Recent Posts

settia

TIGA TANTANGAN ZAMAN MODERN OLEH Prof. Dr. ROBERT W. HEFNER


Kita tinggal di dunia yang penuh godaan, tantangan dan kesempatan. Kita sebagai sesama manusia selalu menghadapi semua hal itu. Pada zaman modern ini, entah itu sebagai Kristen, Muslim atau Hindu, kita sebagai manusia pada zaman yang sama tentu saja menghadapi tantangan yang sama.

Dari situlah asal visi, misi dan ambisi yang saya sempat amati di Al-Zaytun : bahwa ada upaya mendirikan fasilitas pendidikan modern yang maju dan canggih dan terbuka, tapi di dalamnya ada visi dan misi moral yang sesuai dengan tantangan modern.

Ada tiga tantangan yang saya kira merupakan bagian dari zaman modern yang ingin saya utarakan secara singkat pada kesempatan ini. Tapi hanya seadanya, " Sa'mene wae. Matur numun lan nuwun sewu boso Jawa kula mboten alus maneh " (hanya seadanya, terima kasih dan minta maaf bahasa Jawa saya tidak bagus lagi). Sudah terlalu lama saya tidak lagi berbahasa Jawa tapi kalau saya dengan lagu dan musik Jawa, saya selalu ingat pada saat saya di Malang dan Yogya, karena begitu manis buat saya. Ketiga tantangan itu adalah modernisasi, pluralisme dan pendidikan.

Tesis sekulerisme penghapusan agama (bahwa semakin modern masyarakat semakin sekuleris) itu salah. Justru sebenarnya, agama itu malah suatu kebutuhan di zaman modern ini. Pluralisme merupakan satu ciri pokok dari dunia kita. Pluralisme merupakan satu cirri pokok dari dunia kita. Pluralisme tidak hanya menyangkut isu etnis dan agama tapi menyangkut seluruh kehidupan kita. Dan yang paling punya makna dalam menhadapi pluralisme dalam artian luas adalah pendidikan.

Modernisasi Sekuleris

Pertama, tantangan modern. Tantangan yang sering dibicarakan sejak abad XIX baik di dunia Barat maupun dunia Muslim. Salah satu cirri zaman modern itu, pada suatu ketika, selama beberapa dasawarsa di Barat terutama ada kesan, kesimpulan yang menegaskan bahwa semakin modern masyarakat semakin sekuleris. Tapi bukan sekuler yang sesuai dengan pengertian Cak Nur. Ketika saya belajar dari Nurcholis Majid dalam kata dan gagasan itu, ada pendekatan semacam yang sangat tepat bahwa sekuler tidak sama dengan sekuleris yang diramalkan oleh sebagian pemikir Barat.

Pada akhir abad XIX dan awal XX mereka mengatakan bahwa kalau mau modern harus tidak beragama. Paling sedikit imanmu harus berkurang, harus dijadikan menjadi tidak signifikan, tidak begitu bermakna untuk kehidupan umum, bersama dan untuk kehidupan sebagai muamalah, Dalam hal itu, saya termasuk orang yang sejak dulu dibersarkan di kalangan agamis, saya selalu punya kesan yang sedikit tidak enak dengan tesis sekulerisasi itu. Tapi pada suatu ketika, walaupun saya tidak setuju dengan tesis itu, mungkin itu betul dan mungkin sejarah beralih seperti itu, beratri semakin modern kita semakin tidak agamis.


Dalam hal ini saya kembali kepada tantangan modern yang kita hadapi sebagai salah satu pelajaran. Dari pelajaran yang kita peroleh dari dunia modern Muslim, kalau ada daerah atau wilayah dan peradaban di dunia ini yang modern dan membuktikan bahwa modern itu tidak sama dengan sekulerisme (dalam arti pengurangan atau penghapusan agama). Kalau ada peradaban yang membuktikan bahwa tesis itu salah, ada orang seperti kolega saya yang saya kenal baik yaitu Samuel Huntington, suatu ketika menarik kesimpulan bahwa "mungkin itu betu : bahwa semakin modern dunia Muslim tidak semakin sekuleris." Tapi dalah hal ini dunia Muslim dalam perkecualian dan perkecualian itu sangat bertentangan dengan modernitas toleran, democrat, mau menerima orang-orang yang lain. Menurut dia, modernitas Muslim itu modernitas yang penuh dengan kekerasan, kebenciaan, permusuhan dan konflik.

