Cheng Ho (1405 – 1433)
Christopher Columbus (1451-1506)
Robert Dick -Read, peneliti asal Inggris menyatakan, berdasar pada
sumber sejarah yang berlimpah, pelaut-pelaut Nusantara sudah menjejakkan
kaki di Afrika sejak abad ke-5 Masehi. Jauh sebelum bangsa Eropa
mengenal Afrika dan jauh sebelum bangsa Arab berlayar ke Zanzibar. Cheng
Ho apalagi, pelaut China yang pernah mengadakan muhibah ke Semarang
pada abad ke-14 M, ini jelas ketinggalan dari moyang kita.
Penelitian Dick-Read tentang pelaut Nusantara ini awalnya adalah kebetulan. Ia datang ke Mozambik pada 1957 untuk meneliti masa lalu Afrika. Di sana. untuk pertama kalinya mendengar bagaimana masyarakat Madagaskar fasih berbicara dengan bahasa Austronesia laiknya pemukim di wilayah pasifik. Ia juga tertarik dengan perompak Madagaskar yang menggunakan kano (perahu yang mempunyai penyeimbang di kanan-kiri) yang mirip perahu khas Asia timur. Ketertarikannya memuncak setelah ia banyak menghadiri seminar tentang masa lalu Afrika, yang menyiratkan adanya banyak hubungan antara Nusantara dan sejarah Afrika.
RAS AFRO – NUSANTARA
Dalam penelusurannya, Dick-Read menemukan bukti-bukti mutakhir bahwa
pelaut Nusantara telah menaklukkan Samudra Hindia dan berlayar sampai
Afrika Sebelum bangsa Eropa, Arab, dan Cina memulai penjelajahan bahari
mereka.
Diantara bukti tersebut adalah banyaknya kesamaan alat-alat musik,
teknologi perahu, bahan makanan, budaya dan bahasa bangsa Zanj (ras Afro
– Nusantara). Di sana di ketemukan sebuah alat musik sejenis xilophon
atau yang kita kenal sebagai gambang dan beberapa jenis alat musik dari
bambu yang merupakan alat musik khas Nusantara. Ada juga kesamaan pada
seni pahat patung milik suku Ife, Nigeria dengan patung dan relief
perahu yang terpahat di candi Borobudur.
Beberapa tanaman khas Indonesia yang juga tak luput hijrahke sana,
semisal pisang raja, ubi jalar, keladi dan jagung. Menurut penelitian
George Murdock, profesor berkebangsaan Amerika pada 1959,
tanaman-tanaman itu dibawa orang-orang Nusantara saat melakukan
perjalanan ke Madagaskar.
Bukan itu saja, hipotesa Dick –Read cukup mengejutkan mengenai
kehebatan pelaut Nusantara. Diantaranya adalah, rentang antara abad ke-5
dan ke-7 M, kapal-kapal Nusantara banyak mendominasi pelayaran dagang
di Asia.
Pada waktu itu perdagangan bangsa Cina banyak bergantung pada jasa para pelaut Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa perkapalan Cina ternyata banyak mengadopsi teknologi dari Indonesia. Bahkan kapal Jung yang banyak dipakai orang Cina ternyata dipelajari dari pelaut Nusantara.
“Meskipun para pelaut Nusantara tidak meninggalkan catatan dan bukti-bukti konkret mengenai perjalanannya, sisa-sisa peninggalan mereka di Afrika jauh lebih banyak daripada yang diketahui oleh umum,” tulis Dick-Read dalam penelitiannya.
Di afrika juga ada masyarakat yang disebut Zanj yang mendominasi
pantai timur Afrika hampir sepanjang millennium pertama masehi. Lalu
siapakah Zanj, yang namanya merupakan asal dari nama bangsa Azania,
Zanzibar dan Tanzania? Tak banyak diketahui. Tapi ada petunjuk yang
mengarahkan kesamaan Zanj Afrika dengan Zanaj atau Zabag di Sumatera.
