Viproaktif News - Hingga Jumat siang 14 Februari 2014, Gunung Kelud diperkirakan telah mengeluarkan rempah letusan hingga 120 juta
meter kubik. Ini masih angka perkiraan, sebab ada kemungkinan volume
rempah Letusan Kelud 2014 melebihi angka 200 juta meter kubik. Andaikata
120 juta meter kubik rempah Letusan Kelud 2014 ini dituangkan
seluruhnya ke DKI Jakarta, maka propinsi itu akan terkubur di bawah
endapan setebal 16 cm.
Letusan utama berlangsung selama 3 jam penuh mulai Kamis 13 Februari
2014 pukul 22:50 WIB, sementara letusan-letusan minor menyusul hingga
berbelas jam kemudian. Rempah letusan disemburkan tinggi ke langit
hingga menjangkau ketinggian 20 km, menandakan betapa kuatnya tekanan
gas vulkanik yang menyertai letusan Gunung Kelud kali ini. Kuatnya tekanan gas serta karakteristik magma yang sebagiannya membeku menjadi partikel-partikel
debu vulkanik saat menyeruak keluar dari kepundan membuat
partikel-partikel debu itu melejit dengan kecepatan sangat tinggi,
bahkan melebih kecepatan suara (supersonik). Tingginya kecepatan dan
besarnya kepekatan debu (kerapatan partikel debu per satuan volume)
membuat peluang terjadinya gesekan antar partikel debu vulkanik menjadi
sangat besar. Dengan sifat debu yang kering, gesekan menghasilkan
pemusatan listrik statis yang kemudian menyambar-nyambar sebagai kilat
seiring membumbungnya rempah letusan menghasilkan kolom letusan tipe
erupsi vulkanian, yakni tipe erupsi yang membentuk tiang asap raksasa di
atas kawah hingga ketinggian berkilo-kilometer.
Sebagai pembanding, Gunung Merapi memuntahkan 150 juta meter kubik
rempah letusan saat letusan 2010-nya. Namun rempah sebanyak itu
dihamburkan dalam waktu 1,5 bulan mulai dari akhir Oktober
hingga pertengahan Desember 2010. Sebaliknya Gunung Kelud hanya
membutuhkan waktu kurang dari 24 jam untuk memuntahkan rempah letusan
dalam jumlah yang hampir sama. Bila suhu dan karakteristik magma produk
Letusan Kelud 2014 ini dianggap setara dengan Letusan Merapi 2010, maka
Gunung Kelud pada kali ini melepaskan energi
termal 21,6 megaton TNT. Energi tersebut setara dengan 1.080 butir bom
nuklir Hiroshima yang diledakkan secara serempak. Dibandingkan dengan
Letusan Sinabung 2013-2014 yang masih berlangsung hingga kini, energi
Letusan Kelud 2014 adalah 50 kali lipat lebih besar.
Meletusnya Gunung Kelud ini terhitung cukup cepat mengingat Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
RI baru menaikkan status aktivitasnya menjadi Waspada (Level 2) dari
yang semula Aktif Normal (Level 1) pada 2 Februari 2014 lalu seiring
melonjaknya jumlah gempa vulkanik dalam dan dangkal Gunung Kelud
semenjak awal Januari 2014. Lonjakan ini menjadi pertanda bahwa magma
segar di dalam perut bumi gunung berapi tersebut telah mulai bergerak.
Hanya dalam 8 hari kemudian status Kelud kembali dinaikkan menjadi Siaga
(Level 3) setelah aliran magma segar kian jelas terdeteksi lewat kian
riuhnya gempa-gempa vlkanik dalam dan dangkal dengan jumlah energi
seismik terus meningkat. Bahkan muncul indikasi magma segar telah mulai
memasuki tubuh Gunung Kelud sehingga ia mulai membengkak/menggelembung
seperti diperlihatkan oleh perubahan kemiringan lereng lewat pengukuran
tiltmeter. Namun siapa sangka, hanya dalam 12 hari setelah dinyatakan
Waspada, Gunung Kelud benar-benar meletus? Tetapi siapapun yang pernah
mempelajari karakteristik gunung berapi yang satu ini takkan
terkaget-kaget lagi melihatnya. Sebab memang seperti itulah Gunung
Kelud.
