Sumber : https://www.facebook.com/marief.pranoto/notes |
Latar belakang tulisan ini sesungguhnya keprihatinan, betapa
banyak anak bangsa dan segenap tumpah darah Indonesia masih tidak ‘satu
suara’ dalam menyikapi ketegangan hubungan antara Indonesia – Australia
(Aussie) akibat isue penyadapan intelijen Aussie terhadap beberapa
petinggi Republik Indonesia (RI). Negara manapun di muka bumi,
bila ‘disentuh' atau diganggu perihal "Kepentingan Nasional"-nya niscaya
meradang, mengamuk, melawan dll, mungkin sudah menjadi kodrat alam.
Apalagi jika yang disentuh perihal Kepentingan Nasional UTAMA seperti
harga diri bangsa, kedaulatan negara dan sejenisnya. Maka sebagai
konsekuensi logis, selayaknya segenap elemen bangsanya mutlak harus SATU
SUARA, bukannya bermacam-macam suara.
Tetapi
entah kenapa, tak sedikit tokoh-tokoh, para elit politik, kaum
akademisi, kalangan awam, dll justru “berwarna-warni” dalam menyikapi
peristiwa tidak beradab tersebut. Ada yang pro dan kontra.
Penyadapan
percakapan telepon Presiden, Ibu Negara, Wakil Presiden, dan beberapa
Menteri RI sungguh melanggar etika diplomatik dan pakem apapun. Aksi
intelijen tak senonoh oleh Aussie di era modern kini, justru semakin
diperparah oleh sikap Perdana Menteri (PM) Tony Abbot yang cuma
menyesalkan peristiwa tersebut tanpa permintaan maaf secara resmi.
Benar-benar pongah!
Apa boleh buat. Tulisan ini memang tidak akan mengkaji “warna-warni” pendapat di internal negeri, tak juga membahas ausignares
orang Aussie yang menggambaran karakter bebal, angkuh dan senang
mencuri informasi untuk menaikkan posisi tawar dalam kerja sama. Memang
dalam konteks politis, sikap ausignares cenderung
mengekspresikan naluri pemberontakan dari kaum keturunan kriminalis yang
tidak butuh simpati. Bukankah keberadaan bangsa Aussie diawali 26
Januari 1788-an ketika 11 kapal merapat di Sydney Harbour menurunkan
1.500 orang narapidana? Termasuk seperlima penjahat lelaki yang hidup di
bawah ancaman kekerasan seksual. Agaknya hingga kini, dalam beberapa
kasus sepertinya mereka bangga dan mempertahankan watak sebagai
keturunan kaum yang mudah datang, mudah pergi, kaum yang sedikit tinggi,
sedikit rendah. Kaum yang mudah membunuh dengan pistol menyalak, dan
bahagia ketika musuh sudah tewas!
Sekali
lagi, tulisan ini tak hendak membahas fakta-fakta “menyedihkan” di
atas. Penulis menjauh dari gaduh kepentingan serta hiruk-pikuk persepsi,
mencoba menyelam lebih dalam, lalu berusaha menguak hidden agenda dibalik tebaran isue-isue Edward Snowden, dalam hal ini ---dari sisi intelijen--- covernya mantan kontraktor National Security Agency (NSA), Amerika Serikat (AS).
Alasan
pokok kenapa geopolitik dijadikan pisau bedah (perspektif) guna
mengurai artikel ini, oleh karena geopolitik merupakan ilmu tua yang
mampu mengintegrasikan semua hakikat keilmuan, karena di atas geo itulah
seluruh permasalahan manusia diselesaikan. Manakala abai terhadap
geopolitik, hal itu merupakan titik awal dan sumber bencana bagi
ilmu-ilmu (politik) yang ada.
Ya. Geo itu
bahasa Inggris, arti Indonesianya adalah bumi, tanah, dan seterusnya. Ia
adalah salah satu unsur kehidupan selain air, api dan angin serta
merupakan asal-usul manusia (Adam) dulu. Dimanapun geo, seharusnya tak
hanya mengantar manusia atau bangsa pada gerbang kemerdekaan tetapi
lebih jauh lagi yakni membentuk bangsa dan negara yang hidup di atasnya
bermartabat di dunia.
Memahami
geopolitik itu tidak usyah rumit-rumit seperti “Teori Ruang”-nya
Friederich Ratzel (1844 - 1904); atau “Teori Kekuatan”-nya Rudolf
Kjellen (1864 - 1922); “Teori Pan Region”-nya Karl Haushofer (1869 -
1946); atau teori Sir Halford Mackinder (1861 - 1947) tentang Heartland
(Jantung Dunia); atau tak perlu secanggih “Teori Kekuatan Maritim”-nya
Sir Walter Raleigh (1554 - 1618) dan Alfred T. Mahan (1840 - 1914).
Sederhanakan! Atau “bumi”-kan teori-teori tersebut biar tidak sekedar di
awang-awang.
Menurut Jenderal Vo
Nguyen Giap, konseptor perang (semesta) Vietnam yang berjasa mengusir
Perancis tahun 1954 dan mampu mencundangi AS dekade 1975-an, adalah
sebagai berikut: "Kekuatan Kami, baik defense (bertahan) maupun
offensive (Menyerang), kami dasarkan atas keadaan-keadaan yang nyata
dari Vietnam sendiri. Bukan atas dasar pengetahuan dari luar. Melainkan
atas dasar pengetahuan geopolitik dari Vietnam."
Implementasi geopolitik menurut Panglima Besar Soedirman adalah: “pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (1947). Kemudian Bung Karno menyebut “ketahanan nasional dapat maksimal jika berdasarkan geopolitik” (1965). Pak Harto dahulu sering menyatakan:
“.. kesatuan daratan, kesatuan lautan dan kesatuan udara ini dipandang
sebagai satu keseluruhan yang bulat. Itulah wawasan nusantara” (1967).
Sedangkan
menurut Dirgo D. Purbo, dosen pasca sarjana Kajian Ketahanan Nasional
Universitas Indonesia sekaligus pakar perminyakan Indonesia menyebut
bahwa wawasan nusantara merupakan agenda kepentingan nasional Republik
Indonesia (2003). Sederhana ‘kan?
Geopolitik
meniscayakan orang belajar tentang realitas dan hakikat materi serta
non materi. Oleh sebab perjalanan sebuah bangsa tak lepas dari kedua
dinamika dan dialektika alam tersebut (materi dan non materi), sementara
ilmu dan filsafat membentang dalam spektrum di atas permukaan. Dengan
demikian geopolitik sebagai ilmu dan kenyataan hidup, umurnya sudah
setua bumi bahkan seuzur kehidupan manusia itu sendiri.