Saya selama satu tauhn setengah pernah duduk bersama-sama satu meja dengan Samuel Hutington sebagai tamu yang diundang karena saya dianggap sebagai orang yang harus ikut seminar yang dia pimpin karena saya dianggap sebagai orang yang salah karena menganggap bahwa dunia itu tidak seperti itu dan dunia Islma itu tidak seperti itu. Saya dianggap orang yang menolak tesis itu.

Saya kira tesis itu (memang) salah dan untuk kembali ke isu sekulerisme, setelah kita bangkitnya Islam tidak hanya di Indonesia tapi di Negara Muslim lainnya, salam satu kenyataan yang jelas, tidak hanya untuk non-muslim tapi juga untuk seluruh umat manusia walaupun dunia Muslim dalam hal ini adalah perintis anti sekulersime, sebetulnya kami yang non muslim bisa mengambil manfaat dari pengalaman peradaban Muslim. Dan juga bermanfaat, dalam arti mempunyai implikasi keilmuan, setelah kita melihat di dunia Muslim dengan bangkitnya Islam, bukan berarti benturan peradaban tapi ada suatu yang lebih dinamis.

Setelah kita mengamati kejadian di dunai Islam, kita bisa lebih melihat secara teliti di Barat, India (Hindu), China yang atheis tapi belakangan ini beralih kepada yang lain. Setelah belajar dari dunia Islam kita cenderung lebih terdetail di seluruh dunia dan semakin yakin bahwa apa yang terjadi di dunia Islam mungkin mempunyai cirri yang begitu istimewa.

Tapi di daerah lain juga tidak seperti yang diramalkan para pemikir abad ke XIX. Buktinya adama masih bertahan, masih jalan, masih dibutuhkan karena sebagaian besar dari umat manusia merasa seolah-olah kehidupan itu tidak punya makna, tidak punya pedoman dan mungkin kehiilangan moralitas tanpa agama. Ini merupakan pelajaran pertama dari Islam. Itulah mengapa banyak non-muslim belajar dari Islam. Samuel juga harus belajar dari Islam, jangan memakai konsep yang terlalu abstrak, yang diciptakan tanpa melihat yang ada di dunia ini. Ada fenomena yang jauh lebih menarik, kompleks, lebih kaya dari pada yang dibayangkan orang semacam dia, walaupun dia bukan musuh karena kita tidak perlu bermusuhan.

Saya kira Al-Zaytun dalam hal ini memberikan suatu pelajaran yang cukup bermakna " "walaupun bertentangan jangan bermusuhan". Itu merupakan salah satu sumbangan dari Syaykh AS Panji Gumilang pada negara ini. Jadi kesimpulan pertama, bahwa tesis sekulerisme penghapusan agama itu salah. Justru yang sebenarnya, agama itu malah suatu kebutuhan di zaman modern ini.

PluralismeTantangan

Kedua, kemajemukan, pluralisme. Sedikit back-ground, kadang-kadang orang Barat itu mempunyai kesan yang salah bahwa merekalah yang menemukan masyarakat majemuk. Sebelum Barat tidak ada masyakat yang majemuk. Masyarakat majemuk hanya di Barat. Ternyata kemudian ada satu gagasan baru dan kami harus menyesuaikan diri dengan itu. Tentang masyarakat majemuk, karena kita membandingkan antara dunia Barat dan dunia Muslim, apalagi dengan Indonesia, kita lihat bahwa asumsi itu sangat keliru.

Pluralisme pada zaman modern semakin berkembang. Tapi itu tidak diawali di Barat dan baru kemudian Negara Muslim, apalagi Indonesia. Negara Barat seperti Jerman, Prancis itu homogen: hanya satu, dua etnis saja. Kemajemukan etnis dan agama itu pun sulit diterima sampai kini. Orang Muslim di Prancis mau berjilbab? Di sana tidak ada toleransi karena jilbab tidak boleh ada di sekolah dan di tempat umum. Jadi di Prancis pun masih ada problem dengan pluralisme. Padahal, pluralisme itu adalah cirri umu pada zaman modern. Zaman modern semakin pluralis, semakin ada gaya hidup, gagasan, dan ilmu baru yang harus diteliti dan berkembang terus.