Gunung Penyapu
Gunung Kelud adalah gunung berapi komposit yang menjulang di perbatasan Kabupaten Kediri, Blitar dan Malang (Jawa Timur) dengan puncak berelevasi 1.713 meter dari permukaan laut (dpl). Untuk ukuran dengan gunung-gemunung berapi di Indonesia pada umumnya, Gunung Kelud tergolong gunung berapi yang rendah. Jika mengacu dari dataran rendah Kediri-Blitar yang dikenal sangat subur dan berpenduduk sangat padat, tinggi Gunung Kelud hanyalah sekitar 1.650 meter. Dan berbeda pula dibanding gunung-gemunung berapi pada umumnya yang berbentuk kerucut indah dengan kemiringan lereng yang berubah secara gradual dari landai (di kaki gunung) hingga curam (di puncak gunung), bentuk Gunung Kelud sangat tidak beraturan dengan tonjolan-tonjolan besar memenuhi puncaknya diselingi cekungan besar di antaranya. Tonjolan tersebut adalah kubah lava, jejak yang tersisa dari aktivitas Gunung Kelud purba. Terdapat lima kubah lava yang mengelilingi cekungan besar, yakni kubah lava Kombang (elevasi 1.514 meter dpl), Gajahmungkur (1.488 meter dpl), Lirang (1.414 meter dpl), Sumbing (1.531 meter dpl) dan kubah lava Kelud (1.731 meter dpl). Sebuah kubah lava lainnya menyembul di dalam cekungan besar khususnya pada titik pusat aktivitas Gunung Kelud masa kini, yang disebut kubah lava 2007 karena baru muncul pada 2007 silam.
Bentuk gunung yang ‘jelek’ ini merupakan imbas dari aktivitasnya
selama ini, yang gemar ber-erupsi eksplosif (ledakan) sehingga merusak
dirinya sendiri. Letusan yang paling merusak, sekaligus paling besar,
terjadi lebih dari 100.000 tahun silam sebagai letusan lateral
(terarah/mendatar) ke barat. Letusan tersebut membobol tubuh gunung
bagian barat sekaligus melongsorkannya dalam volume sangat besar dan
tergelincir hingga jarak cukup jauh, yakni 5 hingga 6 km dari pusat
cekungan besar di puncak saat ini. Sisa-sisa letusan lateral nan dahsyat
ini dapat dijumpai dalam rupa bukit-bukit kecil setinggi 300 hingga 700
meter dpl yang bertebaran di lereng barat Gunung Kelud. Letusan lateral
tersebut demikian dahsyat sehingga membuat bentuk kerucut sempurna dari
Gunung Kelud purba hancur sekaligus membongkarnya demikian rupa yang
membuat kantung/saku magmanya pun terbuka ke udara luar dan kini menjadi
cekungan besar di antara kubah-kubah lava Gunung Kelud. Di dalam
cekungan besar inilah pusat aktivitas Gunung Kelud masa kini berada,
yang berpindah-pindah dalam 10 kawah dengan pusat aktivitas terkini di
kawah Kelud. Kawah Kelud terbentuk dalam letusan besar 2.400 tahun
dengan dasar terletak pada elevasi 1.107 meter dpl dan bersifat kedap
air sehingga selama itu pula sempat digenangi air dalam jumlah besar
sebagai danau (telaga) kawah. Danau kawah menghilang pada 2007 silam
seiring erupsi efusif (leleran) yang memunculkan kubah lava 2007.
Letusan-letusan eksplosifnya pula yang membuat gunung berapi ini menyandang nama Kelud, yang bermakna sapu. Sebab dahsyatnya letusannya telah berualng kali menyapu peradaban umat manusia yang tumbuh dan berkembang di dataran rendah Kediri-Blitar dan tercatat dalam sejarah. Di masa silam gunung berapi ini dikenal pula sebagai Gunung Kampud. Kampud memiliki arti serupa dengan Kelud, yakni sapu. Ia menyandang nama demikian karena aktivitasnya kerap ‘menyapu’ kawasan sekelilingnya tanpa ampun, termasuk menyapu peradaban manusia yang tumbuh dan berkembang dari masa ke masa.