Di
era modern, geopolitik suatu bangsa sering didangkalkan bahkan
dinihilkan dengan doktrin-doktrin global seperti kebebasan, demokrasi,
profesionalisme, globalisasi, HAM dan lainnya. Ia dituduh sebagai aliran
pemikiran bidang pertahanan, dianggap hanya sekedar domain militer
belaka. Inti tujuannya mungkin agar tercitra bahwa geopolitik kini sudah
tidak relevan lagi di era globalisasi, terutama bagi fungsi atau
institusi non militer.
Teori Machinder, Guilford, Rudolf Kjellen dan lainnya tentang geopolitik sebenarnya hanya “meramu” atau mapping
kawasan berbasis potensi pertambangan, padahal dari aspek histori ilmu,
geopolitik adalah realitas politik semenjak Adam turun ke bumi.
Perselisihan antara Habil dan Qabil pada awal kehidupan dahulu merupakan
contoh realitas politik yang tak boleh dipungkiri siapapun. Bahkan
segala bentuk peperangan di era Fir’aun, atau sejak zaman Babylonia,
Romawi, Perang Dunia, atau kerusuhan sosial politik di berbagai negara
baik konflik vertikal maupun horizontal serta kolonialisme gaya baru di
masa kini, disebabkan karena kepentingan geopolitik. Contoh aktual ialah
Syria. Negeri ini meskipun tak kaya minyak seperti Lybia, Irak, atau
Arab Saudi namun diperebutkan berbagai adidaya dunia semata-mata karena geopolitic of pipeline serta geostrategic position.
Dengan demikian, kalimat pamungkas tentang geopolitik sebenarnya
sederhana sekali, yaitu: “Jalankan politik berbasis keuniqan geografis”.
Dalam aksi penyadapan telepon beberapa petinggi dan
simbol-simbol negara RI, ternyata Aussie tak sendirian. Ia dibantu oleh
Singapore, Korea (Selatan), New Zealand, Jepang, Inggris dll, tetapi
semuanya atas kendali AS sebagai pemegang remote operasi.
Dikatakan oleh Salamudin Daeng dari Institute Global Justice (IGJ), Jakarta, bahwa
AS dan Inggris telah mematai-matai Indonesia melalui dua sayap operasi
intelijen. Pertama, sayap Australia: untuk pembentukan mindset (pola pikir) dan engineering (rekayasa)
politik Indonesia; kedua, sayap Singapore: untuk pengendalian ekonomi,
keuangan, perbankan, perdagangan dan sumberdaya alam (SDA). Dan dalam
koridor tersebut penyadapan dilakukan secara intensif, bahkan konon
mampu menembus hingga ke kamar tidur Presiden Habibie, Gusdur, Mega dan
SBY.
Menyimak uraian Daeng meski hanya sekilas, sebenarnya sudah bisa dilakukan mapping sederhana,
artinya jika ketegangan diplomatik (politik) Indonesia – Aussie
dianggap sebagai panggung pagelaran, maka peran Snowden hanya sekedar
“wayang” semata, dan “dalang”-nya adalah Aussie dan Singapore dibantu
beberapa negara dalam orbit Paman Sam sebagaimana disebut atas, tetapi
“pemilik hajatan”-nya ialah AS dan Inggris sebagai mbah-nya
kapitalis global. Inilah yang kini terjadi. Ada wayang, dalang dan
pemilik hajatan. Ketiganya bersinergi secara sistemik. Wayang terserah
sang dalang, sedangkan dalang tergantung kemauan pemilik hajat. "Hay,
Pak Dalang, saya ingin lakonnya Asia Spring di Negeri Zamrud, ya? Bikin goro-goro mirip Arab Spring!"
Aussie bertugas mengubah pola berpikir anak bangsa dan rekayasa politik di republik ini, sedangkan tugas Singapore ialah mapping
bagaimana penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA di Indonesia. Luar
biasa. Maka pantas saja ---menurut informasi--- ketika di bawah gedung
KPK, Jakarta, terdapat ruangan khusus untuk “ngantor” orang-orang
Australia, entah siapa mereka dan apa yang dikerjakan. Yang janggal,
kenapa justru otoritas KPK dan instansi lain yang berkompeten membisu?
Tidak tahu, atau membiarkan. Jangan-jangan malah ada link up?
Hipotesa penulis, berkenaan dengan kajian Daeng, kemungkinan
“ngantor”-nya orang Aussie di bawah gedung KPK terkait tugas-tugas
pengubahan mindset bangsa dan rekayasa politik. Salah
satu rekayasa ialah membikin gaduh republik ini di tataran hilir
(korupsi, HAM, dll). Tak heran ketika media VOA ISLAM.com (23/11/2013)
memberitakan, justru (intelijen) Aussie beserta beberapa LSM yang
memiliki link up ke donator asing menyerahkan data-data korupsi
para pejabat negara kepada KPK. Darimana Aussie dkk mendapat data? Ini
yang tengah berlangsung.
Mencuatnya
kasus daging impor yang menjerat Ahmad Fathonah atau Olong, kuat diduga
sebagai rekayasa politik Australia guna mencemarkan atau membusukkan
ideologi partai politik tertentu melalui pintu impor daging. Kendati
penghancuran partai sebenarnya juga hanya sasaran antara belaka, oleh
karena kuat diduga ada hidden agenda yang lebih dahsyat lagi:
penghancuran Islam di Indonesia? Ini cuma satu contoh. Silahkan telusuri
kasus-kasus lainnya (Baca: Melacak Jejak Dosa Ahmad Fathonah dan PKS
dari Perspektif Kolonialisme, di www.theglobal-review).
Hakikat
permasalahan bangsa ini ada di hulu, yaitu penguasaan ekonomi dan
pencaplokan SDA (lebih 90%) oleh asing yang hingga kini nyaris tanpa
gugatan anak bangsa, sementara perjuangan banyak komponen masyarakat
kita justru berputar-putar di hilir persoalan, seperti menyoal korupsi,
HAM, kebebasan, demokrasi, intoleransi dan lain-lain. Apakah
"pembengkokkan perjuangan" ini hasil kerja para intelijen Australia
sesuai tugasnya mengubah pola pikir bangsa dan rekayasa politik di Bumi
Pertiwi?
Pada dokumen Global Future Institute (GFI), Jakarta,
pimpinan Hendrajit (silahkan dibaca: “Edward Snowden dan Model-Model
Operasi Bendera Palsu”; “Tebaran Isue Snowden Bikin ‘Panas’ Suhu
Politik”; dan beberapa analisa lain tentang Edward Snowden, Julian
Assange dan WikiLeaks di situs www.theglobal-review.com) menyebut, bahwa aktivitas Snowden merupakan kelanjutan false flag operation Paman Sam cq Julian Assange melalui kendaraan WikiLeaks.
