Sepanjang pekan ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat tipis 0,03% di perdagangan pasar spot. Dolar AS berada di bawah Rp 14.700.
Meski cuma menguat tipis, tetapi kinerja rupiah tidak jelek-jelek amat. Sebab, sebagian besar mata uang utama Asia terdepresiasi di hadapan greenback. Selain rupiah, hanya yen Jepang, won Korea Selatan, yuan China, dan dolar Hong Kong yang menguat.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada minggu ini:
Dolar AS vs Mata Uang Asia
Rupiah menguat di hadapan delapan mata uang utama Asia. Hanya yen Jepang, won Korea Selatan, dan baht Thailand yang gagal ditaklukkan.
Berikut perkembangan kurs mata uang utama Asia terhadap rupiah pada minggu ini:
Mata Uang Asia vs Rupiah
Berikut perkembangan kurs mata uang utama Eropa terhadap rupiah pada pekan ini:
Mata Uang Eropa vs Rupiah
Apa yang menjadi kunci keperkasaan rupiah? Mengapa rupiah bisa begitu dominan di hadapan dolar AS, mata uang Asia, sampai Eropa?
Ini tidak lepas dari fundamental penyokong rupiah yang membaik. Bank Indonesia (BI) memperkirakan transaksi berjalan mencatat surplus pada kuartal III-2020. Jika terwujud, maka akan menjadi surplus pertama sejak 2011.
Transaksi berjalan mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari pos ini lebih berjangka panjang, tidak mudah keluar-masuk seperti investasi portofolio di sektor keuangan.
Dengan pasokan valas yang mumpuni, seharusnya menjadi pijakan bagi rupiah untuk menanjak.
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan Indonesia (%PDB)
Inflasi Indonesia
"Penyumbang utama inflasi berasal dari komoditascabai merah sebesar 0,08% (MtM), bawang merah sebesar 0,02% (MtM), minyak goreng dan daging ayam ras masing-masing sebesar 0,01% (MtM). Sementara itu, komoditas yang menyumbang deflasi pada periode laporan berasal dari komoditas telur ayam ras sebesar -0,05% (MtM), serta beras dan emas perhiasan masing-masing sebesar -0,01% (MtM)," sebut keterangan tertulis BI.
Inflasi yang rendah membuat berinvestasi di rupiah jadi menguntungkan. Sebab imbalan yang didapat investor tidak terlalu tergerus oleh inflasi.
Misalnya, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun saat ini berada di 6,759%. Dengan inflasi tahunan yang diperkirakan 1,41% sampai Oktober, maka imbalan riil yang diterima investor adalah 5,349%. Masih cukup tinggi dibandingkan yang didapat dari negara-negara sekelompok (peers).
Yield obligasi pemerintah India tenor 10 tahun adalah 5,935% dan inflasi September mencapai 7,43% YoY. Jadi keuntungan riil berinvestasi di instrumen ini adalah -1,495%, bukannya untung malah buntung.
Kemudian misalnya Turki. Yield surat utang pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan untuk yang tenor 10 tahun adalah 13,32%, jauh lebih tinggi ketimbang Indonesia.
Namun inflasi di Turki mencapai 11,75% YoY per September 2020. Jadi keuntungan riil yang diterima investor hanya 1,57%, jauh di bawah Indonesia.
Iming-iming imbalan tinggi membuat investor, terutama asing, masih rajin mengoleksi aset berbasis rupiah.
Per 15 Oktober, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) tercatat Rp 945,12 triliun. Naik Rp 10,34 triliun (1,11%) dibandingkan posisi awal bulan. Jadi tidak heran rupiah bisa begitu perkasa, karena mata uang Ibu Pertiwi masih diburu oleh pelaku pasar.
TIM RISET CNBC INDONESIA