Dengan danau menghiasi kawahnya dan
berisikan hingga puluhan juta meter kubik air, maka setiap kali Gunung
Kelud meletus, magma yang dimuntahkannya sontak bercampur dengan air
danau hingga meluap dan menjadi lahar letusan. Lahar letusan inilah yang
menyapu kawasan sekeliling gunung dengan mengikuti aliran sungai-sungai
Bladak, Konto, Ngobo, Sumberagung, Petungombo, Gedok, Abab, Semut,
Putih dan Soso. Terjangan lahar letusan bisa menyapu apa saja yang
dilaluinya dengan aliran cukup deras dan sanggup menjangkau radius 40 km
dari danau kawah. Tak jarang derasnya aliran lahar letusan Kelud mampu
menciptakan alur-alur baru sehingga sungai yang dilintasinya pun
bergeser cukup jauh dari alurnya semula. Begitu lahar letusan usai
melanda, sontak lansekap sekitar Gunung Kelud berubah dramatis dengan
timbunan lumpur yang bisa mencapai ketebalan bermeter-meter.
Catatan kedahsyatan letusan Gunung Kelud sudah tecermin dari 12 abad
silam atau tepatnya sejak era kerajaan Medang (Mataram Kuno). Hempasan
dan endapan lahar letusan telah cukup menyulitkan perikehidupan
masyarakat disekitarnya. Sehingga upaya mengatasinya telah dilakukan
lewat pembangunan bendungan (mula dawuhan) dan saluran air (dharma kali)
guna menyudet Sungai Konto ke Sungai Harinjing. Bendungan itu terletak
di Desa Siman, Kecamatan Kepung (Kediri), yang dibangun pada tahun 804.
Seiring kerap meletusnya Gunung Kelud, pemeliharaan saluran pun
berulang–kali dilakukan dan diabadikan dalam prasasti Harinjing yang
berangka tahun 921 dan dikeluarkan pada masa pemerintahan Dyah
Tulodhong.
Di kemudian hari, saat Mpu Sindok memutuskan untuk memindahkan ibukota kerajaan dari Medang i Bhumi Mataram (kemungkinan di sekitar Yogyakarta) dan memulai periode Jawa Timur, pada akhirnya lembah subur di dataran Kediri-Blitar pun dipilih sebagai tempat berdirinya ibukota yang baru, yang dinamakan Medang i Wwatan (kini Wotan, di sekitar Madiun). Kota ini memangs empat mengalami petaka seiring invasi besar–besaran kerajaan Lwaram (kini Ngloram, di dekat Blora, Jawa Tengah). Atas dukungan kuat imperium Sriwijaya, Lwaram menumpas habis isi istana Wwatan dan hanya menyisakan seorang Airlangga yang berhasil meloloskan diri ke Bali. Begitu situasi mereda, Airlangga kembali dan selanjutnya mendirikan kerajaan Kahuripan sebagai penerus Medang. Ibukotanya juga berpindah–pindah sebelum akhirnya kembali menempati dataran rendah Kediri-Blitar. Maka didirikanlah kota Dahanapura, yang secara harfiah berarti kota api. Nama Dahanapura (kini di sekitar Kediri) kemungkinan merujuk kepada Gunung Kelud yang memang ada di dekatnya. Dahanapura lebih dikenal dengan nama pendeknya, yakni Daha.
Raden Wijaya – Bung Karno
Dahanapura selanjutnya menjadi ibukota kerajaan Panjalu (Kadiri),
yang muncul sekitar tahun 1042 dan bertahan hingga hampir dua abad
kemudian sebelum pemberontakan Ken Arok menamatkannya pada 1222 lewat
pertempuran Ganter (kini di dekat Pujon, Malang). Suburnya dataran
Kediri–Blitar benar–benar dimanfaatkan dengan baik, sehingga Panjalu
mencapai puncak kemakmurannya pada era Jayabhaya, sehingga menjadi
kerajaan terkaya di Jawa. Kekayaannya sejajar dengan Abbasiyah (Arab)
dan Sriwijaya (Sumatra), seperti termaktub dalam berita Ling wai tai ta
(tahun 1178) dari Cina. Meski Panjalu kemudian punah, kota Dahanapura
tetap bertahan berabad–abad kemudian, bahkan hingga akhir era kerajaan
Majapahit. Selama waktu itu pula Gunung Kelud tetap memegang peranan
penting bagi peradaban manusia masa itu. Letusan gunung berapi ini
bahkan disebut-sebut sebagai salah satu peristiwa yang menandai
kelahiran Dyah Wijaya (Raden Wijaya), pendiri kerajaan Majapahit.