Jika kita masih pegang keimanan itu dan harus kita terapkan secara praktis dan teliti maka kita harus bisa belajar dengan menggunakan ilmu bagaimana cara menghadapi pluralisme secara benar. Untuk itu kita harus memperbaharui kultur kita, dalam artian kita tidak mengganti agama tapi tafsiran, praktinya. Dan itu harus (dilakukan) terus menerus karena semakin modern, semakin pluralis dunia, bukan hanya masalah agama dan etnis saja tapi juga seluruh cirri kehidupan sosal.

Maka perlu disimpulkan bahwa pluralisme merupakan satu cirri pokok dari dunia kita. Dan mungkin, pluralisme tidak hanya menyangkut isu yang gampang seperti etnis dan agama tapi seluruh apa yang menyangkut kehidupan kita. Dan untuk menghadapi pluralisme itu kita tidak bisa kembali kepada bahasa baku atau mapan, tapi harus mengembangkan ilmu pengetahuan baik di kehidupan sehari-hari maupun di meja belajar, kita terus gali tradisi agama di lingkungan masing-masing, menemukan dan menciptakan tafsiran yang betul dan mampu menghadapi pluralisme yang sedemikian rumit.

Pendidikan

Ketiga, menyangkut pendidikan. Jika tadi saya jelaskan tentang pluralisme yang merupakan tantangan yang paling berat untuk masyarakat modern. Hal ketiga yang paling layak, efisien, dan paling punya makna dalam menghadapi pluralisme dalam artian luas adalah pendidikan.

Dalam hal ini, kita sebagai umat manusia harus diingatkan, belajar dari sesame manusia. Kalau orang Muslim, mungkin dalam "tanda kutip" disebut sebagai orang Muslim modern, kadang-kadang tidak diterima di luar Indonesia, seperti di Mesir yang mungkin punya konotasi yang berbeda. Tapi tidak apa-apa, yang penting ciri-ciri modernis muslim Indonesia adalah adanya suatu keberanian untukbelajar dari pengalaman-pengalaman dan peradaban lain. Hal itu tidak berarti meniru atau menerima begitu saja, tapi diambil yang baik dan menolak yang tidak baik.

Dalam hal ini, saat ini, yang paling berkesan adalah di Al-Zaytun. Menyangkut isu Al-Zaytun, kita melihat suatu percobaan meneruskan jiwa, semangat dan perjaungan klasik modernis. Hal itu malah mungkin (bisa) menyegarkan jiwa modernisme karena bisa dalam berbagai hal. Di mana-mana, baik modernisme di Barat maupun modernisme Islam itu bisa beku, menjadi tradisional bahkan bisa sedikit lelah karena seperti manusia kalau menjadi tua, sudah capek tidak mau menggali dan mengembangkan gagasannya lagi. Tapi di Al-Zaytun, yang saya amati, khususnya Syaykh AS Panji Gumilang : hal yang betul-betul menggembirakan adalah bahwa jiwa modernis itu diperbaharui, diperbesar dan diterapkan di bidang yang mungkin untuk orang lain baik muslim maupun non-muslim agak mengherankan saya. Kok ada peternakan yang mencoba mengembangkan teknologi yang canggih tapi ada upaya yang menyangkut upaya untuk membentuk suatu kultur yang damai,yang sesuai dengan tantangan pokok pada zaman ini.

Di negara-negara di dunia, tantangan pluralisme itu sejak dulu sudah ada. Di peradaban Islam ada ajaran toleransi, tetapi belum berarti semua orang Muslim teleransi. Toleransi juga aga di Kitab Kristen, tapi di negara Kristen pada abad XX ada suatu penyembelihan massa terbesar yaitu PD II. Dan sebelumnya, orang yang disebut Kristen keluar dari Eropa Barat dan menjajah ke seluruh dunia termasuk juga dunia Muslim. Kita lihat pengalaman itu, apakah ada jiwa egaliter? Kadang-Kadang ada seoragn yang menggagas egaliter, demokrasi, dan freedom tapi praktiknya lain. Kita harus bersifat kritis dan menghadapinya. Itulah jiwa modernis. Maka harus ada upaya modernisasi, tapi bukan memperbaharui agama Islam. Tapi memperbaharui pendidikan agar sesuai dengan tantangan kita.

