Recent Posts

settia

Pandangan Max Weber dan Karl Max Tentang Agama, Kapitalisme dan Demokrasi

Pandangan Max Weber dan Karl Max Tentang Agama

Wacana agama menjadi penggalan pendek dari garis sejarah peradaban panjang umat manusia. Banyak sekali terjalin antara hubungan agama dengan kaitannya aspek-aspek lain. Dan dalam hal ini Agama berperan penting dalam perubahan sosial masyarakat dunia dalam kurun waktu yang cukup lama.
Hubungan agama dengan negara; hubungan islam dengan demokrasi; islamisasi ilmu atau hindunisasi ilmu; ekonomi islam; kebangunan islam; fundamentalisme agama dan pembaharuan pemikiran bisa jadi merupakan daftar asesoris dari wacana hubungan panjang dan (mungkin) tidak pernah selesai antara agama dengan perubahan social di masyarakat tersebut. Hubungan tersebut dibangun dari rumusan pertanyaan dan ragam tesis mengenai letak agama dalam perubahan social.
Kemajuan sebuah masyarakat, seperti telah disinggung di atas pada dasarnya ditandai semakin melebarnya deferensiasi struktural dibarengi ketajaman spesialisasi, sekaligus homogenisasi budaya. Pada derajat tertentu realitas kemajuan yang digambarkan ini bersifat antagonis, dengan berkembangnya perbedaan agama yang membengkak.
A. Pandangan Max Weber
Pandangan Weber mengenai etika ekonomi agama-agama dunia memiliki karaktersitik non-historis , karena merupakan upaya untuk mengelompokkan berbagai etika agama ke dalam kerangka uniter dan sistematik yang tidak mengetahui pembangunan. Dalam semua ketegasannya terlihat kemampuan Weber untuk mereduksi transisi-transisi logis, konsekuensi-konsekuensi praktis dan teoritis melalui mana suatu agama. Di sini kebudayaan memiliki karakter bentuk-bentuk geometris yang terisolir dan nyaris tidak bisa ditembus yang dibangun dengan koherensi dan rasionalitas sesuai dengan formula yang berbeda-beda.

Akan tetapi bagi Weber, studi tentang agama-agama asketis adalah Agama Budha, yang paling radikal di antara agama-agama ini, membebaskan manusia dari lingkaran abadi kematian dan kelahiran kembali, melalui kontemplasi dan kehancuran kehendak individu. Akibatnya, ia mempresentasikan tipe asketisme yang secara diametral bertentangan dengan tipe Calvinis. Orang mungkin berpendapat bahwa melalui penyelidikan tentang tradisi inilah tentang asal-usul semangat kapitalisme dalam kebutuhan psikologis untuk konfirmasi terbukti tidak valid.
B. Pandangan Karl Max
Dikatakan oleh Marx bahwa dalam agama tidak ada bentuk realisasi diri yang sesungguhnya. Hal ini karena dalam agama manusia hanya boleh tunduk dan tidak terbuka bagi dialog yang memberikan kemungkinan bagi setiap individu untuk mengekspresikan dirinya. Agama tidak mengembangkan jati diri manusia secara utuh, karena manusia hanya tergantung pada otoritas semu yang diciptakannya sendiri.
Menurut Marx agama yang hanya mampu menghukum pemeluknya, pastilah agama ciptaan kaum kapitalis untuk menindas dan ‘meninabobokan’ orang-orang kecil dengan doktrin-doktrin kesalehan. Di mana dalam doktrin itu orang diharuskan hidup saleh dengan olah tapa yang berat dan menerima penderitaan dengan sukarela agar dapat memperoleh kemenangan di surga.
Jelas bahwa Marx melihat dalam tindakan agama semacam itu orang sangat tergantung pada ciptaannya sendiri. Manusia tidak otonom. Manusia harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang telah dibuatnya sendiri. Marx mengatakan bahwa dalam proses produksi setiap pekerja akan sangat dekat barang yang sedang dibuatnya, sehingga ia dengan leluasa dapat menyentuh dan memperlakukannya. Tetapi ketika barang itu berpindah tangan, sang pekerja itu tidak lagi berkuasa atas barang itu.