Berabad kemudian letusan Gunung Kelud pun dinisbatkan sebagai pertanda
lahirnya Soekarno, yang kelak dikemudian hari menjadi presiden pertama
Indonesia. Meski jika ditelaah lebih lanjut sejatinya tanggal kelahiran
Bung Karno, yakni 6 Juni 1901, tidak persis benar bertepatan dengan
Letusan Kelud 1901, yang hanya terjadi pada 22 hingga 23 Mei 1901.
Namun aktivitas Gunung Kelud pulalah yang menjadi salah satu faktor
geologis penentu kejatuhan Majapahit. Tiap kali meletus, Gunung Kelud
memencarkan lahar letusannya ke sungai-sungai yang seluruhnya bermuara
ke sungai Brantas. Sehingga sebagian rempah letusan pun lambat laun akan
memasuki aliran sungai Brantas, khususnya saat musim hujan sebagai
lahar hujan (lahar dingin). Persoalan besar pun muncul karena di muara
sungai ini berdiri pelabuhan Canggu (kini di utara Mojokerto), yang
adalah pelabuhan utama Majapahit. Pelan namun pasti rempah letusan Kelud
pun mendangkalkan muara sungai Brantas sekaligus membentuk daratan baru
sebagai delta Brantas. Akibatnya pelabuhan Canggu pun kian menjorok ke
daratan dan kian dangkal sehingga tak bisa lagi disinggahi kapal-kapal
besar. Terbentuknya delta Brantas membuat Surabaya, yang semula adalah
laut dangkal berhias pulau-pulau kecil, pun berubah menjadi daratan.
Letusan 2014
Gambar
6. Pesawat yang terpapar debu tergolek di landasan yang dipenuhi debu
vulkanik Letusan Kelud 2014 di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, pada
Jumat 14 Februari 2014. Sumber: Tempo, 2014.
|
Sepanjang abad ke-20, Gunung Kelud telah meletus lima kali masing-masing pada 1901, 1919, 1951, 1966 dan 1990. Setiap letusan memuntahkan rempah letusan yang cukup banyak, namun berlangsung dengan durasi singkat (tak sampai 24 jam). Dari sifat inilah kini kita mengetahui bahwa kantung magma Kelud, yakni tempat penampungan (reservoir) magma yang tepat berada di bawah gunung berapi itu, berukuran kecil sehingga cepat terkuras habis kala meletus. Dalam setiap letusan, volume air danau kawah berbeda-beda. Semakin besar volume airnya, semakin besar pula jangkauan lahar letusannya dan semakin besar pula korban jiwa yang direnggutnya. Letusan Kelud 1919 terjadi kala danau kawah berisi 40 juta meter kubik air, sehingga lahar letusannya meluncur hingga sejauh 37,5 km dari danau kawah. Bersama lahar letusan meluncur pula awan panas letusan, yang menjalar hingga sejauh 10 km dari danau kawah. Sebagai akibatnya 5.110 orang meregang nyawa.
Letusan Kelud 1919 memberi pelajaran berharga bagi pemerintahan saat
itu untuk mulai membentuk lembaga khusus pemantau gunung berapi. Dinas
penjagaan gunung berapi (vulkaanbewakingdienst) pun dibentuk di
bawah Dinas Pertambangan Hindia Belanda. Di kemudian hari setelah
Indonesia merdeka, institusi ini berevolusi menjadi Direktorat
Vulkanologi di bawah Departemen Pertambangan dan Energi dan kini menjadi
PVMBG. Letusan itu sekaligus mengajarkan bahwa hanya dengan mengontrol
volume air danau kawah Kelud sajalah marabahaya lebih besar bisa
diminimalkan saat Gunung Kelud meletus. Maka terowongan pengontrol pun
dibangun. Sehingga saat Gunung Kelud kembali meletus pada 1951, volume
air danau kawah hanya sebesar 1,8 juta meter kubik dan langsung menguap
tatkala bersentuhan dengan magma segar. Sehingga tak ada lahar letusan
yang terbentuk. Pun pada Letusan Kelud 1990, dimana volume air danau
kawah hanya sebesar 2,5 juta meter kubik dan juga langsung habis menguap
tanpa sempat tumpah menjadi lahar letusan.
