Recent Posts

settia

SESAT FAHAM DAN SESAT KEPENTINGAN DI PERANCIS, MENGAPA ?

Perang dagang adalah tentang berebut menjadi superioritas. Menghalangi dan mencegah yang satu menjadi lebih kaya dari yang lain, adalah sebuah keharusan bagi mereka yang terkaya dan merasa sudah nomor satu.

"Bukankah hanya soal waktu saja China pasti akan melampaui AS?"
Bukan hanya China, India dan Indonesia yang diprediksi akan menjadi kekuatan baru dunia bukanlah kenyataan baik yang mau tak mau harus diterima si kaya nomor satu tersebut. Selalu harus ada cara mencegah demi hegemoni kekuasaan yang tak perlu dibagi.
Perang atas nama apapun sepertinya tak selalu lepas dari kepentingan itu. India dengan Pakistan dan Banglades, China dengan India adalah ribut perbatasan yang tak akan pernah usai. Ini akan selalu dibuat abadi agar konsentrasi menjadikan dirinya besar terganggu.
Eropa bersatu pun bukan hal baik bagi sang polisi dunia meski secara historis mereka akrab. Tak berlebihan bila pak polisi itu khawatir karena Eropa bersatu adalah berbicara tentang kawasan seluas 4,3 juta kilometer persegi dengan jumlah penduduk mendekati 450 juta.
Membuat Eropa bergolak pun bukan mustahil. Buat saja Afrika dan Timur Tengah bergejolak dan lalu panen pengungsi dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda, diterima Eropa.
Eropa yang kemudian homogen adalah salah satu syarat keributan mudah disuntikkan. Dan kini, hal tersebut dapat diciptakan kapan pun dan dengan mudah dapat terjadi di sudut mana pun di Eropa oleh mereka yang ingin.
Swedia sudah, kini Perancis. Isu sentimen agama yang tak pernah lagi menjadi ruang bagi pembahasan hidup sekuler warga di negara-negara Eropa, tiba-tiba menggema. Perancis yang sekuler tiba-tiba disudutkan pada topik tak memiliki etika karena Presidennya dianggap rasis.
"Loh bukankah itu memang menghina?"
Ketika India memberlakukan hukum yang terkesan diskriminatif, kita marah. India menerima mereka yang Hindu, Kristen, Buddha, Sikh dan namun menolak mereka yang muslim.
Para pengungsi yang berasal dari tiga negara tetangga India yakni, Afghanistan, Pakistan dan Banglades lari dari tanah tumpah darahnya sendiri karena negara tak lagi mampu melindungi warga negaranya.
Mereka merasa tak aman dengan kekerasan berbau sara. Mereka ditolak dan sering menerima perlakuan tak manusiawi oleh saudaranya sendiri karena berbeda keyakinan.
Dan alasan Perdana menteri Narendra Modi adalah: "tak mungkin seorang Muslim di tolak dan diperlakukan tak adil oleh mereka yang Muslim di negara Islam".
Tak ada alasan menerima pengungsi karena alasan ekonomi. India juga sedang dibuat sibuk untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya sendiri.
Kita marah terhadap China yang komunis dan langsung menuduh tak adil dan rasis terhadap minoritas Uighur.
Kita benci kepada Myanmar karena kasus etnis Rohingya.
Kita berbondong memenuhi panggilan jihad bagi saudara kita yang disiksa oleh Bashir al Assad yang Syiah di Suriah.
Namun kita mendukung ketika Turki sibuk membantu Azerbaijan yang Syiah demi perang tak jelas terhadap Armenia.
Kita juga diam seribu bahasa ketika jutaan saudara kita mati kelaparan di Yaman karena perang tak adil atas intervensi Arab Saudi.
Kita marah dan namun pilih-pilih. Bukan soal konsistensi tapi dipilihkan oleh sebab apa kita diajak untuk marah berjamaah.
"Iya ya..,marahnya pilih-pilih. Tapi peristiwa di Perancis berbeda kan?"
Membangun negerinya sendiri lepas dari pengaruh agama telah mereka lakukan selama bertahun-tahun. Melepaskan pengaruh Katolik yang sudah mendarah daging selama ratusan tahun dalam kehidupan bermasyarakatnya, adalah pilihan demi negara sekuler yang lepas dari sekat dan simbol agama.
Lantas ketika banyak pengungsi dari banyak negara konflik di timur tengah diterimanya, haruskah solider terhadap simbol agama pendatang harus memaksa aturan hukum di negaranya dirubah, sementara penduduk aslinya pun dilarang menggunakan simbol dan apalagi sekat agama dalam kehidupan sehari hari?
"Trus, apa hubungannya dengan perang dagang dan ingin menjadi polisi dunia tadi?"
Peristiwa Swedia dan Perancis hanya permulaan. Imigrasi massal mau tak mau akan membentuk masyarakat Eropa yang lebih homogen. Secara perlahan kriminalisme dan kemudian radikalisme yang mengarah pada terorisme hanya masalah berikutnya.
Eropa yang tak aman akan melahirkan situasi krisis dan namun di sisi lain sekaligus kesempatan bukan? Bukankah ini juga tentang cara standar polisi dunia biasa lakukan?
"Trus ngapain kita omong soal Eropa, ada hal penting apa untuk Indonesia?"
Thailand negara Buddha yang sedikit berbelok dan telah masuk ke dalam pengaruh Rusia-China, entah bagaimana caranya tiba-tiba harus menghadapi ekstrimis Salafi/Wahabi di wilayah selatan negaranya. Aneh kan?
Sebagai negara Buddha saja Thailand tiba-tiba menghadapi sesuatu yang tak masuk akal di dalam negaranya, apalagi Indonesia.
Peristiwa Perancis tak seharusnya membuat kita latah dengan marah apalagi ngamuk hanya karena sentimen agama. Ada hal besar yang tak mudah kita cari jejaknya.
Yang jelas, ada seorang guru di sana, di tempat di mana tak pernah terjadi peristiwa kriminal tiba-tiba dipotong lehernya hanya karena sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang pengajar. Dia hanya melakukan hal yang seharusnya sebagai seorang guru sesuai perintah UU di negaranya.
Haruskah kita terlibat untuk menghakimi Perancis setelah mereka justru diserang? Seharusnya kita berdiri bersama Perancis untuk melawan teror atas nama apapun bukan justru terbalik hanya gara-gara kampanye penghinaan agama.
Dalam kacau jejak langkah kemana politik dunia bergerak, sering kita dibuat bingung dan tak mengerti. Haruskah kita hanya melihat apa yang ditunjukkan? Monggo gunakan akal bukan okol.
Kesesatan paham yang dibakar oleh rasa marah, tidak pernah menjernihkan akal, tapi hanya memanas-manasi okol (otot, kekuatan fisik).