Saya kira itu bagus, kita yang datang dari luar Al-Zaytun memang baik datang ke Al-Zaytun supaya kami diingatkan bahwa di sini dan beberapa tempat lain Indonesia ada orang yang meneruskan dan menggalakkan jiwa modernis dan memperbaharui system pendidikan untuk menghadapi tantangan pluralisme yang begitu majemuk dan rumit.

Saya salut kepada Bapak AS Panji Gumilang dan kepada saudara-saudara Al-Zaytun. Saya berdoa atas upaya Anda yang begitu cemerlang bisa berhasil karena keberhasilan itu dibutuhkan Indonesia. Tapi tidak hanya Indonesia, juga dunia kita karena dunia kita penuh tantangan dan konflik. Saya kira AL-Zaytun dengan dipimpin Syaykh AS Panji Gumilang telah memberikan kita pelajaran dan juga alat menghadapi tantangan ini.

Prof. Dr. Robert W. Hefner adalah peneliti Islam Indonesia. Sejak tahun 1977, Guru Besar Antropologi Universitas Boston, Amerika Serikat yang fasih berbahasa Indonesia, Jawa dan Perancis ini rajin bolak-balik Amerika-Indonesia mengajar sebagai dosen tamu di Universitas Gajah Mada (UGM) sambil terus giat melakukan penelitian-penelitian. Ia dikenal mempunyai pengetahuan yang luas tentang Islam dan Indonesia..

Ia pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1977 dalam rangka melakukan penelitian di Jawa Timur tentang proses islamisasi di Jawa Timur dari sudut kultur, sosiologi, dan ekonomi pedesaan selama tiga bulan. Setahun kemudian, penelitian kembali dilanjutkan selama dua bulan. Penelitiannya ini dibiayai oleh lembaga ilmu pengetahuan AS bernama National.

Science Foundation

Selesaimelakukan penelitannya, pria yang biasa disapa Pak Bob ini rupanya tidak selamanya meninggalkan Indonesia. Ia tetap rutin datang ke Indonesia baik dalam rangka tugas atau melakukan penelitian. Antara tahun 1978-1980, ia mengajar di Jawa Timur selama dua setengah bulan dan di UGM selama dua minggu secara intensif. Empat jam perhari selama enah hari per-minggu selama dua minggu. Ia menggajar di jurusan Antropologi dengan fokus agama Islam dan masyarakat Jawa dalam tinjauan antropologis.

Padatahun 1985 ia kembali lagi ke Jawa Timur dan berafiliasi dengan UGM, kampus yang sering mengundangnya menjadi dosen tamu. Kemudian, antara tahun 1991-1998 ia tidak menetap di Indonesia namun datang tiap tahun selama satu bulan melakukan riset di Jakarta tentang beberapa hal tentang Islam dan perubahan social di kalangan elit.

Ia sempat meneliti ICMI sehingga bisa mengenal beberapa tokoh penting seperti Habibie, Nurcholish Madjid, dan sebagainya. Tahun 1999 ia kembali lagi mengajar di Fakultas Sospol UGM sekaligus melakukan riset tentang pluralisme atas kerjasama dengan dua orang rekannya yaitu Rizal Pangabean dari UGM yang berlatar-belakang Muhammadiyah dan Mokhtar Mesu, orang independen berlatar belakang NU namun berafiliasi lebih ke Muhammadiyah. Dalam kurun waktu 1999-2001, ia bekerja sama denga Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) di Yogyakarta melakukan penelitian dan program pelatihan seputar pluralisme dan perdamaian.

Ia pernah ke Indonesia atas kerjasama dengan Departeman Luar Negeri AS dan Departemen Agama RI. Tahun lalu ia datang sebagai sarjana senior dari State Departement dan mengunjungi pesantren-pesantren di Indonesia. Tercatat ia sudah mengunjungi lebih dari 70 pesantren di Indonesia. Prof Dr. Robert W. Hefner juga telah mengunjungi Al-Zaytun pada Kamis, 6 Januari 2005.(Sumber Majalah Berita Indonesia-16/2006)