Bagaimana dengan Letusan Kelud 2014 ?
Pada Oktober-November 2007 silam, Gunung Kelud pun sebenarnya
meletus. Namun berbeda dengan hampir sebagian besar letusannya sepanjang
sejarah, letusan tersebut lebih bersifat efusif dan hanya memunculkan
tumpukan magma segar yang membukit sebagai kubah lava. Saat itu
diperkirakan Gunung Kelud siap memuntahkan 50 juta meter kubik magma
dengan 16 juta meter kubik diantaranya menyembul sebagai kubah lava,
yang disebut kubah lava 2007. Kubah lava ini berbentuk kerucut raksasa
setinggi 215 meter dari dasar dengan lebar 470 meter. Terbentuknya kubah
lava 2007 mengandung sejumlah implikasi. Salah satunya, letusan Gunung
Kelud berikutnya akan cukup dahsyat karena butuh energi sangat besar
untuk bisa menghancurkan kubah lava 2007 yang menjadi sumbat penutup
mulut saluran magma. Sebab hanya dengan penghancuran sumbat itulah maka
magma segar bisa muncul ke permukaan.
Penghancuran kubah lava 2007 inilah yang akhirnya benar-benar terjadi
pada 13 Februari 2014 malam. Dengan volume kubah lava dan akarnya
demikian besar, tentu butuh energi sangat besar yang dimanifestasikan
oleh tekanan gas sangat kuat agar kubah lava 2007 bisa jebol. Inilah
pula yang menyebabkan gemuruh suara letusan terdengar hingga jarak cukup
jauh, bahkan hingga ke Kebumen-Purbalingga di Jawa Tengah yang secara
geografis berjarak 300 km dari Gunung Kelud. Gemuruh suara letusan serta
gempa-gempa yang menyertai jebolnya kubah lava 2007 bahkan terekam
jelas di pos-pos pengamatan Gunung Merapi. Segera setelah kubah lava
2007 jebol dan hancur, magma segar menyeruak membentuk kolom letusan
hingga setinggi 20 km untuk kemudian terbang ke barat-barat daya seiring
hembusan angin. Bagian yang lebih berat yakni kerikil (lapili),
bongkahan bebatuan (bom vulkanik) dan pasir berjatuhan di sekitar tubuh
dan kaki gunung. Namun bagian yang lebih kecil, yakni debu, terbang
terhanyut bersama angin dan menyebar ke area sangat luas hingga sejauh
lebih dari 1.000 km. Hampir seluruh Jawa Timur dan Jawa Tengah serta
sebagian Jawa Barat merasakan terpaan debu vulkanik Letusan Kelud 2014
ini. Hujan debu yang mengguyur kota-kota seperti Yogyakarta dan Kebumen
bahkan dirasa lebih parah ketimbang peristiwa sejenis kala Letusan
Merapi 2010 silam. Akibatnya sebagian pulau Jawa nyaris seperti kota
mati saat hujan debu menerpa pada Jumat 14 Februari 2014.