False flag operation atau operasi bendera palsu ialah operasi rahasia
yang dilakukan oleh suatu negara, pemerintah tertentu, perusahaan, atau
organisasi lain, dirancang untuk menipu publik sedemikian rupa bahwa
peristiwa yang muncul seolah-olah dilakukan entitas lain (pihak
musuh/lawan), padahal untuk kepentingan sendiri. Semacam deception atau penyesatan. Kegiatan ini dapat dilakukan tidak terbatas dalam masa perang dan kontra-pemberontakan saja, tetapi juga bisa dikerjakan pada masa damai. Tergantung situasi. Itukah penjelasan sekilas false flag operation. Seolah-lah bekerja sama dengan kita padahal demi kepentingan musuh!
Dan agaknya, kharakter topik keduanya baik tebaran isue oleh Assange maupun Snowden memiliki watak sama yakni adu domba (devide et impera).
Intinya selain menimbulkan gonjang-gonjing perpolitikan global, yang
utama adalah menciptakan kondisi "saling tidak percaya" serta kegaduhan,
baik kegaduhan sosial di internal negeri yang ditarget maupun kisruh
politik di antara negara-negara. Lebih janggal lagi, media-media massa
malah menggebyarkan 'kepahlawanan' keduanya, padahal seharusnya justru
merupakan tamparan bagi insan-insan media karena telah mengambil alih
tugas dan perannya, serta cermin atas kemalasan jurnalisme (lazy journalism).
‘Musim semi Arab’ atau Arab Spring misalnya, jelas akibat isue provokatif yang ditebar oleh Assange plus WikiLeaksnya via propaganda media mainstream
(arus utama) secara gegap gempita. Tak boleh dielak, bahan-bahan dasar
isue dimaksud memang riil nyata, baik bahan isue korupsi, pemimpin
tirani, isue tidak demokratis, dll. Maka timbulah ketidak-percayaan
rakyat terhadap para elit dan pemerintahan di negara-negara sepanjang
Jalur Sutera (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara). Muncul
benih-benih kegaduhan sosial politik di beberapa negara tersebut.
Dalam kajian asymmetric warfare, peran WikiLeaks sebenarnya hanya sekedar organ pengusung “isue” saja, sedang yang mengawaki “tema” lain lagi lembaganya. Dalam Arab Spring di Jalur Sutera misalnya, tema kolonial berupa gerakan massa tidak lagi dikendalikan oleh WikiLeaks, tetapi oleh Central Applied Non Violent Action and Strategies (CANVAS). Ia merupakan kepanjangan tangan National Endowment for Democracy (NED), LSM milik Pentagon spesial ganti rezim (lebih lengkap, baca: Apa dan Bagaimana Asymmetric Warfare Berlangsung, di www.theglobal-review, dan banyak lagi artikel lainnya).
Ya,
“skema” Barat di Jalur Sutera adalah tata ulang kekuasaan sebagai pintu
masuk dalam rangka penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA-nya. Dan pada
pagelaran Arab Spring, meskipun terlihat sukses menjatuhkan
Abdullah Saleh di Yaman, Ben Ali di Tunisia, Mobarak di Mesir, dan
lainnya, akan tetapi gagal menerjang Libya, Syria, dan lainnya
dikarenakan selain model kepemimpinan Moamar Gaddafi dan Bashar al Assad
yang berani dan independen, adanya dukungan kuat dari rakyatnya, juga
kedua negara tersebut tergolong makmur serta rakyatnya sulit diprovokasi
melalui isue-isue kacangan.
Akhirnya, gagal memprovokasi rakyat (Arab Spring),
Barat mengubah atau menaikkan kadar serangan asimetris menjadi
“pemberontakan bersenjata” atau perang sipil, baik di Libya maupun di
Syria (Baca: Mencari Motif Utama Serangan Militer Barat ke Syria di www.theglobal-review.com).
Ini hanya sekedar contoh. Catatan tambahan disini, bahwa isue Assange
pun ternyata gagal pula memprovokasi antara Cina versus Korut, juga tak
mempan mengadu domba antara Saudi Arabia melawan Iran.
Kembali ke Snowden, perannya ternyata tak berbeda dengan Julian Assange. Ia hanya sebatas penebar isue yang berwatak devide et impera.
Misalnya, membakar benih kebencian rakyat untuk dihadapkan dengan para
elit politik serta para pejabat negara dimaksud melalui isue-isue
korupsi, tidak demokratis, dll di internal negeri, atau mengadu domba
antara para pihak yang berkepentingan.
Pertanyaan menggelitik muncul, jika tebaran isue Snowden dalam telaah asymmetric warfare hanya permulaan belaka, lalu apa “tema” dan “skema” yang hendak ditancap di Bumi Pertiwi oleh Paman Sam, si pemilik hajatan?
Memetik hikmah (peristiwa politik global) terdahulu, pada
catatan ini mencoba merangkai dugaan, terutama terkait konstelasi
politik serta aroma perang yang akhir-akhir ini begitu semarak di Asia
Pasifik dan sekitarnya. Adapun hipotesa yang terbangun adalah: “bahwa AS
dan sekutu berkepentingan meletuskan Perang Dunia (PD) III guna
memulihkan kembali sistem ekonomi kapitalisnya yang cenderung bangkrut”.
Inilah premis kuat kajian ini. History repeat itself. Ya,
sejarah niscaya berulang, meskipun kemasan, waktu dan tempatnya tak
sama, akan tetapi esensi kronologisnya sering tidak berbeda.
Masih ingat great depression
(krisis ekonomi) yang menimpa Paman Sam era 1930-an? Berikut cerita
ringkasnya. Krisis diawali dengan kejatuhan Wall Street, akan tetapi 10
tahun kemudian ekonominya kembali bangkit setelah meletus PD II. Artinya
roda ekonomi dapat bergerak lagi setelah perusahaan-perusahaan Paman
Sam menerima banyak pesanan berbagai senjata, pesawat tempur dan
peralatan perang lain dari negara-negara yang terlibat peperangan.
Terjawab sudah kontradiksi atau paradoks selama ini, kenapa tatkala
Obama berusaha memulihkan ekonomi negara, justru militernya terkesan
menghambur-hamburkan uang dengan menebar peperangan di berbagai belahan
dunia? Ya, ada korelasi kuat antara perang dan modal. Perang memang
butuh modal, namun juga bisa menghabiskan modal itu sendiri. Modal ialah
alat utama memulihkan krisis ekonomi, dan salah satu upaya mencari
serta mengembalikan modal, yakni melalui peperangan.
