termasuk dalam 10 yang dijamin masuk surga, prajurit pemberani di medan tempur, dan hanya sampai di situ?!

Maka, apakah tidak layak sosok Ali yang ada dalam sekitar 110 ayat Al Qur’an terkait dengannya, menambah halaman-halaman buku sejarah Islam untuk memperkenalkan sosok ini kepada anak-anak kita?

Tentang kemanusiaan sosok ini, tentang kontribusinya yang kaya, tentang pembelaan dan kesyahidannya untuk menegakkan kalimat ‘tiada Tuhan selain Allah’, dan suatu hakikat Islam manusiawi? Tidakkah mereka layak mendapat pelajaran dan hikmah dari sosok ini yang dapat membantu mereka dalam membangun dasar yang benar sebagai representasi kebenaran nyata ajaran Allah Swt?

Akhirnya, pertanyaan saya pada semua pihak yang berkepentingan, siapa yang bertanggung jawab atas penyembunyian sosok Muslim yang berharga ini dari lembaran-lembaran sejarah Islam ini ?

MENEMUKAN NILAI KEMANUSIAAN DALAM BERAGAMA


Venomena menggelisahkan kehidupan beragama akhir-akhir ini, berimbas pada kekhawatiran keretakan sosial berbangsa dan bernegara. Apa itu?, adalah rentetan peristiwa manifestasi nilai-nilai agama yang berujung pada doktrin kebenaran sepihak. Fakta yang masih hangat adalah rentetan peristiwa bom bunuh diri yang diyakini bagian dari perintah agama, yakni Jihad fi Sabilillah.

Pada fenomena lain adalah gencarnya dakwah nilai agama melalui media sosial yang banyak mengandung konten radikalisme dan fundamentalisme. Banyak konten dakwah yang cenderung kepada doktrin kebenaran sepihak, bukan “maslahah ammah”, cendrung membenarkan dan memaksakan untuk pendapatnya diakui benar dan diikuti kebenarannya. Padahal pendapat itu belum teruji secara empiris dalam situasi dan kondisi tertentu. Ini semakin memperkuat salah satu keterangan dalam Al-Qur’an bahwa tanda perpecahan adalah ketika setiap golongan merasa paling benar, “Kullu Hizbin Bimaa Ladaihim Farihuun”.

Lantas ada apa dengan cara beragama mereka yang mengatasnamakan “jihadis” agama? Bukankah semua agama mengajarkan nilai kemanusiaan?. Kendala apa yang menghambat pemahaman mereka sampai pada rasa cinta kepada Tuhannya yang dibuktikan dengan cinta kepada sesamanya?, Dalam ajaran Islam misalnya, jelas memerintahkan membangun hubungan baik kepada Allah dan manusia sesamanya.

Padahal jika diperhatikan secara etimologis kata agama berasal dari bahasa sanskerta. Kata ini tersusun dari kata A dan Gama. A yang berarti tidak dan sedangkan Gama berarti berjalan atau berubah. Jadi agama berarti tidak berubah. Demikian juga menurut H. Muh. Said. sejalan pendapat itu Harun Nasution juga mengemukakan, bahwa agama berasal dari bahasa sanskrit. Menurutnya, satu pendapat mengatakan bahwa kata itu tersusun dari dua kata yaitu A = tidak, dan Gama = Pergi. Dengan demikian agama berarti tidak pergi atau tetap di tempatnya.

K.H. Taib Abdul Muin, juga memberi pendapat bahwa kata agama berasal dari bahasa sansekerta, yang mana A berarti tidak, dan Gama berarti kocar kacir. Jadi agama berarti tidak kocar kacir, dalam artian agama itu teratur. Sementara itu K.H. Zainal Arifin Abbas dan Sidi Gazalba , berpendapat bahwa istilah agama dan religi serta Al Din itu berbeda-beda antara satu dan lainnya. Masing-masing mempunyai pengertian sendiri. Lebih jauh lagi, Gazalba menjelaskan bahwa Al-din lebih luas pengertian nya dari pada pengertian agama dan religi. Agama dan religi hanya berisi ajaran yang menyangkut aspek hubungan antara manusia dan tuhan saja. Sedangkan al-din berisi dan memuat ajaran yang mencakup aspek hubungan antara manusia dan tuhan dan hubungan sesama manusia. Frazer dalam buku Agama Muslim di Tanah Batak, 2010, berpendapat bahwa agama adalah sebagai perdamain atu tindakan mendamaikan dari kuasa-kuasa atas kepada manusia yang mana dipercayai mengatur dan mengontrol alam raya dan kehidupan manusia.

Terminologi dasar agama dari pengertian agama, semuanya mengarah pada keteraturan, keharmonisan, perdamaian, serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Lantas mengapa masih ada “oknum” ingin membunuh saudaranya atas nama agama?, hanya karena berbeda Tuhan, kenapa atas nama jihad ada yang rela melakukan aksi bom bunuh diri untuk mencelakai orang lain atau kelompok agama lain?.

Lantas bagaimana terminologi agama Islam melihat esensi beragama?, Ini perlu dipahami karena para jihadis selalu mengatasnamakan nilai Islam dalam setiap aksinya. Berdasarkan ilmu bahasa (Etimologi) kata ”Islam” berasal dari bahasa Arab, yaitu kata salima yang berarti selamat, sentosa dan damai. Dari kata itu terbentuk kata aslama, yuslimu, islaman, yang berarti juga menyerahkan diri, tunduk, paruh, dan taat.

Ahmad Abdullah Almasdoosi (1962) bahwa islam adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia dilahirkan ke muka bumi, dan terbina dalam bentuknya yang yang terakhir dan sempurna dalam al-Qur’an yang suci yang diwahyukan tuhan kepada nabi nya yang terakhir, yakni nabi Muhammad ibn Abdullah, suatu kaidah hidup yang yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material.

Dari definisi agama Islam di atas jelas mengarah kepada kesimpulan bahwa Islam menghadirkan keselamatan, kedamaian, dan tuntunan hidup dunia dan akhirat melalui teladan Rasulullah SAW. Jika teladan kita ada Rasulullah SAW, maka dipastikan tidak ada model jihad yang diyakini para ‘jihadis’ sekarang. Rasullullah mengutamakan kemaslahatan, menolak kemadhorotan, beliau mampu mendudukkan Agama dan Negara secara berdampingan, saling menyempurnakan dalam bentuk “Piagam Madinah”.

Lantas kenapa para ‘jihadis’ atas nama ajaran Islam, pola implementasi keagamaannya tidak sampai pada filosofi dasar agama dan Islam?, Bukankah di Islam terdapat tahapan konsep implementasi ajaran Islam yang mengarahkan kematangan seseorang dalam menjalankan ajaran Islam?, Misalnya konsep Islam, Iman, dan Ihsan, atau konsep syariah, hakikat, dan ma’rifat, atau dalam perspektif tasawuf ada tingkatan perjalanan takholli, takholli dan tajalli.

Nampaknya, memang mungkin mereka para ‘jihadis’, memilki pemahaman dan pola implementasi ajaran Islamnya berhenti pada tahapan Islam, syari’ah, dan takholli. Sehingga tidak dapat menemukan ‘rasa esensial’ dalam membangun hubungan dengan Allah SWT dalam praktek ritual ibadah, yang seharusnya menumbuhkan jiwa humanis dan harmonis pada sesamanya (hablun minannas).


Sebagai penguatan bahwa atas nama apapun jihad dengan bunuh diri atau membunuh orang lain yang dalam kekuasaan pemimpin Islam tidak dibenarkan. Diringkas oleh Ari Wahyudi dari penjelasan Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah dalam kitab beliau Bi ayyi ‘aqlin wa diinin yakuunu tafjir wa tadmir jihaadan?! Waihakum, … Afiiquu yaa syabaab!! (artinya: Menurut akal dan agama siapa; tindakan pengeboman dan penghancuran dinilai sebagai jihad?! Sungguh celaka kalian… Sadarlah hai para pemuda!!)

Jika pandangan para jihadis adalah menagakkan ajaran Allah melalui teladan Rasulullah SAW, maka sesungguhnya Rasul mengharamkan pola jihad yang demikian. Membunuh orang kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’man (orang-orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslim), adalah perbuatan yang haram. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Barangsiapa yang membunuh jiwa seorang mu’ahad (orang kafir yang memiliki ikatan perjanjian dengan pemerintah kaum muslimin) maka dia tidak akan mencium bau surga, padahal sesungguhnya baunya surga bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.” (HR. Bukhari).

Allah dan Rasul-Nya juga memastikan bahwa bunuh diri atas motif apapun bukan jihad. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (QS. An-Nisaa’: 29)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bunuh diri dengan menggunakan suatu alat/cara di dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari berbagai uraian mendasar tentang agama, Islam, tuntunan Al-Qur’an, dan teladan Rasulullah SAW jelas sekali bahwa esensi ajaran agama Islam penuh dengan nilai kemanusiaan. Menghindari kemafsadatan diutamakan, dari pada mendapatkan kemaslahatan. “dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil masholikh”.

Pemahaman ajaran agama yang dangkal merimplikasi pada implementasinya yang tidak bisa menyentuh pada ranah Ihsan. Ajaran agama Islam yang seharusnya menjadi pendamai, umat Islam yang seharusnya menjadi “ummatan wasathon”, karena ulah oknum jihadis berubah menjadi doktrin fundamental yang menyeramkan. Sangat jelas tercermin dalam pola doktrin mereka yang memutar balikkan esensi ayat Allah “barang siapa tidak menggunakan hukum seperti yang diturunkan Allah, maka sesungguhnya mereka adalah termasuk orang-orang kafir”, bagi mereka yang tidak menggunakan hukum Islam, menurut para jihadis adalah thogut. Akhirnya menurut mereka, semua kafir dan thogut harus dibunuh. Padahal jelas Islam memberikan tuntunan dakwah secara bertahap dengan isyarat ayat “ud’u Ilaa sabili rabbika bil hikmati wa mau’idzotil hasanah”, pada ayat lain disebutkan “wajaadilhum billati hiya ahsan”, dan berdakwahlah dengan cara yang bijaksana dan pitutur yang baik.

Walhasil, melalui narasi kegelisahan atas sikap orang yang beragama, tapi tidak menunjukkan nilai kemanusiaan dalam kehidupan sosialnya, mestinya harus muhasabah ulang, apa yang salah dalam memahami ajaran agama?, sudah sampai mana tahapan pemahaman dan amaliyah ajaran agama yang diyakininya?, Jika sudah Islam dan Iman, maka menyempurnakan untuk sampai tahap Ihsan menjadi penting. Karena dengan pemahaman ajaran agama Islam yang komprehensif akan berbuah pada manifestasi nilai kemanusiaan dalam beragama.

Jalur menuju tahapan Ihsan untuk menghadirkan nilai kemanusiaan bisa dilakukan dengan pendalaman ajaran agama Islam tidak sekedar tekstual, tapi juga harus kontekstual. Kebenaran yang diyakini harus diuji secara empiris dan historis, sehingga keberadaannya menjadi “sholihun fi kulli zamanin wa makanin”, adaptif dalam semua waktu dan tempat. Referensi keyakinan dan kebenaran harus diteliti orisinalitas matan dan perawinya dari segala perspektif baik dari keilmuan, maupun pola implementasi amaliyah keagamaanya. Akhirnya, yakinlah bahwa memunculkan nilai kemanusiaan dalam beragama adalah bagian dari menjaga kelestarian dan menagakkan ajaran agama.