Jika Letusan Kelud 2014 ini memuntahkan 120 juta meter kubik rempah vulkanik, maka letusan Gunung Kelud kali ini masih tetap bertengger di skala 4 VEI (Volcanic Explosivity Index) alias serupa dengan seluruh letusan di abad ke-20 kecuali Letusan Kelud 1966. Letusan berskala 4 VEI terjadi jika volume rempah letusan melebihi 100 juta meter kubik namun kurang dari 1 milyar meter kubik. Dengan demikian Letusan Kelud 2014 sekelas dengan Letusan Merapi 2010. Secara teoritis Letusan Kelud 2014 memuntahkan lebih dari 700 ribu ton gas belerang (SO2) yang bakal beraksi dengan uap air di udara membentuk 1,4 juta ton aerosol. Jumlah ini masih 20 kali lipat lebih rendah dibanding ambang batas jumlah aerosol vulkanik untuk memicu gangguan iklim global, yakni 30 juta ton. Dengan demikian Letusan Kelud 2014 masih belum cukup untuk memicu penurunan suhu global yang berakibat pada kekacauan iklim, sebagaimana yang dilakukan Letusan Krakatau 1883 dan Letusan Tambora 1815. Sekalipun tak berdampak global, namun dampak regionalnya cukup parah. Sejauh ini tujuh bandar udara telah ditutup akibat terpaan debu vulkanik, sehingga ratusan penerbangan terpaksa dibatalkan. Transportasi darat pun banyak yang tak beroperasi, baik dalam propinsi maupun antar propinsi. Jumlah pemukiman dan infrastruktur yang rusak masih belum diketahui, namun dengan dahsyatnya letusan maka jelas angkanya cukup besar khususnya untuk kawasan yang berjarak hingga 10 km dari kawah Gunung Kelud.
Namun begitu di balik semua dampak bencana Letusan Kelud 2014, patut
disyukuri bahwa amukan Gunung Kelud kali ini tidak merenggut banyak
korban. Hingga sejauh ini tercatat 12 orang meninggal sementara jumlah
pengungsi secara akumulatif mencapai 76.388 jiwa yang berasal dari
kawasan terdampak di lima kabupaten/kota. Patut disyukuri pula bahwa
saat Gunung Kelud meletus, hembusan angin mengarah ke barat-barat daya.
Sehingga debu vulkanik Kelud pun terhanyut ke sana. Tak terbayang jika
saat itu hembusan angin mengarah ke barat laut. Sebab jika demikian maka
debu vulkanik kelud akan menghujani pusat-pusat perekonomian utama di
pulau Jawa dan Sumatra dengan potensi kerugian jauh lebih besar lagi.
Hingga Sabtu 15 Februari 2014, secara teknis Letusan Kelud 2014 sudah
hampir usai. Seluruh magma segarnya sudah dimuntahkan khususnya tempo
hanya sekitar 3 jam sejak letusan dimulai. Tidak ada lagi pasokan magma
segar menuju kawah sebagaimana diperlihatkan oleh minimnya gempa-gempa
vulkanik dangkal dan dalam. Yang masih tersisa tinggal erupsi minor,
yakni semburan gas-gas vulkanik yang turut menyeret partikel-partikel
debu/lebih besar sehingga nampak sebagai kepulan asap berwarna
kehitaman. Kepulan debu dalam erupsi minor mungkin akan setinggi 1
hingga 3 km dari kawah, namun tak setinggi kolom erupsi utama yang
sempat menembus ketinggian 20 km itu. Meski demikian PVMBG tetap
bersikap menunggu dinamika sinyal-sinyal yang dipancarkan Gunung Kelud
hingga beberapa hari ke depan sebelum mengevaluasi status Awas (Level
4). Sebab gunung berapi memang punya iramanya masing-masing. Maka kala
aktivitasnya mulai menurun seperti saat ini, belum tentu dalam beberapa
hari ke depan ia akan tetap bersikap sama.
Referensi :
Zaenuddin. 2009. Prakiraan Bahaya Erupsi Gunung Kelud. Buletin Vulkanologi dan Bencana Geologi vol 4 no 2 (Agustus 2009), 1-17.
Zaenuddin. 2008. Kubah Lava Sebagai Salah Satu Ciri Hasil Letusan Gunung Kelud. Buletin Vulkanologi dan Bencana Geologi vol 3 no 2 (Agustus 2008), 19-29.
Hidayati dkk. 2009. Emergence of Lava Dome from the Crater Lake of Kelud Volcano, East Java. Jurnal Geologi Indonesia vol 4 no 4 (Desember 2009), 229-238.
Haerani dkk. 2010. Deformasi Gunung Kelud Pascapembentukan Kubah Lava November 2007. Jurnal Geologi Indonesia vol 5 no 1 (Maret 2010), 13-30.
Pratomo. 2006. Klasifikasi Gunung Api Aktif Indonesia, Studi Kasus dari Beberapa Letusan Gunung Api dalam Sejarah. Jurnal Geologi Indonesia vol 1 no 4 (Desember 2006), 209-227.