Dalam hal ini, Dick mengajukan dugaan kuat keterikatan Zanj,
Swarnadwipa dan Sumatera. Swarnadwipa yang berarti Pulau Emas merupakan
nama lain Sumatera. Hal ini dapat dilihat dalam legenda Hindhu
Nusantara. Dick menduga, banyaknya emas di Sumatera ini dibawa oleh Zanj
dan pelaut Nusantara dari Zimbabwe, Afrika. Karena Dick juga menemukan
bukti yang menyatakan tambang-tambang emas di Zimbawe mulanya dirintis
oleh pelaut Nusantara yang datang ke sana. Sebagian tak kembali dan
membentuk ras Afro-Nusantara. Mungkin ras inilah yang disebut Zanj.
Para petualang Nusantara ini bukan hanya singgah di Afrika. Mereka
juga meninggalkan banyak jejak di kebudayaan di seluruh Afrika. Mereka
memperkenalkan jenis-jenis tanaman baru, teknologi, musik, dan seni yang
pengaruhnya masih bisa ditemukan dalam kebudayaan Afrika sekarang.
Beberapa hipotesis yang cukup mengejutkan di antaranya adalah ;
Antara abad ke-5 dan ke-7, kapal-kapal Nusantara mendominasi pelayaran
dagang di Asia. Pada abad-abad itu, perdagangan bangsa China banyak
bergantung pada jasa para pelaut Nusantara. Teknologi kapal jung bangsa
China dipelajari dari pelaut-pelaut Nusantara, bukan sebaliknya.
Lalu dari manakah asal emas berlimpah yang membuat Sumatera dijuluki
Swarnadwipa (Pulau Emas) ? Mungkinkah dari Zimbabwe? Mungkinkah
tambang-tambang emas kuno di Zimbabwe dibangun oleh para perantau
Nusantara ?
Dan masih banyak lagi data sejarah yang dipaparkan Dick – Read, yang
pasti akan banyak mengubah pandangan kita tentang kehebatan peradaban
Nusantara pada masa kuno.
Para penjelajah laut dari Nusantara diperkirakan sudah menjejakkan
kaki mereka di benua Afrika melalui Madagaskar sejak masa-masa awal
tarikh Masehi. Jauh lebih awal daripada bangsa Eropa mengenal Afrika
selain Gurun Sahara-nya dan jauh sebelum bangsa Arab dan Zhirazi dengan
perahu dhow mereka menemukan kota-kota eksotis di Afrika, seperti Kilwa,
Lamu, dan Zanzibar.
Tanpa Pelaut Nusantara, Tidak Ada Mummy Fir’aun & Piramida Mesir
Jasad Fir’aun, Raja Mesir Kuno, dapat
tetap awet berkat bahan pengawet yang di datangkan dari Nusantara, yaitu
kapur barus (Dryobalanops aromatic).Alexandria-Egypt, POL BERDASARKAN temuan kamper atau kapur barus sebagai bahan pengawet pada
mummy Fir’aun, Raja Mesir Kuno, Prof.Mohammad Yamin memperkirakan bahwa
kamper sudah diperdagangkan sejak 6000 tahun lalu. Ada tiga daerah utama
penghasil kapur barus, yaitu Sumatera, Semenanjung Melayu, dan Borneo
(Kalimantan).
Daerah di Sumatera yang sering disebut-sebut dalam berbagai sumber
tertulis – manuskrip catatan tertua yang ditulis oleh Ptolemeus, seorang
filsuf Alexandria pada abad I Masehi – adalah Barus, suatu kota kuno di
pantai barat Sumatera, yang terletak antara Sibolga dan Singkel, yang
sekarang masuk wilayah Sumatera Utara.
Selain kapur barus, barang hasil bumi berharga dari Nusantara yang ditemukan di wilayah Timur Tengah adalah cengkih. Ketika menggali situs rumah seorang pedagang yang berasal dari tahun 1700 Sebelum Masehi (3700 tahun lalu) di Terga, Efrat Tengah, Iraq, Arkeolog Dr.Giorgio Buccellati terkagum-kagum dan seolah tak percaya pada penglihatannya sendiri, ketika menemukan wadah berisi benda seperti cengkih.
Sisa-sisa tanaman yang kami sebut cengkih itu sekilas tidak seperti
cengkih yang sesungguhnya, dan kesan yang sama juga dikemukakan oleh
Prof.Kathleen Galvin, ahli paleobotani (Tanaman Purbakala) kami ketika
itu. Tetapi , bagaimana jika hasil uji benda itu benar-benar cengkih?
