Recent Posts

settia

KEKHILAFAN MEMPRODUKSI KAUM MARGINAL

Apakah yang dimaksud kaum marginal itu? Adalah sebuah kaum yang terpinggirkan oleh karena ketidakmampuanya menempatkan diri di dalam masyarakat yang besar bersama-sama dengan kaum lain. Ketidak mampuanya diindikasikan oleh beberapa hal diantaranya adalah memiliki aktivitas di luar kaidah kebiasaan yang ekstrim, eksklusif atau tertutup serta tidak mampu memenuhi tujuan ideal yang digariskan dalam cita-cita kaum tersebut sehingga cenderung untuk menggunakan cara-cara instan/cepat untuk memenuhi kebutuhan visi dan misinya yang sangat pragmatis dalam konotasi negatif dalam melahirkan watak sosial. 


Kaum yang masuk dalam kelompok marginal secara faktual dan aktual, biasanya akan mengalami kesulitan yang sangat besar untuk merubah paradigma masyarakat yang memberikan value/nilai yang kemudian terlanjur melekat. Hal tersebut dikarenakan adanya kesulitan yang besar dalam merubah kondisi internalnya agar sesuai dengan pakem-pakem fakta universal yang mampu membebaskan diri dari kemarginalanya. Faktor kesukaran itu diantaranya disebabkan oleh sulitnya menerima perubahan-perubahan dari perkembangan zaman yang berdasar pada ilmu pengetahuan yang mengaktualisasi era pada zamanya. 

Faktor yang paling jelas adalah adanya pola instant dalam memenuhi kebutuhan misi dan visi dari kaum tersebut, sehingga pada ruang pencapaian tujuan dengan jargon JALAN SUKAR DAN MENDAKI –pun sudah terdefinisi dengan cara-cara mudah dan instant bahkan hingga peruntukan operasionalisasi dari kaum tersebut. Kaum yang cenderung menjadi marginal adalah kaum yang juga hanya mengedepankan dogma daripada intuisi simultan yang berfahamkan win-win solution, akan tetapi justru mengeksploitasi kewajiban berkorban para anggotanya secara terus menerus dan tidak ada upaya untuk menciptakan batas waktu untuk mencapai titik kemandirian. 

Pada titik ini pemilik kebijakan di kaum tersebut tidak mau tau dan peduli pada pencapaian target yang berkait dengan kewajiban berkorban para anggotanya, sehingga mendorong suburnya cara-cara instan yang terkadang jauh dari cara-cara bermartabat dalam membangun masyarakat yang berperadaban yang bermartabat. Jika kita membandingkan dengan intuisi Partai dalam kehidupan masyarakat yang hanya menginginkan kontribusi suara dari basis konstituennya, maka setidaknya Anggota Dewan dari Partai tersebut akan memperjuangkan hak-hak konstituen pemilihnya melalui parlemen. Sedangkan pada kaum yang cenderung menjadi marginal benar-benar mengesampingkan semua itu kepada para pendukung dan anggautanya yang sudah bertungkus lumus dengan kewajiban berkorban untuk membangun tujuan kaumnya. 

Dalam kenyataanya, adalah seperti matahari yang terus menyinari bumi dengan terik panasnya sepanjang masa tanpa mampu menurunkan hujan dari air yang terus menerus diuapkan ke atas, sementara dibelahan bumi lain berlimpah air, sedangkan di bumi yang dipijaknya sama sekali kering bahkan jikapun hanya pengharapan sebagai penghilang dahaga. Pengesampingan hak-hak kaumnya bisa jadi dikarenakan kesalahfahaman dalam menempatkan hak dan kewajiban secara proporsional terhadap kaum marginal tersebut, bahkan dalam istilah lain, pada kaum tersebut tidak lebih dari budak dogma yang dijalankan dalam satu arah yang jumud, karena sebenarnya jika didata responden yang menyatakan ketidakberdayaan untuk bangkit dari keterpurukan dari kaum tersebut akan didapat angka yang mencengangkan, angka ini tentu di luar kaum yang sudah benar-benar menyatakan tidak puas dan menyerah dari aktivitasnya. 

Keadaan ini bukan juga dikarenakan oleh tujuan kaum yang tidak mulia, pada dasarnya tujuan mulia dari kaum tersebutlah yang kemudian mampu menghimpun dukungan anggota yang dengan serta merta merelakan dirinya untuk wajib berkorban. Maka, pada posisi mempertahankan tujuan mulia tersebut, harus ada perubahan yang mendasari kebutuhan kontemporer yang benar-benar mengakselerasi perkembangan zaman serta dengan menempatkan hak dan kewajiban kaumnya secara proporsional dan berkeadilan. Semua itu akan termanivestasi dengan program-program yang agresif, progresif dan solutif, dengan mengedepankan pembangunan kaumnya secara nyata. 