Dan agaknya kepulihan great depression
tempo doeloe hendak dijadikan model oleh AS dalam rangka memulihkan
kembali sistem kapitalisme yang kini porak poranda. Inilah hipotesa yang
tak bisa dibendung serta dapat dijadikan asumsi utama guna melanjutkan
tulisan ini.
Keluar materi sejenak namun masih pada koridor topik. Agaknya isi pokok suratnya Hugo Chaves kemarin ---ketika masih menjadi Presiden
Venezuela--- kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
menggugah khalayak global untuk merenung sejenak. Ia menulis: "Ada
ancaman yang sangat serius terhadap perdamaian dunia. Sebuah seri baru
perang kolonial yang dimulai di Libya dengan tujuan jahat untuk
MEMULIHKAN SISTEM KAPITALISME global" (Lizzie Phelan, 2011). Tampaknya,
penggalan surat Chaves yang dicuplik oleh Phelan menginspirasi GFI,
pimpinan Hendrajit, mendiskusikan lebih dalam tentang apa dan bagaimana
ujud perang baru sesuai isyarat Chaves, karena launching “seri baru” kolonial dimaksud, menurut Chaves telah dilakukan oleh Barat di Libya.
Utang Dibayar Bom!
Maka mem-breakdown kembali tahapan peritiwa sebelum terbit Resolusi PBB Nomor 1973 tentang Zona Larangan Terbang (No Fly Zone) yang menjadi legalitas AS dan sekutunya (Nort Atlantic Treaty Organization/NATO)
membombardir Libya, seyogyianya harus dimulai ketika Gaddafi mencetak
uang emas/dinar. Inilah titik mula topik dalam diskusi terbatas di GFI,
Jakarta.
Gaddafi menyatakan, bahwa sistem transaksi minyak harus menggunakan dinar, bukan uang kertas (US Dollar) sebagaimana
lazim dilakukan. Hal ini membuat AS dan Uni Eropa kebakaran jenggot
sebab Barat berutang lebih USD 200 miliar atas minyak Libya. Ini serupa
dengan prolog tumbangnya Saddam Hussein, ketika ia menyatakan bahwa
setiap transaksi minyak harus menggunakan uero, bukan dolar AS seperti
biasanya. Sudah tentu, kebijakan politik Saddam membuat Bush Jr marah
besar dan berujung penyerbuan Irak oleh pasukan AS dan koalisi dengan
beragam dalih dan tuduhan (menyimpan senjata pemusnah masal, dll) yang
hingga Irak luluh lantak, ternyata tuduhan dimaksud tidak terbukti.
Selain dari pada itu, konsesi minyak korporasi-korporasi global milik
Barat kala itu akan berakhir tahun 2012-an di Libya. Ia mengatakan, jika
Barat tidak segera membayar utangnya maka konsesi baru akan diberikan
kepada perusahaan-perusahaan minyak milik Rusia dan Cina (http://libyasos.blogspot.com/). Tampaknya deadline tersebut membuat para pemilik korporasi minyak menjadi geram!
Sebagai
tambahan selain hal-hal di atas, analisa Hendrajit, Direktur Eksekutif
GFI, penyebab utama serangan Barat ialah kontra skema Gaddafi dalam
rangka menciptakan kemandirian ekonomi negara-negara Afrika yang dinilai
oleh Barat akan mampu merusak kepentingan para korporasi global dalam
menguasai kekayaan SDA di Benua Afrika (Baca: NATO Berambisi Lengserkan Muammar Khadafi Untuk Gagalkan Skema Ekonomi Mandiri Afrika, www.theglobal-review.com).
Maka dugaan kuat yang kencang bertiup adalah: “bahwa Perang Libya
sebenarnya merupakan hajatan korporasi-korporasi minyak raksasa milik
Barat”.
Selanjutnya, tatkala pola asymmetric warfare semodel Arab Spring
terbukti gagal dalam memprovokasi rakyat Libya sebagaimana suksesnya
(isue) provokasi Julian Assange di Yaman, Tunisia, Mesir, dll. Mengapa
gagal di Libya? Telah diurai sekilas di atas (Bag-3). Intinya, selain
kepemimpinan ala Gaddafi yang uniq namun “sejuk”, warganya ditengarai
makmur, sehingga tidak mudah terprovokasi oleh isue tak jelas. Maka
tatkala Arab Spring gagal “menggoyang” Libya melalui gerakan
massa ---mirip di Syria--- pola kolonial Barat pun diubah menjadi perang
sipil atau pemberontakan bersenjata. Gaddafi jeli. Ia memahami, bahwa
pemberontakan tersebut telah dilatih, dipersiapkan serta dibiayai oleh
asing. Tapi apa boleh buat, berbeda dengan Bashar al Assad yang tetap cool menghadapi
“perang sipil” ciptaan Barat, pada tahapan ini Gaddafi terpancing. Ia
kerahkan pesawat-pesawat tempur menghajar kaum pemberontak rekaan Barat.
Inilah blunder Gaddafi yang tidak bisa ditarik ulang, karena dari sisi
inilah celah humanitarian intervention marasuk, lalu terbit Resolusi PBB cq NATO terhadap Libya melalui pintu genocida. Ya, Gaddafi melakukan genocida terhadap rakyatnya! (Baca: Perampok Internasional dan Kisah Utang Dibayar Bom! www.theglobal-review.com).
Singkat
cerita, methode kolonial “seri baru” sebagaimana isyarat Chaves
ditandai oleh GFI dengan istilah “Utang Dibayar Bom”. Tak hanya itu,
model perampokan internasional pun terjadi, dimana aset-aset Gaddafi
miliran dolar di luar negeri “disikat” oleh Barat berkedok pembekuan
aset. Luar biasa! (Baca: Disertasi tentang Hipokritas
Humanitarian Intervention, Dina Y Sulaeman, http://dinasulaeman.wordpress.com/2011/09/22/perampokan-a-la-nato/ dan Perampokan ala NATO). Dan pointers diskusi
terbatas GFI (2012) pun merekomendasi negara-negara yang akan menjadi
sasaran berikutnya dalam penerapan seri baru kolonial yang kini tengah
dikembangkan oleh Barat.
Mengapa Geopolitik Bergeser?
Apabila jeli menyimak, sebenarnya geopolitical shift (pergeseran geopolitik) sudah dimulai sejak launching kebijakan luar negeri Paman Sam pada era Bush Jr yakni Project for the New American Century and Its implication
(PNAC) 2002. Terkait pergeseran dimaksud, dalam perspektif hegemoni AS,
salah satu paragraf kunci (tersirat) dari PNAC, bahwa negara-negara
yang berpotensi menjadi pesaing harus dibendung dan dilemahkan.