Mengapa hal tersebut luar biasa? Hal ini terjadi karena di muka bumi
hanya ada satu tempat di mana cengkih dapat tumbuh kala itu, yaitu
kepulauan Maluku, sebuah kepulauan kecil yang berada di Nusantara.” Ujar
Dr.Giorgio Buccellati dalam E-mail kepada Robert Dick-Read pada 11
April 2002. Dimuat dalam buku Robert Dick-Read,Penjelajah Bahari,
penerjemah Edrijani Azwaldi, (Bandung: Mizan, 2008), halaman 38.
Bila di kawasan Timur Tengah ditemukan barang-barang dari Nusantara,
ternyata di Pulau Timor ditemukan benda-benda dari Timur Tengah.
Arkeolog Inggris, Dr.Julian Reade menemukan sisa-sisa fosil biri-biri di
situs bekas pemu****n sekitar tahun 1500 SM, yang berjarak beberapa
ratus mil sebelah selatan Kepulauan Maluku.
Kemudian muncul pertanyaan : Mengapa benda-benda tersebut bisa berada di Pulau Timor (Nusantara) dan di Timur Tengah pada masa itu? Saling bertukar tempat, satu dengan lainnya.
Robert Dick-Read menggambarkan hipotesis Moh.Yamin: “Ada kemungkinan
perdagangan lewat laut kemudian diteruskan lewat darat, antara
Mediterania dan Nusantara yang sudah cukup mapan selama ribuan tahun.
Hal ini terjadi, jauh dari aliran kegiatan antara Indus dan Babilonia,
barang-barang dari Mesir secara pasti mencapai Efrat Tengah sejak 1700
SM, bahkan mungkin jauh lebih awal.”
Robert Dick-Read menolak teori bahwa bangsa Persia, Arab, dan India adalah pelaku perdagangan kuno kala itu, bahkan hingga masa Romawi abad I Masehi. Menurutnya bangsa Persia dan Arab masih berada di pantai-pantai dengan perahu kecil mereka, begitu pula tak ada kapal-kapal India yang pernah mengirim barang-barang menyeberangi lautan lepas samudera menuju Laut Merah dalam pelayaran menuju Romawi. Robert menambahkan, mereka bukan pelaut dari China, sebab bangsa China baru berlayar ke Asia Tenggara sekitar abad ke-7. Mengutip hipotesis “Polinesia” Hornell, Robert Dick-Read menyebut mereka sebagai pelaut misterius Austronesia.
Menurut ahli genetika dari Universitas Oxford, Stephen Oppenheimer,
asal pelaut Austronesia adalah dari Nusantara. Robert pada riset
terbarunya, akhirnya menyebut hanya pelaut dari Nusantara yang mampu
belayar di samudera luas, dengan kapal-kapal bercadik mereka yang kuat,
karena terbuat dari kayu trembesi dan kayu jati, membatalkan teori
lamanya yang dikenal Teori Hipotesis Out of Taiwan.
Pendapat ini diakui pula oleh arkeolog Universitas Indonesia,
Prof.Agus Aris Munandar melalui penelitian Situs Pasemah, Lembah Bada,
dan Goa Made. Berdasarkan kronologi secara akurat, topeng perunggu yang
ditemukan di Goa Made telah dibuat pada tahun 3000 SM (5000 tahun lalu),
lebih tua dari kebudayaan perunggu Dong-son di Vietnam.
Temuan arkeologi telah memecahkan hipotesis tentang bangsa
Austronesia yang melakukan pelayaran dengan wilayah Timur Tengah. Mereka
diidenfikasi berasal dari dua wilayah, yaitu Jawa dan
Sumatera. Berdasarkan fakta ini, boleh disimpulkan bahwa: Tanpa pelaut
Nusantara, tidak ada mummy Fir’aun dan Piramida Mesir. Kenapa demikian?
Sebab jasad Fir’aun, Raja Mesir Kuno, dapat tetap awet berkat bahan
pengawet yang di datangkan dari Nusantara, berupa kapur barus. Lalu apa
gunanya Piramida Mesir tanpa adanya mummy raja-raja Mesir Kuno?