Untuk membalik keadaan menjadi kaum yang mampu mengayomi pengorbanan para anggota dan pendukungnya maka seyogyanya agar mengupayakan program-program sebagai berikut: 

1. Menghargai dan mulai menerapkan dengan sebenarnya prinsip-prinsip professional dalam pelaksanaan program-program. 

2. Buat program yang bukan program pengumpulan asset yang tidak bergerak seperti bangunan dan tanah secara terus menerus, melainkan program yang bisa dikerjakan bersama-sama dengan unsur pensejahteraan dan pemenuhan kebutuhan internal. 

3. Buat program yang melibatkan secara representasi konsep dan ide dari anggota kaumnya, bukanya program yang satu arah, yang menempatkan kaum sebagai objek pelaksana saja, yang meskipun dinilai oleh pelaksana program tersebut sebagai program yang tidak tepat guna. 

4. Buat program dan pengembangan sumber daya yang terintegrasi minimal dalam kelompok besar jika sentralisasi dinilai sebagai tidak efektif, dengan konsep program yang disebutkan dalam poin 2. 

5. Berkait dengan poin 3 maka berikan otonomi kepada kelompok-kelompok besar untuk mengelola sebagian sumber daya yang bisa diwujudkan menjadi program pensejahteraan dan pemenuhan kebutuhan kaum. 

 6. Diversifikasi program di kelompok besar dimaksudkan sebagai Piloting program yang berbeda-beda di kelompok besar dengan otonominya, maka jika piloting dianggap siap kedepanya dapat diintegrasikan kedalam kelompok besar lain sehingga terintegrasi menjadi aktivitas kaum secara keseluruhan dengan mengedepankan profesionalisme. 

Pada dasarnya, anggota dari kaum yang bertahan oleh karena investasi waktu dari harapan yang sudah tertanam mengakar, memiliki banyak kelebihan meskipun dengan kelebihanya justru menghantarkan kaumnya menjadi kelompok yang cenderung marginal secara berjamaah. Bahkan jika kemudian diwujudkan program yang tepat guna baik dalam prospek dan proses. Maka dalam hal ini sangat dibutuhkan penjembatanan aktif untuk merubah mindset dalam memahami hal-hak yang berkait dengan progresifitas dan masa depan, sehingga disamping dapat mengembangkan diri secara personal namun juga dapat memastikan pengembangan institusional dari kaumnya. 

Beberapa kelebihan dari anggota kaum yang ternyata justru menghantarkan kaumnya cenderung menjadi marginal oleh karena program yang tidak/belum tepat guna dan tepat sasaran, di antaranya: 

1. Memiliki militansi yang tinggi, dimana tidak perlu disangsikan lagi mental pekerja dan pejuangnya dalam melaksanakan perintah. 

2. Sangat faham pada komitment terhadap sistim berjalan dari kaumnya dengan ketaatan yang tidak ada bandingnya. 

3. Memiliki kecerdasan yang cukup dimana awalnya mampu memilih idealisme dari hal-hal yang populis dalam perjalanan hidupnya. 

 4. Memiliki solidaritas yang besar, lebih besar dari apa pun dewasa ini yang dikombinasikan dengan kesatuan aksi dalam perintah. 

5. Memiliki sikap kejujuran yang mengagumkan jika bicara di luar laporan pekerjaan. 

6. Sangat fokus pada pencapaian tujuan, hanya saja tujuannya itu sendiri yang masih harus difokuskan pada esensi dan strateginya. 

7. Memiliki cita-cita yang sangat mulia pada masa depan kemanusiaan, toleransi, perdamaian dan peradaban. 

8. Dan masih banyak lagi yang lainya. 

Namun kelebihan-kelebihan di atas tidak serta merta memberikan hasil dari apa yang dibutuhkan dalam membangun tujuan di poin 7. Kesepahaman dalam membangun kebenaran tidak hanya ditentukan oleh status kebenaran dalam tujuan itu sendiri, melainkan ditentukan juga oleh mekanisme dalam pencapaian tujuan itu sendiri. 

Secara awam pun dapat difahami, bahwa mekanisme itu membutuhkan formula dalam ranah universal dalam lingkup kekinian dan kontemporer, dimana secara ide dan konsep sangat membutuhkan representasi para ahli di bidangnya, sehingga kita cukup menyimpulkanya sebagai kegiatan program yang teruji secara professional, dan bukanya aksi sepihak atas nama kepemimpinan tanpa masukan dan pertimbangan dari pakar-pakar di bidangnya. Mekanisme tidak bisa dikembangkan dengan cara-cara pragmatis, apalagi menyangkut hajat masa depan banyak orang dalam suatu kaum. Dan apatah lagi jika mekanisme dijalankan dengan asumsi kebenaran relative yang dihasilkan oleh kepemimpinan yang setiap keputusanya menjadi fatwa bagi kaumnya. 