Oleh : Karto Bugel
https://www.facebook.com/mbah.kartoboogle.1/posts/398018948278117

Pemenggal Guru Prancis Sempat Tukar Pesan dengan Ayah Murid


Sumber kepolisian Prancis mengatakan Abdullah Anzorov, pelaku pemenggal guru Samuel Paty sempat terlibat kontak dengan orangtua murid yang memimpin kampanye daring untuk melawan korban.
 
Pembunuh berusia 18 tahun itu diketahui sempat bertukar pesan melalui WhatsApp denganayah murid yang ingin Paty dipecat, setelah putrinya memberitahu bahwa guru itu menunjukkan kartun Nabi Muhammad dalam pelajaran tentang kebebasan berbicara.
 
Dilansir The Guardian, mengutip sumber polisi, radio Europe 1 mengatakan para penyelidik telah menemukan jejak beberapa pesan teks dan percakapan telepon antara sang ayah dan Anzorov di hari-hari menjelang kematian guru sejarah tersebut.

Dilansir AFP, Selasa (20/10), sumber kepolisian tidak menyebutkan bagaimana Anzorov berhubungan dengan ayah murid. Tapi sang ayah mencantumkan nomor teleponnya di postingan kampanye daring di Facebook dengan video yang menyerukan protes terhadap Paty.
 
Menurut sumber polisi, sang ayah menuduh Paty melakukan "pornografi" karena menunjukkan kartun Nabi Muhammad yang telanjang. Meski demikian, putrinya yang juga merupakan murid Paty, tidak berada di kelas saat pelajaran itu berlangsung.

Pihak sekolah juga mengatakan Paty telah memberikan pilihan kepada siswanya yang beragama Islam untuk meninggalkan kelas sebelum dia menunjukkan gambar tersebut.
 
Sang ayah adalah satu dari 16 orang yang ditahan atas pembunuhan tersebut. Selain itu, lima siswa sekolah itu juga ditahan karena dicurigai membantu Anzorov mengidentifikasi korbannya dengan imbalan uang.

Anzorov melancarkan serangan itu pada Jumat lalu ketika Paty dalam perjalanan pulang dari SMP tempat dia mengajar di Conflans-Sainte-Honorine, 40 kilometer di barat laut Paris. Anzorov ditembak mati oleh polisi tak lama setelah serangan itu.