Dalam agama, menurut Marx, ketika manusia masih hidup sebagai makhluk yang bebas –tanpa agama- ia dengan leluasa dapat membuat aturan-aturan, sanksi, ritus dan lain-lain; tetapi ketika ia masuk dan mulai meyakini suatu agama, manusia kemudian tunduk dengan aturan dan ritus yang dibuatnya sendiri.
Di samping itu juga, Marx melihat bahwa agama memberikan pembebasan dari penindasan yakni dengan sikap pasrah. Inilah yang disebut oleh Marx sebagai sifat fetisisme dengan merujuk pada benda-benda material yang memiliki kekuatan supranatural. Marx mengatakan bahwa fetisisme agama itu muncul ketika ilusi-ilusi dalam kehidupan diangkat menjadi doktrin yang mau tidak mau harus ditaati oleh setiap individu. Fetisisme ini akan melahirkan apa yang disebut oleh Marx sebagai ‘harapan semu orang tertindas.’ Fetisisme agama membuat masyarakat tidak mampu bergerak dengan leluasa untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman kemiskinan.
Mengenai pendapat kedua tokoh tersebut, disini akan diterangkan persamaan, perbedaan, keunggulan serta kelemahan tentang Max Weber dan Karl Marx. Dan disini akan diterangkan sebagai berikut.
C. Persamaan
Persamaan dari kedua tokoh tersebut dalam hubungannya tentang agama dan perubahan social, ialah agama sebagai suatu ideology. Agama mempengaruhi system-sistem dalam masyarakat mengenai ekonomi.
D. Perbedaan
Perbedaan pandangan agama menurut Tokoh Max Weber ialah memandang bahwa agama merupakan sebagai kelas. Weber menunjukkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran rasional akan keuntungan ekonomi dan aktivitas duniawi yang telah diberikan arti rohani dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari ide-ide keagamaan, melainkan lebih merupakan sebuah produk sampingan – logika turunan dari doktrin-doktrin tersebut dan saran yang didasarkan pada pemikiran mereka yang secara langsung dan tidak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan-diri dalam pengejaran keuntungan ekonomi.
Perbedaan pandangan menurut Karl Marx, menurut Aforisme Marx yang cukup terkenal prihal agama ialah "agama adalah candu dari masyarakat". Sebenarnya, Marx tidak banyak menulis tentang agama sebagai ideologi, melainkan ia melihat dari perspektif sosio historiografis masyarakat yang menjadikan agama sebagai praktik pembenaran sepihak tanpa implementasi lebih lanjut dalam praktik kehidupan.
E. Keunggulan
Pendapat Weber tentang agama dan menjelaskan tentang ajaran Protestan adalah merupakan hal positif karena sesuai dengan sifat dasar manusia yang logis atau rasional dalam berbagai aspek kehidupan.
Pendapat Karl Marx tentang agama ialah Agama berfungsi mengatur nilai-nilai di dalam sebuah komunitas / masyarakat. Marx menggarisbawahi bahwa agama tidak merupakan hanya gejala sekunder keterasingan manusia.
F. Kelemahan
Titik fokus dalam kajian Weber pandangannya terlalu terpaku pada budaya barat dengan agama Protestan sebagai kajian utamanya.
Sedangkan Karl Marx terlalu menganggap agama sebagai candu. Terlalu mencampuri Pemerintahan sebagai tamengnya adalah Agama.
Pandangan Karl Marx dan Max Weber mengenai Kapitalisme



Berbicara mengenai Kapitalisme, sekarang sudah semakin merambah ke segala hal, dimana terdapat pencarian keuntungan dan kesejahteraan yang terdapat pada setiap diri manusia, karena pada hakikatnya manusia menginginkan kebahagiaan dan kesejahteraan. kebahagiaan dan kesejahteraan tersebut akan diperoleh apabila seseorang tersebut memiliki suatu barang untuk memenuhi semua kebutuhannya, maka seseorang yang telah merasakan kebehagiaan atau kesejahteraan secara kodrati manusia akan mempertahankan bahagiaan tersebut. Hal yang bisa dilakukan untuk mempertahankan kesejahteraan adalah bagaimana agar semua hal yang dimiliki akan terus bertambah dan tak pernah habis.
