Tulisan
sederhana lagi tak ilmiah ini, tidak lagi menyoal apakah Clinton
Program itu ada, nyata atau tidak, “Tak akan ada asap tanpa api”. Mimpi
itu ada walau tidak nyata, namun toh kerap berperan dalam kehidupan
seseorang. Kentut pun hampir sama, meski tak terlihat tetapi ada dan
nyata, terutama ‘berperan’ (menjadi masalah) bagi orang-orang yang
menciumnya.
Berbasis analogi di muka, catatan ini coba menguak topik isue di atas
melalui beberapa tanda atau indikator. Manakala tanda-tanda orang
bermimpi itu bicara sendiri (nglindur), melakukan gerak sewaktu
tidur, dsb atau tatkala indikasi orang kentut nampak dari mimik,
gerak-gerik tubuh, dll maka dari perspektif inilah kita hendak membuka
tabir dimaksud. Sederhana.
Mari
cermati perilaku geopolitik asing di NKRI yang indikasinya berujung
pada skema “Balkanisasi Indonesia”. Awal diskusi akan dimulai dari
kondisi politik global terlebih dulu, baru kemudian meliuk ke tanah air.
Sepakat? Agar tak berkepanjangan, kita mulai semenjak berakhir Perang
Dunia (PD) II dekade 1939-1945.
Usai PD II, geliat geopolitik Eropa dan Amerika (AS) terkesan stabil
kecuali Inggris yang masih digaduhkan oleh separatis Irlandia Utara
(IRA). Kelompok kolonial seperti Belanda, Prancis, AS, Portugis, Sanyol,
Inggris, dan lain-lain cenderung diam meskipun secara (silent)
sistematis tetap melakukan kendali di bekas negara-negara koloni
khususnya kontrol terhadap ekonomi dan politik. Indikatornya tercermin
dengan aneka ‘penyatuan negara’ dalam bentuk kerjasama baik ekonomi,
politik, maupun pakta pertahanan seperti Five Power Defence Agreement (FPDA), ANZUS, Commonwealth, dan sebagainya.
Melambung sebentar ke depan. Barangkali kegaduhan paling aktual ialah
gerakan Occupy Hongkong yang kini terjadi di wilayah ex koloni Inggris
tersebut. Momen tersebut dapat diterka (diduga) merupakan implementasi British Geopolitic (BG),
dimana pola perilakunya mencaplok terlebih dulu simpul-simpul
transportasi, sebelum akhirnya (menjajah) ke sektor-sektor lain. Ada apa
sich di Hongkong (HK)? Dari aspek sumberdaya alam (SDA), HK tidak
sedahsyat Xinjiang bahkan tergolong miskin SDA. Namun hebatnya, ia
memiliki pelabuhan besar di tepi jalur (perairan) internasional yakni
pelabuhan laut (seaport) serta bandara udara (airport)
bertaraf internasional. Bahkan seaport HK merupakan 10 pelabuhan
tersibuk di dunia, demikian juga airport-nya menjadi pusat transit
penting di dunia karena letaknya yang strategis. Itulah sumberdaya HK
yang justru menggiurkan bagi negara imperialis seperti Inggris, AS, dan
lain-lain.
Kembali ke era pasca PD II (Perang Dingin). Jika jeli menyimak, banyak
kasus kudeta (dan konflik) di negara-negara bekas jajahan Barat
sejatinya cuma ulangan peristiwa. History repeat itself.
Terutama konflik internal yang melanda kelompok negara yang berlimpah
dan kaya akan SDA semacam Asia Tengah, Timur Tengah --- oleh Mackinder,
keduanya disebut World Islands atau Heartland (jantung dunia)--- dan Afrika (terutama Afrika Utara), dll. Bagaimana dengan Indonesia? Nanti kita ulas.
Tak putusnya konflik-konflik dan/atau kudeta di negara bekas koloni
Barat bukanlah faktor tunggal yang berdiri sendiri tanpa dalang dan
pemilik hajatan meremot dari kejauhan. Di setiap pagelaran niscaya ada
wayang, dalang dan pemilik hajatan. Gerakan wayang tergantung dalang,
geliat si dalang niscaya merujuk hasrat si penanggap atau pemilik
hajatan. “Pak Dalang, saya ingin lakonnya wayang mbeling!”. Itulah pakem nusantara yang telah menjadi pakem (norma) dalam pagelaran politik global.
Sebagaimana diulas pada prolog tulisan ini, meski cenderung silent
bahwa kelompok negara kolonial tetap melakukan kontrol terhadap
negara-negara bekas jajahannya. Menjadi circumstance evidence (bukti keadaan) bahkan patern evidence
(bukti pola) manakala pelaku kudeta ataupun tokoh-tokoh konflik justru
para perwira militer, ataupun kaum intelektual lulusan Barat. Hal ini
yang menarik dicermati. Pertanyaan hipotesa, “Inikah modus pemilik
hajatan atau sang donatur menagih janji serta meminta bukti loyalitas
atas “bantuan”-nya selama ini terhadap si wayang atau dalang; atau
jangan-jangan malah mereka disuruh menerapkan disertasi (teori)-nya?”
Yang diincar oleh asing (pemilik hajatan) tak lain adalah SDA negeri
dimaksud, meski isue yang diusung oleh komprador (wayang/dan dalang)
melalui blow up media massa berkisar soal demokrasi, HAM, korupsi,
pluralisme, intolerans, kepemimpinan tirani, freedom, dan lain-lain. The way thing are done around here. Itulah perilaku (geopolitik) kolonialisme.
Sedang kelompok negara komunis ---masih dalam pasca PD II--- seperti
Yugoslavia, Jerman Timur, Chekoslovakia, Rumania, Polandia, dll
cenderung mengutamakan konsolidasi ke dalam dengan ujud menjaga
stabilitas internal, menguatkan sentralisasi, indoktrinasi ideologi, dll
kecuali Cina dan Uni Soviet terlihat ekspansif, bahkan Cina kian
agresif di panggung politik global hingga kini.
Namun dalam pola intervensif, Paman Sam terlihat licik karena kerapkali
mengganggu stabilitas negara yang ditarget berdalih membendung
komunisme, atau menyebar intoleransi, isue demokrasi, HAM, dan lainnya
dengan menumpang pada sisi pluralitas (keberagaman suku dan agama)
sebagai sumbu letus. Tetapi anehnya, justru agenda asing tersebut
seperti tak disadari ---atau pura-pura tidak disadari--- oleh elit dan
elemen bangsa-bangsa dimaksud. Entah kecanggihan penerapan skenario,
atau karena cantiknya permainan para komprador di internal negeri, dan
lainnya.
Sudah tentu, sebagai konsekuensi logis atas perilaku geopolitik tadi, mutlak mereka harus menjalin berbagai proxy
(perpanjangan tangan) dalam rangka menerapkan visi dan misi, atau
diciptakan “boneka” bagi kepentingannya di negeri target melalui sosok
fenomenal, lembaga swadaya (LSM), capacity building, pembiayaan program kegiatan, gelontoran hibah, dll ---no free lunch---
kepada LSM, individu, organisasi massa bahkan tak ada makan siang
gratis bagi pemerintahan di negara-negara target. Sekali lagi, no free lunch atas segala hibah, bantuan (dan utang) di suatu negara.
Diskusi terbatas (3/7/2013) di Global Future Institute (GFI), Jakarta,
pimpinan Hendrajit mencatat satu pointers menarik, “Bahwa pola
kolonialisme selalu menciptakan tandingan-tandingan”. Misalnya, bila ada
organisasi fundamental niscaya akan dilahirkan kelompok lain sebagai
counter-nya. Indonesia contohnya, ketika muncul Front Pembela Islam
(FPI) yang cenderung radikal, maka dimunculkan Jaringan Islam Liberal
(JIL) untuk tandingannya; atau bila eksistensi kaum tradisional menguat,
nisaya akan dibentuk entitas modern sebagai tandingan. Sekali lagi,
akan selalu muncul tandingan, tandingan dan tandingan dalam perilaku
geopolitik kolonialisme.