Disebut kebenaran relative dalam hal ini karena baru diakui oleh masa pendukung dari kaumnya, dan bahkan masih menjadi kontroversi bagi kaum-kaum yang lainya hingga kaum yang lainya mengakui kebenaran Dunia berkembang sedemikian rupa dalam perjalanan yang digaransi oleh kesepahaman yang bersifat kolektif dalam mengkawal tujuan-tujuan mulia di dalamnya. Ketika ada sekelompok kaum yang membawa panji-panji kebenaran dalam tujuan berkaumnya, maka semuanya itu juga harus teruji oleh kebenaran itu sendiri sampai pada titik-titik krusial yang memenuhi prasyaratnya sehingga hasil dari perjuanganya bisa wujud, seperti mewujudkan wajah Tuhan dalam kekuasaa-Nya, namun tidak dengan menempatkan mata tombak di atas kekuasaan yang diklaimkan dari Tuhan di atas tangan-tangan penguasa kaum yang dimaksud untuk bertindak mengeksploitasi kaumnya tanpa follow up program yang tepat guna, program yang dapat mengangkat harkat dan mewujudkan kesejahteraan sosial kaumnya. 

 Sebegitu konservatifnya kebenaran yang diperjuangkan pada setiap zaman, tetap saja dipengaruhi oleh nilai-nilai positif yang berjalan membangun zaman itu sendiri, sehingga pada tataran tekhnis perjuangan atas nama kebenaran harus juga mampu menerapkan nilai-nilai kontemporer yang terbentuk atas formula kolektif yang telah pun mengalami uji dan cobaan untuk layak dipersembahkan kepada peradaban. 

Nilai-nilai kontemporer kekinian yang dimaksud adalah nilai-nilai modern yang akan terus melaju jikalau kita menghiraukan maupun diam atau bahkan memberikan perlawanan. Karena sejatinya tidak akan ada klaim salah atas penciptaan yang bermanfaat untuk manusia dan kemanusiaan yang dilahirkan oleh nilai-nilai modern. Adapun ekses atas modernisme akan menjadi tanggungjawab bersama layaknya fungsi pisau dalam kehidupan sehingga menjelma menjadi post modernism dan lain-lain. Kebenaran yang diusung oleh panji-panji kelompok juga bagian dari titik terkini perjalanan yang tersambung sedemikian rupa dari para pejuang-pejuangnya meskipun dari sisi relative dalam hal ini untuk diuji oleh pengusung panji-panji kebenaran lainya, sehingga menempatkan aksioma untuk dapat difahami oleh pendatang baru sekalipun yang mempu menghubungkan mata rantai pemahaman secara teori dalam keilmuan. 

Namun lebih dari itu, kebenaran harus mampu mewujudkan ekses positif bagi para pemujanya pada lintas peradaban, zaman dan kebudayaan. Maka jika kita mengadopsi fungsi kebenaran tertentu, sudah harus dipastikan tapak tilas zaman dan peradaban yang pernah dilalui oleh faham kebenaran tersebut. Jika kemudian faham kebenaran itu mengklaim sebagai kebenaran yang universal, maka manfaat nyatanya harus dapat dinikmati peran dan hasilnya oleh manusia di zamannya pada titik terkini dengan harapan untuk selamanya. 

Maka gerakan-gerakan pragmatis yang memperjuangkan faham kebenaran yang mengabaikan nilai-nilai kontemporer akan berhadapan dengan formula kolektif yang sudah mengakar secara representative dan telah terlebih dahulu memberi manfaat positif pada manusia dan kemanusiaan di lingkunganya. Representasi itu sendiri sebuah upaya untuk mendekatkan pada nilai-nilai kebenaran, jika keagungan mutlak atas kebenaran hanya dimiliki oleh Tuhan dalam kerangka tidak ada turunan kekuasaan dari tuhan secara prosedur. 

Representasi adalah upaya manusia secara sadar yang harus diapresiasi, meskipun kita tau pada titik-titik tertentu kebenaran itu tidak memerlukan pendapat tambahan. Gerakan-gerakan pragmatis di atas yang cenderung dijalankan secara konsertvatif dan mengabaikan nilai-nilai kekinian baik langsung maupun tidak langsung, pada akhirnya akan memproduksi kaum marginal di dalam masyarakat yang pada prinsipnya sesungguhnya kaum tersebut ingin menjadi bagian dari berpartisipasi dalam masyarakat untuk membangun bangsanya. 

Dengan tetap berprasangka baik tentunya, bahwa kecenderungan untuk memproduksi masyarakat marginal ini adalah sebagai suatu KEKHILAFAN yang masih berpeluang besar untuk dilakukan perbaikan sehingga sampai kepada TUJUAN MULIA yang dicita-citakan dengan senyata-nyatanya. Demikian, Walhamdulillahirobbil’alamin. (bhd)