Dibendung dari luar, dilemahkan melalui sisi internal. Pantaslah
kebijakan hedging strategy (memagari) diterbitkan oleh AS, menggantikan containment strategy yang dinilai tak lagi relevan sebab komunis telah dianggap masa lalu oleh Barat.
Singkat
kata, tampaknya Cina dianggap AS sebagai kompetitor utama, karena
selain konsumsi BBM-nya separuh lebih di pasar dunia, juga kerapkali
mereka bersaing ketat dalam hal penguasaan sumber-sumber minyak di
berbagai belahan dunia.
Dengan
demikian, aura perang yang hampir memuncak di Selat Hormuz antara AS
melawan Iran dekade 2012-an, boleh disebut pemanasan belaka. Mahdi
Darius Nazemroaya, peneliti senior Central for Research Globalization
(CRG), Kanada, menyebutnya sebagai “perang kata-kata”. Maka memotret
perseteruan di Selat Hormuz kemarin, sejatinya adalah skenario kegagalan
perang yang telah direncanakan (Baca: Perang di Selat Hormuz: Kegagalan
yang Direncanakan, www.theglobal-review.com). Akan
tetapi meski cuma gertak sambal, terdapat peningkatan indek penjualan
industri pertahanan dan persenjataan secara signifikan sebesar USD 123
miliar (Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Swedia, www.darkgovernment.com)
dari industri strategis milik AS. Diperkirakan besaran angka tersebut
terus akan meningkat seiring memanasnya suhu politik global.
Tak boleh dipungkiri, bahwa Kawasan Heartland (Asia Tengah), Timur Tengah (World Island), terutama
kelompok negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC) adalah “pabrik dolar”-nya
AS, karena hampir semua transaksi minyak di Kawasan Teluk menggunakan
dolar Amerika. Bandingkan dengan beberapa negara yang telah mencampakkan
dolar di setiap transaksi, seperti Iran misalnya, atau Rusia, India,
Cina dan beberapa negara Amerika Latin. Dengan demikian, menyalakan api
perang di kawasan tadi, identik menghancurkan “dapur” Paman Sam sendiri.
Terutama Selat Hormuz, karena merupakan JALUR UTAMA bagi kapal-kapal
dari delapan negara produsen minyak di Teluk Persia (Arab Saudi, UEA,
Qatar, Bahrain, Oman, Kuwait, Irak dan Iran). Hampir setiap 10 menit
tanker-tanker berlayar membawa 40% minyak dunia, atau 90% ekspor minyak
dari negara-negara Teluk. Apa yang terjadi bila meletus perang di basis
produksi dan distribusi minyak dunia?
Perang SDA
Referensi lainnya, isyarat James Canton dalam “The Extreme Future”-nya,
bahwa peperangan masa depan tak lagi konvensional semacam perlombaan
teknologi perang misalnya, atau canggih-canggihan senjata, ketrampilan
person militer, dll tetapi pola berubah menjadi “perang SDA non minyak”,
terdiri atas perang pangan, air, perubahan iklim dan lain-lain. Oleh
karena itu, mapping peperangan kini dan kedepan bukan lagi
antara AS melawan Rusia, atau Paman Sam melawan Iran, Syria dan
lain-lain. Kelak yang berhadapan antara AS versus Cina dan India, dimana
Jepang serta Korea terlibat di dalamnya.
Kendati bukunya Canton menuai pro-kontra sebab ada propaganda isme tertentu,
namun setidaknya dapat dijadikan rujukan sementara, kenapa geopolitik
global bergeser dari Jalur Sutera ke Asia Pasifik khususnya di Laut Cina
Selatan. Maka wajar jika akhir-akhir ini, Paman Sam giat memprovokasi
negara-negara proxy-nya di Asia melalui isue sengketa perbatasan, termasuk pengerahan 60% armada lautnya di Asia Pasifik sesuai janji Obama (2012).
Memprakirakan
kondisi kedepan berbasis idenya Caton, sepertinya AS berkeinginan
melumpuhkan dahulu "lawan-lawan"-nya via taktik adu domba di
Laut Cina Selatan sebelum papan catur ---perang SDA--- dihamparkan oleh
momentum. Indikasi pun tercium. Ada gelagat hendak dibenturkannya Cina
dengan para kompetitor lain, terutama memprovokasi Cina versus Jepang
agar bertempur melalui isue sengketa Senkaku atau Diaoyu, kepulauan yang
diklaim oleh kedua adidaya.
Selaras
isyarat Chaves tentang seri baru perang kolonial dengan maksud jahat
memulihkan sistem ekonomi kapitalisme yang cenderung bangkrut,
seandainya benar-benar meletus perang (militer) terbuka antara Cina
melawan Jepang di sekitar Laut Cina Selatan, maka inilah skenario Paman
Sam memainkan modus “Utang Dibayar Bom” sebagaimana pernah ia terapkan
di Libya. Betapa total utang Paman Sam USD 17-an triliun, di antaranya
ke Cina sebesar 1,28 triliun, Jepang sekitar USD 1,14
triliun dan lain-lain, kemungkinan bakal “lunas terbayar”, atau
dikemplang tatkala luluh lantak kondisi kedua negara pasca Perang Dunia.
Bukankah utang Barat terhadap Libya sekitar USD 200 miliar, siapa kini
berani mengungkit apalagi menagihnya?
Prakiran politik global versi GFI mencatat, ada fenomena di
awal 2012-an yakni geliat Jepang dan Cina 'menolak US Dollar' dalam
setiap transaksi. Artinya perusahaan Cina dan Jepang bisa langsung
mengkonversi mata uangnya masing-masing tanpa mengkonversi ke dolar AS.
Inilah yang dicemaskan Paman Sam. Pengalaman Saddam Hussein yang
coba-coba mengubah transaksi minyak di Irak dari dolar menjadi uero,
atau Gaddafi yang hendak mencetak uang emas/dinar di Libya ---maka
dengan berbagai dalih--- berujung dengan luluh-lantaknya kedua negara
diserbu oleh AS dan NATO. Boleh ditebak. Pasca fenomena dimaksud, memang
timbul gelombang imitasi (meniru) ‘menolak dolar’ tak terkira sampai
kapanpun, dicontoh oleh negara-negara lain, entah karena snawball process alami.