Konsep, model serta modus semacam ini akan senantiasa bergulir secara
sistematis dan masif di lorong-lorong manapun baik lorong ekonomi,
politik, security, dan sosial budaya. Tujuan jelas, agar bangsa
(atau negara target) senantiasa gaduh di tataran hilir,
dibentur-benturkan dengan pola-pola tandingan di internal supaya skema
kolonialisme tak terpantau (deception). Ia jalan terus serta semakin kuat tertancap dalam hal penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA di negara target. Conflict is the protection oil flow.
Sebagai tambahan ilustrasi, ketika muncul kelompok kritis menurut
perspektif hegemoninya, entah kelompok "kiri", entah golongan “bersimbol
agama”, dan terutama sekali kebangkitan jiwa nasionalis di sebuah
bangsa ---- maka Paman Sam siap menyediakan logistik, konsepsi, think
tank, kalau perlu membikin ‘pasukan tersendiri’ guna menghancurkan
aktivitas tersebut baik secara hard power atau simetris (militer), ataupun secara asimetris (non militer/smart power) melalui cyber troops, gerakan massa, bully, dan lain-lain. Patut dicatat, Arab Spring merupakan contoh langkah asimetris Barat di Kawasan Heartland dan Afrika Utara ---Jalur Sutera--- yang relatif sukses oleh karena berhasil menjungkalkan rezim penguasa kala itu.
Meliuk lagi namun dalam koridor topik. Sebelum kegagalan AS dan sekutu
di Afghanistan (2001-2013) dan Irak (2003-2012), invasi (keroyokan)
militer memang dianggap metode favorit sebab dinilai efektif meskipun
high cost dan membutuhkan restu (kongres) internal serta restu
(resolusi) PBB. Dalam praktek, restu internasional pun kadang diabaikan
berdalih kepentingan nasionalnya terancam. Doktrin preemtive strike
diterbitkan hanya untuk tameng manakala ia menyerang negara lain secara
ilegal. “Serang dulu sebelum diserang”.
Pola invasi di atas pernah memetik sukses di Afrika, Timur Tengah,
Amerika Selatan, dan lain-lain (Baca: Tangan-Tangan Amerika di Pelbagai
Belahan Dunia by Hendrajit dkk). Tapi agaknya, model invasi
militer secara terbuka mulai ditinggalkan oleh AS dan sekutu kecuali
mungkin bila keadaan memaksa. Mereka kini, lebih meyukai tata cara
asimetris yang soft, senyap dan smart bila dibandingkan hingar-bingar peperangan simetris.
Tak boleh diabaikan dalam cermatan adalah, jika di sebuah negara
terdapat benih pluralisme baik secara etnis, agama, atau mazhab dalam
agama, kultur, aspek historis, dll maka perilaku geopolitik kolonialisme
cenderung menunggangi kondisi tersebut dalam rangka destabilisasi
negeri dimaksud. Tibet misalnya, atau Xinjiang di Cina, Turkistan Timur,
Kashmir (India-Pakistan), Chechnya (Rusia), Baluchistan di Pakistan,
Kurdistan (Irak-Iran) dan Sudan, merupakan contoh-contoh nyata.
Pertanyaannya kini: apakah konflik Syiah-Sunni di Madura, atau ‘bencana
sosial’ antara Madura - Dayak di Kalimatan, konflik pribumi versus
pendatang di Lampung, tergolong konflik-konflik yang ditungganginya?
Entahlah. Mari telusuri berdasar asumsi GFI, Jakarta, “Bahwa mapping
konflik dimanapun senantiasa pararel dengan jalur-jalur atau wilayah
kaya emas, minyak, gas alam serta tambang lainnya”. Silahkan dicermati,
apakah Sumatera, Kalimantan dan Madura ---di lokasi konflik--- itu cuma
penghasil jagung, ketela rambat, tempe bongkrek; atau ia memiliki
potensi bidang pertambangan? What lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan. Itulah analisa berbasis circumstance evidence dan patern evidence di lingkungan penggiat geopolitik dan global review.
Kembali ke balkanisasi negeri ini sebagaimana isue Clinton Program 98,
bahwa rencana tersebut (kemungkinan) telah berjalan sejak peristiwa
Sambas, Sampit, Ambon, Poso, dll. Ibarat memakan bubur panas dimulai
dari pinggiran, republik ini seperti disisir via konflik komunal dari
tepian. Inikah strategi "desa mengepung kota"-nya Mao Ze Dong? Sekali
lagi, “Entahlah”.
Selanjutnya, tatkala membaca separatisme Aceh dan Papua lebih bercorak
ke primordialistik, HAM, atau kue pembangunan yang tidak merata, lalu
“Bagaimana dengan lepasnya Timor Timur dulu?” Tak boleh dipungkiri,
bahwa fakta bergabungnya Timor Leste ke dalam NKRI berpola integratif
ala Tibet melalui restu Barat guna membendung komunisme. Maka sebagai
konsekuensi logisnya adalah, ia akan mudah lepas ketika “restu” dicabut.
Tak boleh tidak. Adapun isue HAM sebagai pintu pembuka, dan agenda
jajak pendapat setelah hadirnya pasukan asing di Indonesia hanyalah
pagelaran yang lazim dijalankan. Itulah balkanisasi dari pinggiran atau
sisi luar.
Sementara balkanisasi dari internal (sisi dalam) tampaknya berjalan
‘senyap’ melalui sistem politik multipartai, otonomi daerah (otoda),
pemilu langsung, dll. Hampir tidak terpantau bahkan relatif efektif.
Lagi-lagi, selain tidak terendus secara vulgar karena selaras dengan
gegap demokrasi, juga segenap elit dan mayoritas bangsa asyik
bergaduh-ria di tataran hilir hingga hampir kehabisan energi. Ya,
terlihat glamour namun tidak menyentuh kepentingan nasional RI. Pada
gilirannya, balkanisasi dari sisi dalam justru lebih signifikan dalam
proses pelumpuhan Ketahanan Nasional kita yang memang telah lemah sebab
didangkalkan baik dari sisi konsepsi maupun implementasi (baca: Hingga Kapan Pengabaian dan Pendangkalan Geopolitik Terus Berlangsung di Indonesia? di www.theglobal-review.com
Bahwa contoh riil penerapan metode belah bambu (devide et impera) di
negeri plural dapat dipetik via ilustrasi perang sipil di Balkan.
Mereka pun terpecah belah menjadi beberapa negara kecil berdasar etnis
dan agama. Bosnia-Herzegovina, Kroasia, Montenegro, Serbia, Albania, dan
Kosovo adalah ‘anak-anak’ yang lahir dari rahim Yugoslavia, induknya.
“Itulah fakta dan realitas balkanisasi” di muka bumi. Fenomena tersebut
jika diibarat menyantap kue ulang tahun, maka menyendok kue setelah
diiris-iris menjadi potongan kecil akan lebih mudah dan gampang melahab
(SDA)-nya daripada ia masih utuh (menyatu).
Analog memakan kue ulang tahun di muka, identik penerapan otoda sejak
era reformasi sebagai bentuk negara federal kemasan baru, atau modus
multipartai dan pilihan langsung (one man one vote) yang tanpa
sengaja telah meluaskan tebaran benih konflik berbasis agama, etnis,
politik, ideologi kontemporer, kelompok ---secara berkala--- antara
sesama anak bangsa sendiri. Inilah yang kini tengah berlangsung di Bumi
Pertiwi.
Dari uraian tak ilmiah dan sederhana di atas, setidaknya dapat kita
cermati bahwa upaya balkanisasi di negeri ini telah berjalan masif,
sistematis, bahkan senyap karena justru tak disadari oleh mayoritas anak
bangsa. Balkanisasi dari sisi luar melalui konflik komunal menyisir
dari pinggiran, sedang balkanisasi dari sisi internal melalui sistem
politik yang diterapkan dalam konstitusi negara.
Seandainya pola dan perilaku ini dibiarkan terus berlangsung tanpa (ada
transformasi) negara hadir secara langsung untuk melindungi segenap
tumpah darahnya dan secepatnya take over, tidak lama lagi ----
sekali lagi, tidak perlu menunggu waktu lama niscaya akan ada gelombang
balkanisasi di Indonesia. Jangan-jangan, Bumi Pertiwi ini kelak hanya
tinggal dongeng bagi anak-anak cucu bahwa konon Indonesia pernah ada,
nyata dan berada.
Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Terimakasih
Sumber : http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16562&type=4#.VK92_i73US5
|