Setiap orang tidak bisa lari dari kenyataan bahwa segala sesuatu yang sedang dan akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan adalah suatu hasil dari kapitalisme, maka kepitalisme menarik untuk dikaji dan ditinjau dari pendapat ahli yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan social kemasyarakatan yaitu pandangan Karl Mark dan Max Weber mengenai kapitalisme, mengingat kedua tokoh itu sangat respon terhadap masyarakat yang menjadi pusat kajiannya.
Max Weber[1] menyatakan bahwa semanngat Kapitalisme adalah perolehan uang sebanyak-banyaknya dikombinasikan dengan menghindari secara ketat menikmatinya sama sekli secara sepontan….
Demikian Weber menjelaskan semangat kapitalisme dengan cara bekerja mencari uang dan keuntungan yang sebanyak-banyaknya, tetapi keuntungan tersebut tidak digunakan secara langsung untuk konsumsi atau untuk kenikmatan pribadi semata. Dalam hal ini Max Weber mengaitkan perkembangan kapitalisme dengan semangat kerja Protestan menggerakkan orang untuk kerja keras, tekun, efisien, dan berprestasi karena perolehan kesuksesan duniawi diartikan sebagai tanda keselamatan dari tuhan.
Menurut Weber bentuk lain dari kapitalisme semuanya didapatkan dalam masyarakat-masyarakat yang ditandai secara khas oleh tradisionalisme ekonomi. Majikan-majikan kapitalisme modern yang memperkenalkan metode-metode produksi kontemporer kedalam komunikasi-komunikasi yang belum pernah mengenal metode-metode sebelumnya
….Pekerja tradisional tidak berpikir dalam konteks untuk berusaha meningkatkan upah hariannya setinggi mungkin, dia lebih memikirkan berapa banyak pekerjaan yang harus ia lakukan agar gisa memperoleh penghasilan yang bisa menutupi kebutuhan mereka.
Dalam hal ini kapitalisme dipandang sebagai suatu ide yang mengenalkan suatu metode baru yang sesuai dengan keadaan masyarakat pada saat itu, majikan atau kaum borjuis digambarkan bukan sebagai seorang antagonis seperti yang di katakana oleh Karl Marx melainkan seorang yang samasekali bertolak belakang dengan ketamakan untuk memperoleh kekayaan, dan saling berbagi dengan kaum pekerja dalam mencari penghasilan dengan bekerja di perusahaan-perusahaan kaum borjuis.
Sedangakan Kapitalis menurut Karl Marx[2] memiliki ciri khas yaitu adanya produksi komoditi, alat produksi dimiliki oleh pribadi, produksi untuk memaksimalkan keuntungan, dan kehendak untuk menumpuk kekayaan.
Kapitalis dijelaskan oleh Marx adalah para borjuis yang mengekploitasi atas pekerja. Karena dalam kapitalisme, hubungan antara para pengusaha atau yang menciptakan lapangan kerja dengan kaum pekerja atau buruh terhalang, disebabkan pengusaha yang menciptakan buruh itu terikat pula dengan kaum pemilik modal yang memiliki buruh/pekerja itu sendiri. Dengan kata lain hasil karya dari pekerja/buruh itu yang seharusnya menjadi milik pekerja itu sendiri, sekarang tidak lagi dimiliki oleh para pekerja melainkan dimiliki oleh kaum pemilik modal. Dengan demikian berarti para pengusaha digambarkan sebagai pemilik kaum pekerja, sehingga apa yang dihasilkan oleh pekerja adalah milik pemilik modal yaitu Pengusaha/kaum borjuis. Dengan dianggapnya para pekerja adalah milik pemilik modal maka pemilik modal akan memanfaatkan dengan sebaik mungkin para pekerja untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar besarnya meskipun pekerja tidak mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang dihasilkan oleh pemilik modal
Dengan adanya pemisahan kelas antara pemilik modal dan para pekerja maka terciptalah kesenjangan atau ketidak adilan, dimana kaum pekerja mendapatkan imbalan tidak layak atau tidak sesuai dengan apa yang dihasilkan, hal ini akan menambah penderitaan kaum buruh karena tidak mampu membeli kebutuhan karena keterbatasan upah. Sebaliknya kaum pemilik modal mendapatkan keuntungan yang besar. Keuntungan tersebut tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki. Pemilik modal memperluas pemasaran hasil produksi, sehingga terjadi persaingan antar pengusaha dan berakibat pada kaum buruh dimana para pekerja dipaksa untuk menghasilkan barang sebanyak dan sebaik mungkin.