Dan tampaknya kelompok Shanghai Cooperation Agreement (SCO)
dan BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan) terlihat
kompak mengurangi peran dolar di setiap transaksi. Indonesia tak mau
ketinggalan, pemerintah telah melakukan currency agreement
dengan Cina tanpa menggunakan dolar AS, tetapi memakai mata uang
masing-masing. Yuan dianggap kandidat uang global dengan semakin
memudarnya peran dolar. "Satu lagi kandidat muncul adalah
Yuan, Cina. Ini akan diperdagangkan dan menjadi mata uang global," ujar
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Difi Johansyah, dalam
pelatihan wartawan ekonomi dan perbankan di Bandung, Sabtu (7/12/2013).
Bagi AS, memprovokasi (devide et impera)
antara Cina versus Jepang agar meletus konflik terbuka (militer) ialah
keniscayaan, artinya selain menerapkan kembali modus “utang dibayar bom”
sebagaimana sukses di Libya, juga untuk membendung gelombang imitasi
menolak dolar dimana kedua negara sebagai pemrakarsa!
Gejolak Thailand: Asia (Tenggara) Spring, atau Kebangkitan Timur
Melingkar sebentar namun masih koridor topik. Sebelum melanjutkan bahasan terkait geopolitical shift
dari Jalur Sutera menuju Asia Pasifik, sebaiknya mengupas sedikit
gonjang-ganjing politik di Thailand, terutama upaya pihak oposisi
menurunkan Perdana Menteri (PM) Yinkluck Shinawatra. Pertanyaannya:
"adakah keterkaitan gejolak tadi dengan pergeseran geopolitik global?".
Hal ini yang hendak diperdalam.
Tak
boleh dipungkiri. Gejolak di Negeri Gajah Putih kini dipicu oleh
kebijakan pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Amnesti. Agenda UU
tersebut ialah pengampunan bagi siapapun petinggi Thailand yang terjerat kasus 2004-2010. Kuat disinyalir, bahwa konsep Amnesti sebagai siasat Yingluck mengembalikan kakaknya, Thaksin Shinawatra, PM 2001-2006 yang terjungkal oleh kudeta militer dan hingga sekarang hidup di pengasingan.
Secara
politis, rakyat Thai terbelah dua. Tatkala pegelaran melimpah di
jalanan, maka jenis massa terbagi atas kelompok “kaos merah” versus
“kaos kuning”. Kaos merah dikendalikan oleh Thaksin Shinawatra yang kini
entah di (pengasingan) London, Kamboja atau Dubai, hanya “proxy”-nya
memang terlihat eksis di berbagai elemen bangsa, karena terbukti
---meski Thaksin jatuh--- partainya (Thai Party) mampu memenangkan
pemilu tahun 2008 dan 2010, sehingga Yinkluck adiknya, menjadi PM.
Sedangkan
massa kaos kuning dalam kontrol Suthep Thaugsuban, Mantan Wakil PM
2011, Sekjen Partai Demokrat dan kini bermetamorfosa memimpin (oposisi)
Komite Reformasi Demokratik Rakyat, yang meng-“ultimatum” Yinkluck
supaya mundur dari kursi PM dan menyerahkan kepada Dewan Rakyat. Ia juga
memimpin Civil Movement for Democracy (CMD), dimana dalam
konferensi pers dinyatakan, bahwa Suthep tak akan berhenti berjuang
sebelum rezim Thaksin musnah dari Thailand.
Tidak
tanggung-tanggung, "Ia menghabiskan uang sekitar 5 juta baht per hari
(Rp 1,8 miliar) untuk membuat demonstran tetap ada di jalanan, pasti ada
orang-orang di belakangnya memberikan uang itu", kata Kan Yuenyong,
Direktur Eksekutif Siam Intelligence Unit, salah satu think tank di Thailand (South China Morning Post, Senin 1 Desember 2013). "Mereka
yang di belakang protes adalah orang-orang yang sama dengan kudeta 2006
lalu. Tak mungkin Suthep beraksi sendiri," ujar Yuenyong.
Dari mapping sementara,
Suthep bersama “kaos kuning”-nya terkesan ingin menegakkan Monarki
Konstitusional di Thailand sebagaimana diucapkan Ekanat, juru bicara
Komite Reformasi Demokratik Rakyat: "Dia akan berjuang dengan damai
sampai Thailand menjadi monarki konstitusional selengkapnya". Sedangkan
Thaksin lain lagi, meski didukung oleh masyarakat bawah, tetapi dibenci
elit tradisional, pebisnis besar, penasihat kerajaan, jenderal, dan
juga kaum kelas menengah. Selain masa lalu dan kiprahnya ketika menjadi
PM berorientasi kepada asing, ia terlihat kontra terhadap Sistem
Kerajaan di Negeri Gajah Putih. Inilah yang terjadi. Dan keduanya, baik
Suthep maupun Thaksin memiliki basis massa kuat dan meluas, serta
sama-sama militan.
Entah kaos kuning melawan
kaos merah, entah pihak yang pro dan kontra terhadap sistem monarki,
bukanlah persoalan penting bagi asing. Itu urusan internal. Termasuk
soal "lembek"-nya penanganan massa kuning oleh aparat keamanan setempat,
juga urusan internal negeri. Akan tetapi dari sisi asymmetric strategy
yang kini tengah dikembangkan oleh Barat, kondisi aktual di Thailand
ini merupakan “titik kritis” yang sewaktu-waktu dapat diletuskan. Bisa
dibelah. Ini yang mutlak diwaspadai. Setiap saat pun bisa diciptakan
huru-hara di Thailand, sebab bahan bakarnya (titik kritis) memang riil
nyata dan akut.
Tetapi tulisan ini tidak akan membahas, apakah Suthep murni berhasrat menegakkan local wisdom
leluhur (monarki konstitusional)-nya, atau sekedar menjalankan skenario
“titipan asing” yang ingin destabilisasi negara karena berbagai
kepentingan mereka akan terlindungi dengan timbul konflik internal?
Memang masih memerlukan kajian panjang. Tetapi jika menelisik track record Suthep ternyata bukanlah sosok yang bersih. Tak sedikit catatan hitamnya.
Berbagai
penyimpangan bahkan pelanggaran pekem konsitusi pun dilakukan oleh
Suthep baik saat menjadi Wakil PM, anggota parlemen, dll. Misalnya, ia
terlibat korupsi tahun 1995, oleh sebab memberikan tanah hak orang
miskin kepada keluarga kaya di Pukhet; ia pernah dipaksa mundur dari
parlemen dekade 2009-an atas tuduhan melanggar konstitusi karena
memiliki saham di perusahan media yang mendapat konsesi dari pemerintah;
ia turut pula memainkan peran dalam kerusuhan berdarah di Bangkok tahun
2010, sehingga mengakibatkan jatuhnya pemerintahan dan sekitar 92 orang
meninggal; dan pada Oktober 2012, Suthep juga didakwa
Kejaksaan Agung atas dugaan mengeluarkan perintah yang memungkinkan
militer menembaki para pengunjuk rasa, dan lain-lain.
