Recent Posts

settia

Hukum Mata Uang Kripto sebagai Alat Transaksi Menurut Hukum Indonesia


Di tengah popularitas mata uang kripto, legalitas penggunaannya menurut hukum di Indonesia masih menjadi pertanyaan banyak orang.

Saat ini, mata uang kripto menjadi aset yang sangat diminati. Bahkan, menurut survei Bank Rate, 49% generasi milenial di Amerika Serikat menganggap kepemilikan kripto sebagai suatu kebutuhan.

Popularitas mata uang kripto yang diawali oleh Bitcoin pun terus merebak ke masyarakat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Namun, di tengah popularitasnya yang sedang memuncak, bagaimana sebenarnya legalitas mata uang kripto menurut hukum di Indonesia? Apakah mata uang kripto sah digunakan sebagai alat transaksi?

Sebagaimana dilansir Tren Asia, jaringan Kabar Siger, dalam buku berjudul ‘Penilaian Risiko Indonesia terhadap Tindak Pidana Pendanaan Terorisme’ (2015) yang ditulis oleh Tim National Risk Assesment (NRA) Indonesia Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, mata uang kripto belum mendapatkan pengaturan yang tegas dalam penggunaannya.

Bahkan, sifat mata uang kripto yang terdesentralisasi sehingga tidak ada badan pengawas yang mengatur segala aktivitas transaksi membuat aset digital itu seringkali digunakan untuk perdagangan yang sifatnya ilegal.

Legalitas Mata Uang Kripto

Dalam Pasal 202 Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran, dipaparkan bahwa Bitcoin, BlackCoin, Dash, Dogecoin, Litecoin, Namecoin, Nxt, Peercoin, Primecoin, Ripple, dan Ven adalah contoh dari mata uang kripto.

Menurut pasal tersebut, mata uang kripto atau virtual currency adalah uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter.

Maka dari itu, penyedia jasa pembayaran (PJP) seperti bank atau lembaga yang memfasilitasi transaksi lainnya dilarang menerima, melakukan pemrosesan, dan mengaitkan mata uang kripto dengan transaksi pembayaran.

PJP juga dilarang untuk memfasilitasi perdagangan mata uang kripto sebagai komoditas, terkecuali untuk yang sudah diatur sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan.

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, rupiah sebagai mata uang yang dikeluarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah alat pembayarang yang sah.

Dalam keterangan yang dirilis Bank Indonesia, mata uang kripto untuk saat ini tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah sehingga dilarang penggunaannya dalam transaksi di Indonesia.

Meski mata uang kripto secara legalitas belum diakui keabsahannya oleh hukum yang berlaku di Indonesia, namun Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menerbitkan peraturan Nomor 7 Tahun 2020 yang mengesahkan mata uang kripto sebagai aset yang dapat diperdagangkan.

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Bappebti 7/2020 menjelaskan:

Calon Pedagang Fisik Aset Kripto dan/atau Pedagang Fisik Aset Kripto hanya dapat memperdagangkan Aset Kripto di Pasar Fisik Aset Kripto yang telah ditetapkan oleh Kepala Bappebti dalam Daftar Aset Kripto yang dapat diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.

Sanksi Penggunaan Kripto sebagai Alat Transaksi 

Demi menjamin adanya suatu perlindungan hukum dan menjalankan transaksi pembayaran yang sah di lingkup nasional, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral berwenang untuk memberikan sanksi administratif.

Dalam Pasal 205 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 23 Tahun 2021, ditegaskan bahwa pihak PJP yang melanggar aturan terkait transaksi mata uang kripto akan dikenakan sanksi berupa:
(1) teguran,
(2) penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan termasuk pelaksanaan kerja sama, dan/atau
(3) pencabutan izin sebagai PJP.

Sementara itu, pelaku transaksi yang tidak menggunakan mata uang rupiah dapat dikenai hukuman pidana paling lama satu tahun dan denda sebanyak Rp200 juta seperti yang terangkum dalam Pasal 33 ayat (1) UU Mata Uang.

Simpulannya, untuk saat ini, mata uang kripto belum dinyatakan sah sebagai alat transaksi di Indonesia. Meski demikian, penggunaan mata uang kripto sebagai aset yang dapat diperdagangkan masih sah hukumnya. (*)