Dari pendapat kedua tokoh tersebut maka dapat dilihat adanya persamaan, perbedaan, dan keunggulan serta kelemahan dari masing-masing pendapat tokoh tersebut di atas.
Persamaan
Persamaan dari pendapat kedua tokoh tersebut adalah mereka adalah ciri kapitalisme, menurut Max Weber ciri khas dari kapitalisme adalah suatu kombinasi dari ketaatan kepada usaha dan memperoleh kekayaan serta keuntungan yang tidak digunakan untuk konsumsi melainkan dikumpulkan untuk meneruskan kegiatan ekonomi. Hal tersebut juga dijelaskan dalam cirri khas kapitalisme menurut Karl Mark yaitu produksi untuk memaksimalkan keuntungan dan kehendak untuk menumpuk kekayaan atau akumulasi capital.
Perbedaan
Perbedaan pandangan menurut kedua tokoh diatas adalah Weber memandang kapitalisme yang merupakan bagian ajaran dari Protestanisme mengajarkan “Bekerjalah sekuat tenaga, tapi nikmati hasilnya sesedikit mungkin.” Inti dari ajaran tersebut itu berjalan secara terbalik: maksimalitas kapitalisme hanya mungkin dinikmati apabila diikuti dengan penekanan atas penikmatannya. Menurutnya kerja atau penderitaan didahulukan sebagai prasyarat bagi kenikmatan,
Sedngkan menurut Marx, kombinasi kerja dan kenikmatan ini dipisahkan dalam bentuk antagonisme kelas. Kerja digambarkan dan diperuntukkan kepada kelas buruh yang bekerja tanpa memperolh kenikmatan dalam hidupnya, sementara kenikmatan (yang merupakan hasil jerih payah dari kerja buruh) dinikmati secara sepihak oleh kelas kapitalis. Akibatnya, logika yang berlaku di sini adalah “buruh bekerja sekuat-kuatnya, pemilik modal menikmati sepuas-puasnya“.
Keunggulan
Pendapat Max Weber mengenai kaitannya kapitalis dan ajaran protestan yang telah dijelaskan di atas adalah merupakan hal yang positif karena sesuai dengan sifat dasar manusia yang rasional dalam menjalankan kehidupannya.
Pendapat Karl Marx mengenai kapitalis yang intinya adalah penindasan kaum pemilik modal terhadap kaum buruh memberikan solusi terhadap terciptanya keadilan bagi kedua golongan tersebut serta terjadinya kesepakatan-kesepakatan yang akhirnya akan saling menguntungkan (dialektika).
Kelemahan
Pandangan Max Weber mengenai kapitalisme intinya brekerja dengan sekuat tenaga dan menikmati hasil dari keuntungan tersebut agar dinikmati hasilnya sedikit mungkin menyebabkan penekanan atas kenikmatan yang akan memberikan efek penumpukan kekayaan oleh kaum borjuis atau akumulasi capital, hal tersebut memberikan angin segar terhadap lahirnya kapitalis-kapitalis di masa sekarang.
Sekangkan Karl Marx hanya memandang kapitalisme dari sudut pandang kaum borjuis pemilik modal perusahaan yang menindas kaum buruh, padahal kapitalisme bukan hanya sekedar berada dalam pemilik modal perusahaan. Dan pada perkembangannya kapitalisme juga lebih menghargai kaum buruh dengan mengadakan kesepakatan antara pemilik modal dan kaum buruh.