Pertanyaannya ialah: apakah gejolak politik di Thailand ini merupakan KEBANGKITAN TIMUR, atau titik mula Asia Spring sebagai reinkarnasi Arab Spring yang ‘gagal’, terkait berubahnya geopolitik global dari Jalur Sutera ke Asia pasifik?
Menyimak, mencermati dan menarik benang merah ketegangan
(hubungan) diplomatik antara Indonesia – Australia, serta menelaah
dampak sosial politik di kedua negara akibat bocoran Edward Snowden
terkait penyadapan yang dilakukan oleh jajaran intelijen Aussie terhadap
beberapa petinggi di republik ini, ada beberapa pointers bisa dijadikan simpulan, antara lain ialah:
Pertama,
bahwa isue “bocoran dan penyadapan” bukanlah faktor tunggal yang
berdiri sendiri, tetapi hanya bagian dari skenario yang hendak dimainkan
oleh Paman Sam terkait pergeseran sentral geopolitik dari Jalur Sutera
menuju Asia Pasifik;
Kedua, jika ketegangan hubungan antara Indonesia -
Aussie diibaratkan sebuah (panggung) pembuka, maka peran Edward Snowden
hanya “wayang” semata , sedang “dalang”-nya yakni Aussie dan Singapura,
sementara “pemilik hajat”-nya justru Paman Sam;
Ketiga, bahwa aktivitas Snowden merupakan false flag operation
(operasi bendera palsu) Paman Sam, kelanjutan operasi rahasia yang
pernah dijalankan oleh Julian Assange plus WikiLeaks. Fungsinya hanya
pembuka pintu saja. Langkah berikut, apakah digelar asymmetric warfare atau symetric warfare sebagai lanjutan, maka tergantung kondisi di lapangan. Dalam Arab Spring misalnya, peran Assange cuma penebar isue (provokasi);
Keempat,
sebagaimana watak isue (Assange) WikiLeaks di Jalur Sutera, tebaran
isue (bocoran) Snowden pun memiliki watak yang sama, yakni devide et impera.
Memecah belah dari sisi internal. Artinya, selain mengadu domba antara
rakyat dengan para elit penguasa, atau menimbulkan suasana saling tidak
percaya, ataupun berefek “hancur”-nya RASA KEPERCAYAANAN rakyat terhadap
para pemimpin akibat blow up terus menerus kasus korupsi oleh media, dan isue-isue dimaksud, sengaja menciptakan gonjing-ganjing politik di kawasan target;
Kelima, maka jangan diharap akan ada permintaan maaf secara resmi dari Australia, oleh sebab selain kharakter ausignares yang
dianut pemerintah Aussie, sikap Tony Abbott dalam hal ini hanya
‘menunggu perintah’ guna memainkan skenario lanjutan dari pemilik
hajatan;
Keenam, menganalogikan pengalaman manuver Barat (AS dan sekutu) di Jalur Sutera melalui sinergi antara hard power (militer) dan smart power (gerakan massa), manuver di Asia Pasifik pun tampaknya tak akan jauh berbeda. Artinya, ia juga akan gunakan hard power
melalui adu domba antara Cina versus kelompok “proxy”-nya seperti
Jepang, Korsel, Taiwan, Philipina, dll, via modus ‘utang dibayar bom’.
Sedangkan destabilisasi kawasan-kawasan lain, dalam hal ini termasuk
Indonesia ialah melalui smart power, atau gerakan massa, atau istilah populernya asymmetric warfare.
Singkat
kata, perubahan sentral geopolitik yang digeser oleh Paman Sam dari
Jalur sutera menuju Asia Pasifik terutama di Laut Cina Selatan dan
sekitarnya, membawa konsekuensi logis tak terelakkan, artinya kawasan
target dan sekitarnya niscaya menjadi proxy war (medan tempur) baik dalam ujud symmetric warfare (peperangan militer) maupun asymmetric warfare (peperangan non militer, gerakan massa, dll).
Rekomendasi
Menyudahi catatan tak ilmiah ini, tanpa
bermaksud menggurui siapapun, terlebih kepada pihak yang lebih ahli,
berkompeten dan berkepentingan, penulis ingin memberikan sumbang saran
pemikiran. Seandainya dijumpai perbedaan pendapat, persepsi dan
lain-lain maka anggaplah sebagai kewajaran yang perlu didiskusikan lebih
dalam tanpa perlu syak wasangka, atau kewaspadaan, apalagi sampai
bersikap saling curiga. Kenapa demikian, tak ada niatan apapun selain
hal-hal yang disampaikan demi kebaikan bersama dalam rangka menegakkan harga diri bangsa dan kedaulatan negara, dan utamanya, guna mempompa benih semangat KEBANGKITAN NUSANTARA di dunia internasional.
Apa hendak dikata. Rekomendasi ini tidak bersifat teknis dan taktis, tetapi merupakan garis besar saja. Antara lain:
Pertama, kita tak perlu menanggapi atau terpancing untuk bermain symetric (militer) dengan pihak Aussie tetapi cukup melalui asymmetric strategy, misalnya menghentikan bentuk kerjasama di segala bidang;
Kedua,
putuskan semua jenis impor baik gula, garam, daging, dan lain-lain,
karena secara geopolitik, sesungguhnya Aussie merasa cemas bila terputus
hubungan sebab hampir 80% APBN-nya tergantung republik ini. Indonesia
itu buffer zone bagi Aussie, selain merupakan pasar bagi
komiditi ekspornya, juga kapal-kapal dan kontainernya hilir mudik
membawa barang ekpor-impor melalui perairan Indonesia. Maka jika diputus
segala impor Aussie, atau ditutup semua perairan kita terutama
“selat-selat” lintasan, maka akan “terbakar” Australia, terbakar dari
sisi internal dengan maraknya gejolak sosial akibat hilangnya pasar,
pekerjaan dan lintasan distribusi dari komoditinya;
Ketiga, sesekali perlu dilakukan test case atas pemberdayaan geopolitical leverege
yang melekat sebagai “takdir” republik ini, berupa penutupan Selat
Lombok dalam jangka tertentu untuk Latihan Gabungan (Latgab) TNI-Pori
dalam rangka memerangi terorisme, separatisme, illegal logging, illegal fishing, dan lain-lain.
Terimakasih.
Bacaan, Link dan Butiran Diskusi:
- The Global Review, The Journal of International Studies, Indonesia, Rusia, dan G-20, 3 Mei 2013, Buku –
-
The Global Review, The Journal of International Studies, Merobek Jalur
Sutera Menerkam Asia Tenggara, 2 Januari 2013, Buku ---
-
Dirgo D. Purbo, “Energy Security” dalam Konteks Kepentingan Nasional
RI, disampaikan pada Forum Duta Besar RI (FDB-RI), di Pusdiklat KEMLU
RI, Jakarta, 24 Januari 2012, Makalah –
- Thailand: Regime is not “Democratically Elected”, Wall Street’s Proxy Government,
http://www.globalresearch.ca/thailand-regime-is-not-democratically-elected-wall-streets-proxy-government/5360153
- Thailand’s Thaksin Regime and The Cambodian Connection,
http://www.globalresearch.ca/thailands-thaksin-regime-and-the-cambodian-connection/5360470
- Project for the New American Century, http://en.wikipedia.org/wiki/Project_for_the_New_American_Century
- False Flag, http://www.wanttoknow.info/falseflag
- Containment Strategy, http://www.thefreedictionary.com/Containment+strategy
-Perang China-Jepang Semakin Dekat? http://www.tribunnews.com/tribunners/2013/01/16/perang-china-jepang-semakin-dekat
- Begini Peran Singapura dalam Penyadapan Australia, http://www.tempo.co/read/news/2013/11/25/118532192/Begini-Peran-Singapura-dalam-Penyadapan-Australia
- NKRI Sudah Terkepung 13 Pangkalan Militer AS, http://pediakita.com/nkri-sudah-terkepung-13-pangkalan-militer-amerika-serikat.html
- Kekuatan Militer Indonesia Peringkat 15 Dunia, http://pediakita.com/kekuatan-militer-indonesia-peringkat-15-dunia.html
- Politik Ausignares, http://www.theglobal-review.com
- Hakekatnya Australia Memecah Belah dan Menjajah Nusantara, http://www.rimanews.com/read/20131124/128244/hakekatnya-australia-memecah-belah-dan-menjajah-nusantara#.UpLrxcjcaD0.facebook
- Singapura Turut Bantu Australia Sadap Indonesia,
http://forum.tribunnews.com/showthread.php?7245969-Singapura-Turut-Bantu-Australia-Sadap-Indonesia&p=9314038#post9314038
- SBY di Ujung Tanduk, Australia Serahkan Data Korupsi Pada KPK
http://m.voa-islam.com//news/indonesiana/2013/11/22/27728/sby-di-ujung-tanduk-australia-serahkan-data-korupsi-pada-kpk/
- Dua Sayap Operasi Intelijen Mencengkeram Indonesia, Salamudin Daeng, http://pesatnews.com/read/2013/11/19/37951/dua-sayap-operasi-intelijen-mencengkeram-indonesia
- Modus dan Seri Baru Perang Kolonial, Waspada Buat Indonesia, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=6491&type=4#.UpgM0idjI_p
- Australia Tekan Indonesia Masalah Papua, http://www.suarapembaruan.com/home/australia-tekan-indonesia-masalah-papua/45796?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter
- Keterkaitan Friksi Soal ADIZ dan Alih Strategi AS di Asia Timur, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14051&type=1#.UpwHQSdjI_o
- Media China desak tindakan balasan terhadap pesawat Jepang, http://www.antaranews.com/berita/407289/media-china-desak-tindakan-balasan-terhadap-pesawat-jepang
PERANG ASIA TIMUR RAYA JILID II, http://www.kaorinusantara.web.id/forum/showthread.php?t=15467
- Jumlah Sadapan Telepon Badan Keamanan Nasional (NSA) AS Terhadap Beberapa Negara Sekutu, http://theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14071&type=123#.Up2kYCdjI_o
- 5 Negara Pemberi Utangan Terbesar ke Amerika Serikat, http://palembang.tribunnews.com/2013/10/19/5-negara-pemberi-utangan-terbesar-ke-amerika-serikat
- Inilah Pemberi Hutang Terbesar AS, http://revo4me.wordpress.com/2012/02/02/inilah-pemberi-hutang-terbesar-as/
- Jepang – Cina di Ambang Perang, http://jakartagreater.com/lcs/
- Perluas Zona Pertahanan Udara, China Dikecam Jepang & Korsel, http://international.okezone.com/read/2013/11/25/413/902194/perluas-zona-pertahanan-udara-china-dikecam-jepang-korsel
- Demonstran Diizinkan Masuk ke Markas Polisi, http://www.tempo.co/read/news/2013/12/03/118534301
- Parlemen Thailand Akan Gelar Mosi Tidak Percaya, http://www.tempo.co/read/news/2013/11/28/118533066/Parlemen-Thailand-Akan-Gelar-Mosi-Tidak-Percaya
- Partai Demokrat, http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Demokrat_%28Thailand%29
- "Prakiraan Politik Global 2012 Versi GFI", http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=6875&type=4#.UqLsGidjI_o
- Perang Ekonomi Melawan Hegemoni Barat, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=14115&type=6#.UqLt5ydjI_o
- PM Abbott Tolak Hentikan Spionase, SBY Diminta Usir Diplomat Australia, http://news.detik.com/read/2013/12/08/064715/2435499/10/2/pm-abbott-tolak-hentikan-spionase-sby-diminta-usir-diplomat-australia
- Suthep Thaugsuban, `Dalang` (Atau Wayang) Rusuh Panas Thailand, http://news.liputan6.com/read/762338/suthep-thaugsuban-dalang-atau-wayang-rusuh-panas-thailand
- Thaksin Shinawatra Pro dan Kontra (Thailand), http://sona-adiansah.blogspot.com/2013/12/thaksin-shinawarta-pro-kontra-thailand.html
- Kompleks Pemerintahan Thailand Jadi Kubu Pertahanan Suthep, http://www.aktual.co/internasional/211705kompleks-pemerintahan-thailand-jadi-kubu-pertahanan-suthep
- Suthep and the rewriting of history, http://politicalprisonersofthailand.wordpress.com/2013/04/21/suthep-and-the-rewriting-of-history/
- Suthep Thaugsuban, http://en.wikipedia.org/wiki/Suthep_Thaugsuban
- Rakyat Amerika Serikat Makin Melarat Kapitalisme Bangkrut.
Ini Faktanya, http://www.rimanews.com/read/20131209/130756/rakyat-amerika-serikat-makin-melarat-kapitalisme-bangkrut-ini-faktanya
- Thaksin Shinawatra, http://id.wikipedia.org/wiki/Thaksin_Shinawatra
- Pointers Diskusi di Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit
- Pointers Diskusi di Forum BBM KENARI (Kepentingan Nsional RI), pimpinan Dirgo D. Purbo
Sumber : https://www.facebook.com/marief.pranoto/notes