Pandangan Karl Mark dan Max Weber Tentang Demokrasi


Demokrasi merupakan sebuah system sosial yang muncul dari suatu proses sejarah manusia yang membawa dirinya kedalam sebuah kelompok dan mengatur pembagian kekuasaan didalamnya. Sejak runtuhnya uni soviet, demokrasi dianggap sebagai sebuah system yang ideal yang dapat mengatur masyarakat dengan lebih adil dan mendorong kepada kesejahteraan juga sebagai system politik yang dinamis dan secara internal sangat beragam. Proses demokrasi yang dianggap ideal adalah proses ketewakilanseluruh masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Model yang dianggap ideal dalam pemahaman ini adalah model demokrasi lansung, seperti konsep klasik polis Athena yang dianggap tidak akan dimungkinkan untuk dilaksanakan dalam kondisi Negara besar dan dalam kondisi Negara yang memiliki jumlah penduduk jutaan.
Pemahaman kendala demokrasi langsung menyebar sebagaimana pemahaman akan demokrasi menyebar di seluruh dunia saat ini. Demokrasi yang akan dibahas adalah demokrasi menurut pandangan dua tokoh yaitu Karl Mark dan Max Weber, kedua tokoh ini menarik untuk dibahas karena menimbulkan pandangan yang kontrofersional antara keduanya.
Karl Mark yang merupakan pelopor pemikir radikal yang menghendaki hilangnya Negara dan munculnya Negara demokrasi langsung. Demokrasi digolongkan menjadi demokrasi borjuis dan demokrasi ploretal. Menurut Marx sistem demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni serta mampu mengartikulasikan kepentingan kaum proletar.


Negara dianggap sebagai “panitia eksekutif kaum burjuis” dan alat yang dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan dan digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di bawah sebuah diktator proletariat. Demokrasi borjuis juga bukan ditujukan untuk membela apa yang disebut “kepentingan umum”, tetapi bahwa Negara borjuis secara jelas mewakili sebuah alat untuk mempertahankan kepentingan capital melawan kelas pekerja. Disini hanya kaum borjuis yang memiliki hak untuk memilih. Hanya borjuis yang dapat dengan bebas menolak mempekerjakan pekerja. Hal itu memperjelas bahwa Negara yang dianggap demokratik diatas kelas-kelas kaum borjuis.
Menurut Marx Negara kelas pekerja atau Negara proretar adalah pengganti atas Negara borjuis yang pas untuk menggambarkan Negara yang demokrasi karena Negara proletar akan meluaskan demokrasi langsung, jadi demokrasi tidak hanya dimiliki oleh kaum minoritas borjuis, menciptakan basis material bagi semua pelaksanaan kebebasan demokrasi untuk semua.
Max Weber menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Beliau mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses perubahan masyarakat modern yang semakin terpisah menurut fungsi dan peran. Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang betul-betul mampu secara langsung mengakomodasi kepentingan rakyat. Menurut Weber, Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit.
Disini Weber mengungkapkan demokrasi adalah merupakan upaya penciptaan kepemimpinan politik efektif dalam masyarakat birokratis modern. Kondisi itu baru tercipta jika para pemilih, rakyat hanya memiliki sedikit pengaruh dalam pengambilan kebijakan. “Keengganan rakyat” dibutuhkan dalam pengertian bahwa kontrol terhadap demokrasi serta partisipasi dianggap tidak bisa tercapai dan tidak realistis. Karena itu, teori ini mengakui bahwa demokrasi akan bekerja dengan sempurna apabila di dalamnya masyarakat secara umum tidak berpartisipasi secara aktif dalam setiap pengambilan kebijakan. Selain itu, keengganan rakyat tidak dilihat sebagai hal buruk, malahan justru menjadi petunjuk bagi tingginya tingkat derajat kepercayaan terhadap pemimpin politik dan merupakan tanda kepuasan dasar dari pemilih dan cerminan “sehatnya demokrasi”.
1. Persamaan
Dari pandangan kedua tokoh di atas yaitu Max Weber dan Karl Marx terdapat kesamaan yaitu bahwa demokrasi diciptakan untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang diidam-idamkan.
2. Perbedaan
Pendapat Karl Mark demokrasi yang harus dijalankan adalah demokrasinya kaum proletar, yangmana kekuasaan tertinggi berada pada kaum mayoritas, bukan kaum minoritas borjuis yang berada di dalam parlemen suatu Negara. karena pemimpin politik yang duduk di pemerintahan hanya memikirkan bagaimana untuk mengontrol kaum proletar dan mempertahankan dan membela kaum borjuis bukan menampung aspirasi kaum buruh. Menurut Marx demoktasi haruslah berada sepenuhnya pada kediktatoran kaum proletar/buruh.
Pandangan demokrasi menurut Max Weber adalah demokrasi haruslah berada pada kaum elit, karena demokrasi adalah kompetisi kaum elit yang berada dalam masyarakat. Yang mewakili masyarakat dan keterwakilan tersebut akan berjalan dengan baik apabila partisi rakyat sedikit dalam menentukan kebijakan, agar terciptanya derajat kepercayaan yang tinggi terhadap pimpinan politik. Menurut Weber rakyat hanya memiliki sedikit pengaruh dalam pengambilan kebijakan.
3. Keunggulan
Keunggulan demokrasi menurut pandangan Karl Marx adalah bahwa kekuasaan benar-benar berada ditangan rakyat, hal ini sesuai dengan mekna demokrasi yang sesungguhnya yaitu Demos (kekuasaan) kratos (rakyat). Karl marx juga membela kaum proletar atau rakyat sebagai kaum mayoritas, dimana dalam demokrasi suara terbanyak atau mayoritas adalah berhak memperoleh kekuasaan.
Demokrasi menurut Max Weber adalah demokrasi yang mengidamkan terciptanya suatu Negara yang dianggap baik, karena Negara diatur oleh wakil-wakil rakyat yang mempunyai keahlian dibidangnya dan diharapkan akan membawa Negara kearah yang lebih baik
4. Kelemahan
Demokrasinya Karl Marx adalah demokrasi kediktatoran kaum buruh yang intinya pada suatu saat nanti akan terjadinya suatu keadaan yang tidak mengenal adanya kelas-kelas dalam masyarakat sehingga tidak ada lagi Negara. Karl Marx juga mengabaikan arti demokrasi substansial dan procedural, dimana kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan apabila menginginkan demokrasi yang sesungguhnya.
Demokrasinya Max Weber menjelaskan bahwa keengganan rakyat dalam perpolitikan dan sedikit campurtangan masyarakat dalam menentukan kebijakan akan menjadikan suatu Negara tersebut menjadi Negara Oligharkhi dimana dalam pemilu hanyalah sebagai formalitas saja, serta menimbulkan masyarakat yang golput. Hal seperti itu demokrasi tidak berjalan sesuai dengan makna demokrasi yang sesungguhnya.


Daftar Pustaka
  1. Giddens, Anthony. 1985. “Kapitalisme dan Teori Sosial Modern”. Universitas Indonesia : Jakarta.
  2. Magnis, Frasns dan Suseno. 1999. “Pemikiran Karl Marx”. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
  3. Suhelmi, Ahmad. 2007. “Pemikiran Politik Barat”. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
  4. Wrong, Dennis. 2003. “Max Weber Suatu Khasanah”. Ikon Teralitera : Yogyakarta.
  5. Lihat Max Weber “Aliran Protestan Dan Kapitalisme” halaman 155-156 dalam Anthony Giddens. 1985. “Kapitalisme dan Teori Sosial Modern”. Universitas Indonesia : Jakarta.
  6. Max Weber menjelaskan satu persatu ciri khusus ekonomi secara lebih terperinci dalam Ernes Mandel. 2006. “Tesis Tesis Pokok Marxisme”. Resist Book : Yogyakarta.
  7. Giddens, Anthony. 1985. “Kapitalisme dan Teori Sosial Modern”. Universitas Indonesia : Jakarta
  8. Mandel, Ernest. 2006. ”Tesis-tesis Pokok Marxisme”. Resist Book : Yogyakarta
  9. Suhelmi, Ahmad. 2007. “Pemikiran Politik Barat”. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta