Wacana
agama menjadi penggalan pendek dari garis sejarah peradaban panjang
umat manusia. Banyak sekali terjalin antara hubungan agama dengan
kaitannya aspek-aspek lain. Dan dalam hal ini Agama berperan penting
dalam perubahan sosial masyarakat dunia dalam kurun waktu yang cukup
lama.
Hubungan
agama dengan negara; hubungan islam dengan demokrasi; islamisasi ilmu
atau hindunisasi ilmu; ekonomi islam; kebangunan islam;
fundamentalisme agama dan pembaharuan pemikiran bisa jadi merupakan
daftar asesoris dari wacana hubungan panjang dan (mungkin) tidak pernah
selesai antara agama dengan perubahan social di masyarakat tersebut.
Hubungan tersebut dibangun dari rumusan pertanyaan dan ragam tesis
mengenai letak agama dalam perubahan social.
Kemajuan
sebuah masyarakat, seperti telah disinggung di atas pada dasarnya
ditandai semakin melebarnya deferensiasi struktural dibarengi ketajaman
spesialisasi, sekaligus homogenisasi budaya. Pada derajat tertentu
realitas kemajuan yang digambarkan ini bersifat antagonis, dengan
berkembangnya perbedaan agama yang membengkak.
A. Pandangan Max Weber
Pandangan
Weber mengenai etika ekonomi agama-agama dunia memiliki karaktersitik
non-historis , karena merupakan upaya untuk mengelompokkan berbagai
etika agama ke dalam kerangka uniter dan sistematik yang tidak
mengetahui pembangunan. Dalam semua ketegasannya terlihat kemampuan
Weber untuk mereduksi transisi-transisi logis, konsekuensi-konsekuensi
praktis dan teoritis melalui mana suatu agama. Di sini kebudayaan
memiliki karakter bentuk-bentuk geometris yang terisolir dan nyaris
tidak bisa ditembus yang dibangun dengan koherensi dan rasionalitas
sesuai dengan formula yang berbeda-beda.
Akan
tetapi bagi Weber, studi tentang agama-agama asketis adalah Agama
Budha, yang paling radikal di antara agama-agama ini, membebaskan
manusia dari lingkaran abadi kematian dan kelahiran kembali, melalui
kontemplasi dan kehancuran kehendak individu. Akibatnya, ia
mempresentasikan tipe asketisme yang secara diametral bertentangan
dengan tipe Calvinis. Orang mungkin berpendapat bahwa melalui
penyelidikan tentang tradisi inilah tentang asal-usul semangat
kapitalisme dalam kebutuhan psikologis untuk konfirmasi terbukti tidak
valid.
B. Pandangan Karl Max
Dikatakan oleh Marx bahwa dalam agama tidak ada bentuk realisasi diri yang sesungguhnya. Hal ini karena dalam agama manusia
hanya boleh tunduk dan tidak terbuka bagi dialog yang memberikan
kemungkinan bagi setiap individu untuk mengekspresikan dirinya. Agama
tidak mengembangkan jati diri manusia secara utuh, karena manusia hanya
tergantung pada otoritas semu yang diciptakannya sendiri.
Menurut Marx agama yang hanya mampu menghukum pemeluknya, pastilah agama ciptaan kaum kapitalis untuk
menindas dan ‘meninabobokan’ orang-orang kecil dengan doktrin-doktrin
kesalehan. Di mana dalam doktrin itu orang diharuskan hidup saleh
dengan olah tapa yang berat dan menerima penderitaan dengan sukarela
agar dapat memperoleh kemenangan di surga.
Jelas
bahwa Marx melihat dalam tindakan agama semacam itu orang sangat
tergantung pada ciptaannya sendiri. Manusia tidak otonom. Manusia harus
tunduk pada ketentuan-ketentuan yang telah dibuatnya sendiri. Marx
mengatakan bahwa dalam proses produksi setiap pekerja akan sangat dekat
barang yang sedang dibuatnya, sehingga ia dengan leluasa dapat
menyentuh dan memperlakukannya. Tetapi ketika barang itu berpindah
tangan, sang pekerja itu tidak lagi berkuasa atas barang itu.
Dalam
agama, menurut Marx, ketika manusia masih hidup sebagai makhluk yang
bebas –tanpa agama- ia dengan leluasa dapat membuat aturan-aturan,
sanksi, ritus dan lain-lain; tetapi ketika ia masuk dan mulai meyakini
suatu agama, manusia kemudian tunduk dengan aturan dan ritus yang
dibuatnya sendiri.
Di
samping itu juga, Marx melihat bahwa agama memberikan pembebasan dari
penindasan yakni dengan sikap pasrah. Inilah yang disebut oleh Marx
sebagai sifat fetisisme dengan merujuk pada benda-benda material yang
memiliki kekuatan supranatural. Marx mengatakan bahwa fetisisme agama
itu muncul ketika ilusi-ilusi dalam kehidupan diangkat menjadi doktrin
yang mau tidak mau harus ditaati oleh setiap individu. Fetisisme ini
akan melahirkan apa yang disebut oleh Marx sebagai ‘harapan semu orang
tertindas.’ Fetisisme agama membuat masyarakat tidak mampu bergerak
dengan leluasa untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman kemiskinan.
Mengenai
pendapat kedua tokoh tersebut, disini akan diterangkan persamaan,
perbedaan, keunggulan serta kelemahan tentang Max Weber dan Karl Marx.
Dan disini akan diterangkan sebagai berikut.
C. Persamaan
Persamaan
dari kedua tokoh tersebut dalam hubungannya tentang agama dan
perubahan social, ialah agama sebagai suatu ideology. Agama
mempengaruhi system-sistem dalam masyarakat mengenai ekonomi.
D. Perbedaan
Perbedaan
pandangan agama menurut Tokoh Max Weber ialah memandang bahwa agama
merupakan sebagai kelas. Weber menunjukkan bahwa tipe-tipe Protestanisme
tertentu mendukung pengejaran rasional akan keuntungan ekonomi dan
aktivitas duniawi yang telah diberikan arti rohani dan moral yang
positif. Ini bukanlah tujuan dari ide-ide keagamaan, melainkan lebih
merupakan sebuah produk sampingan – logika turunan dari doktrin-doktrin
tersebut dan saran yang didasarkan pada pemikiran mereka yang secara
langsung dan tidak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan-diri
dalam pengejaran keuntungan ekonomi.
Perbedaan
pandangan menurut Karl Marx, menurut Aforisme Marx yang cukup terkenal
prihal agama ialah "agama adalah candu dari masyarakat". Sebenarnya,
Marx tidak banyak menulis tentang agama sebagai ideologi, melainkan ia
melihat dari perspektif sosio historiografis masyarakat yang menjadikan
agama sebagai praktik pembenaran sepihak tanpa implementasi lebih
lanjut dalam praktik kehidupan.
E. Keunggulan
Pendapat
Weber tentang agama dan menjelaskan tentang ajaran Protestan adalah
merupakan hal positif karena sesuai dengan sifat dasar manusia yang
logis atau rasional dalam berbagai aspek kehidupan.
Pendapat
Karl Marx tentang agama ialah Agama berfungsi mengatur nilai-nilai di
dalam sebuah komunitas / masyarakat. Marx menggarisbawahi bahwa agama
tidak merupakan hanya gejala sekunder keterasingan manusia.
F. Kelemahan
Titik fokus dalam kajian Weber pandangannya terlalu terpaku pada budaya barat dengan agama Protestan sebagai kajian utamanya.
Sedangkan Karl Marx terlalu menganggap agama sebagai candu. Terlalu mencampuri Pemerintahan sebagai tamengnya adalah Agama.
Pandangan Karl Marx dan Max Weber mengenai Kapitalisme
Pandangan Karl Marx dan Max Weber mengenai Kapitalisme
Berbicara
mengenai Kapitalisme, sekarang sudah semakin merambah ke segala hal,
dimana terdapat pencarian keuntungan dan kesejahteraan yang terdapat
pada setiap diri manusia, karena pada hakikatnya manusia menginginkan
kebahagiaan dan kesejahteraan. kebahagiaan dan kesejahteraan tersebut
akan diperoleh apabila seseorang tersebut memiliki suatu barang untuk
memenuhi semua kebutuhannya, maka seseorang yang telah merasakan
kebehagiaan atau kesejahteraan secara kodrati manusia akan
mempertahankan bahagiaan tersebut. Hal yang bisa dilakukan untuk
mempertahankan kesejahteraan adalah bagaimana agar semua hal yang
dimiliki akan terus bertambah dan tak pernah habis.
Setiap
orang tidak bisa lari dari kenyataan bahwa segala sesuatu yang sedang
dan akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan adalah suatu hasil dari
kapitalisme, maka kepitalisme menarik untuk dikaji dan ditinjau dari
pendapat ahli yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan social
kemasyarakatan yaitu pandangan Karl Mark dan Max Weber mengenai
kapitalisme, mengingat kedua tokoh itu sangat respon terhadap masyarakat
yang menjadi pusat kajiannya.
Max Weber[1]
menyatakan bahwa semanngat Kapitalisme adalah perolehan uang
sebanyak-banyaknya dikombinasikan dengan menghindari secara ketat
menikmatinya sama sekli secara sepontan….
Demikian
Weber menjelaskan semangat kapitalisme dengan cara bekerja mencari
uang dan keuntungan yang sebanyak-banyaknya, tetapi keuntungan tersebut
tidak digunakan secara langsung untuk konsumsi atau untuk kenikmatan
pribadi semata. Dalam hal ini Max Weber mengaitkan perkembangan
kapitalisme dengan semangat kerja Protestan menggerakkan orang untuk
kerja keras, tekun, efisien, dan berprestasi karena perolehan kesuksesan
duniawi diartikan sebagai tanda keselamatan dari tuhan.
Menurut
Weber bentuk lain dari kapitalisme semuanya didapatkan dalam
masyarakat-masyarakat yang ditandai secara khas oleh tradisionalisme
ekonomi. Majikan-majikan kapitalisme modern yang memperkenalkan
metode-metode produksi kontemporer kedalam komunikasi-komunikasi yang
belum pernah mengenal metode-metode sebelumnya
….Pekerja
tradisional tidak berpikir dalam konteks untuk berusaha meningkatkan
upah hariannya setinggi mungkin, dia lebih memikirkan berapa banyak
pekerjaan yang harus ia lakukan agar gisa memperoleh penghasilan yang
bisa menutupi kebutuhan mereka.
Dalam
hal ini kapitalisme dipandang sebagai suatu ide yang mengenalkan suatu
metode baru yang sesuai dengan keadaan masyarakat pada saat itu,
majikan atau kaum borjuis digambarkan bukan sebagai seorang antagonis
seperti yang di katakana oleh Karl Marx melainkan seorang yang
samasekali bertolak belakang dengan ketamakan untuk memperoleh
kekayaan, dan saling berbagi dengan kaum pekerja dalam mencari
penghasilan dengan bekerja di perusahaan-perusahaan kaum borjuis.
Sedangakan Kapitalis menurut Karl Marx[2]
memiliki ciri khas yaitu adanya produksi komoditi, alat produksi
dimiliki oleh pribadi, produksi untuk memaksimalkan keuntungan, dan
kehendak untuk menumpuk kekayaan.
Kapitalis
dijelaskan oleh Marx adalah para borjuis yang mengekploitasi atas
pekerja. Karena dalam kapitalisme, hubungan antara para pengusaha atau
yang menciptakan lapangan kerja dengan kaum pekerja atau buruh
terhalang, disebabkan pengusaha yang menciptakan buruh itu terikat pula
dengan kaum pemilik modal yang memiliki buruh/pekerja itu sendiri.
Dengan kata lain hasil karya dari pekerja/buruh itu yang seharusnya
menjadi milik pekerja itu sendiri, sekarang tidak lagi dimiliki oleh
para pekerja melainkan dimiliki oleh kaum pemilik modal. Dengan demikian
berarti para pengusaha digambarkan sebagai pemilik kaum pekerja,
sehingga apa yang dihasilkan oleh pekerja adalah milik pemilik modal
yaitu Pengusaha/kaum borjuis. Dengan dianggapnya para pekerja adalah
milik pemilik modal maka pemilik modal akan memanfaatkan dengan sebaik
mungkin para pekerja untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar besarnya
meskipun pekerja tidak mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang
dihasilkan oleh pemilik modal
Dengan
adanya pemisahan kelas antara pemilik modal dan para pekerja maka
terciptalah kesenjangan atau ketidak adilan, dimana kaum pekerja
mendapatkan imbalan tidak layak atau tidak sesuai dengan apa yang
dihasilkan, hal ini akan menambah penderitaan kaum buruh karena tidak
mampu membeli kebutuhan karena keterbatasan upah. Sebaliknya kaum
pemilik modal mendapatkan keuntungan yang besar. Keuntungan tersebut
tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal
yang sudah mereka miliki. Pemilik modal memperluas pemasaran hasil
produksi, sehingga terjadi persaingan antar pengusaha dan berakibat pada
kaum buruh dimana para pekerja dipaksa untuk menghasilkan barang
sebanyak dan sebaik mungkin.
Dari
pendapat kedua tokoh tersebut maka dapat dilihat adanya persamaan,
perbedaan, dan keunggulan serta kelemahan dari masing-masing pendapat
tokoh tersebut di atas.
Persamaan
Persamaan
dari pendapat kedua tokoh tersebut adalah mereka adalah ciri
kapitalisme, menurut Max Weber ciri khas dari kapitalisme adalah suatu
kombinasi dari ketaatan kepada usaha dan memperoleh kekayaan serta
keuntungan yang tidak digunakan untuk konsumsi melainkan dikumpulkan
untuk meneruskan kegiatan ekonomi. Hal tersebut juga dijelaskan dalam
cirri khas kapitalisme menurut Karl Mark yaitu produksi untuk
memaksimalkan keuntungan dan kehendak untuk menumpuk kekayaan atau
akumulasi capital.
Perbedaan
Perbedaan pandangan menurut kedua tokoh diatas adalah Weber memandang kapitalisme yang merupakan bagian ajaran dari Protestanisme mengajarkan “Bekerjalah sekuat tenaga, tapi nikmati hasilnya sesedikit mungkin.”
Inti dari ajaran tersebut itu berjalan secara terbalik: maksimalitas
kapitalisme hanya mungkin dinikmati apabila diikuti dengan penekanan
atas penikmatannya. Menurutnya kerja atau penderitaan didahulukan
sebagai prasyarat bagi kenikmatan,
Sedngkan
menurut Marx, kombinasi kerja dan kenikmatan ini dipisahkan dalam
bentuk antagonisme kelas. Kerja digambarkan dan diperuntukkan kepada
kelas buruh yang bekerja tanpa memperolh kenikmatan dalam hidupnya,
sementara kenikmatan (yang merupakan hasil jerih payah dari kerja buruh)
dinikmati secara sepihak oleh kelas kapitalis. Akibatnya, logika yang
berlaku di sini adalah “buruh bekerja sekuat-kuatnya, pemilik modal menikmati sepuas-puasnya“.
Keunggulan
Pendapat
Max Weber mengenai kaitannya kapitalis dan ajaran protestan yang telah
dijelaskan di atas adalah merupakan hal yang positif karena sesuai
dengan sifat dasar manusia yang rasional dalam menjalankan kehidupannya.
Pendapat
Karl Marx mengenai kapitalis yang intinya adalah penindasan kaum
pemilik modal terhadap kaum buruh memberikan solusi terhadap terciptanya
keadilan bagi kedua golongan tersebut serta terjadinya
kesepakatan-kesepakatan yang akhirnya akan saling menguntungkan
(dialektika).
Kelemahan
Pandangan
Max Weber mengenai kapitalisme intinya brekerja dengan sekuat tenaga
dan menikmati hasil dari keuntungan tersebut agar dinikmati hasilnya
sedikit mungkin menyebabkan penekanan atas kenikmatan yang akan
memberikan efek penumpukan kekayaan oleh kaum borjuis atau akumulasi
capital, hal tersebut memberikan angin segar terhadap lahirnya
kapitalis-kapitalis di masa sekarang.
Sekangkan Karl Marx hanya memandang kapitalisme dari sudut pandang kaum borjuis pemilik modal perusahaan yang menindas kaum buruh, padahal kapitalisme bukan hanya sekedar berada dalam pemilik modal perusahaan. Dan pada perkembangannya kapitalisme juga lebih menghargai kaum buruh dengan mengadakan kesepakatan antara pemilik modal dan kaum buruh.
Pandangan Karl Mark dan Max Weber Tentang Demokrasi
Sekangkan Karl Marx hanya memandang kapitalisme dari sudut pandang kaum borjuis pemilik modal perusahaan yang menindas kaum buruh, padahal kapitalisme bukan hanya sekedar berada dalam pemilik modal perusahaan. Dan pada perkembangannya kapitalisme juga lebih menghargai kaum buruh dengan mengadakan kesepakatan antara pemilik modal dan kaum buruh.
Pandangan Karl Mark dan Max Weber Tentang Demokrasi
Demokrasi
merupakan sebuah system sosial yang muncul dari suatu proses sejarah
manusia yang membawa dirinya kedalam sebuah kelompok dan mengatur
pembagian kekuasaan didalamnya. Sejak runtuhnya uni soviet, demokrasi
dianggap sebagai sebuah system yang ideal yang dapat mengatur masyarakat
dengan lebih adil dan mendorong kepada kesejahteraan juga sebagai
system politik yang dinamis dan secara internal sangat beragam. Proses
demokrasi yang dianggap ideal adalah proses ketewakilanseluruh
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Model yang dianggap ideal
dalam pemahaman ini adalah model demokrasi lansung, seperti konsep
klasik polis Athena yang dianggap tidak akan dimungkinkan untuk
dilaksanakan dalam kondisi Negara besar dan dalam kondisi Negara yang
memiliki jumlah penduduk jutaan.
Pemahaman
kendala demokrasi langsung menyebar sebagaimana pemahaman akan
demokrasi menyebar di seluruh dunia saat ini. Demokrasi yang akan
dibahas adalah demokrasi menurut pandangan dua tokoh yaitu Karl Mark dan
Max Weber, kedua tokoh ini menarik untuk dibahas karena menimbulkan
pandangan yang kontrofersional antara keduanya.
Karl
Mark yang merupakan pelopor pemikir radikal yang menghendaki hilangnya
Negara dan munculnya Negara demokrasi langsung. Demokrasi digolongkan
menjadi demokrasi borjuis dan demokrasi ploretal. Menurut Marx sistem
demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat
mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan karenanya bukan sebagai
wahana politik yang murni serta mampu mengartikulasikan kepentingan kaum
proletar.
Negara
dianggap sebagai “panitia eksekutif kaum burjuis” dan alat yang dibuat
untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih
merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan dan
digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di bawah sebuah
diktator proletariat. Demokrasi borjuis juga bukan ditujukan untuk
membela apa yang disebut “kepentingan umum”, tetapi bahwa Negara borjuis
secara jelas mewakili sebuah alat untuk mempertahankan kepentingan
capital melawan kelas pekerja. Disini hanya kaum borjuis yang memiliki
hak untuk memilih. Hanya borjuis yang dapat dengan bebas menolak
mempekerjakan pekerja. Hal itu memperjelas bahwa Negara yang dianggap
demokratik diatas kelas-kelas kaum borjuis.
Menurut
Marx Negara kelas pekerja atau Negara proretar adalah pengganti atas
Negara borjuis yang pas untuk menggambarkan Negara yang demokrasi karena
Negara proletar akan meluaskan demokrasi langsung, jadi
demokrasi tidak hanya dimiliki oleh kaum minoritas borjuis, menciptakan
basis material bagi semua pelaksanaan kebebasan demokrasi untuk semua.
Max
Weber menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Beliau mengemukakan
demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam
masyarakat, sesuai dengan roses perubahan masyarakat modern yang semakin
terpisah menurut fungsi dan peran. Dengan makin berkembangnya
birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem pembagian kerja
modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang
betul-betul mampu secara langsung mengakomodasi kepentingan rakyat.
Menurut Weber, Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan
dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada
hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit.
Disini
Weber mengungkapkan demokrasi adalah merupakan upaya penciptaan
kepemimpinan politik efektif dalam masyarakat birokratis modern. Kondisi
itu baru tercipta jika para pemilih, rakyat hanya memiliki sedikit
pengaruh dalam pengambilan kebijakan. “Keengganan rakyat” dibutuhkan
dalam pengertian bahwa kontrol terhadap demokrasi serta partisipasi
dianggap tidak bisa tercapai dan tidak realistis. Karena itu, teori ini
mengakui bahwa demokrasi akan bekerja dengan sempurna apabila di
dalamnya masyarakat secara umum tidak berpartisipasi secara aktif dalam
setiap pengambilan kebijakan. Selain itu, keengganan rakyat tidak
dilihat sebagai hal buruk, malahan justru menjadi petunjuk bagi
tingginya tingkat derajat kepercayaan terhadap pemimpin politik dan
merupakan tanda kepuasan dasar dari pemilih dan cerminan “sehatnya
demokrasi”.
1. Persamaan
Dari
pandangan kedua tokoh di atas yaitu Max Weber dan Karl Marx terdapat
kesamaan yaitu bahwa demokrasi diciptakan untuk menciptakan suatu
tatanan masyarakat yang diidam-idamkan.
2. Perbedaan
Pendapat
Karl Mark demokrasi yang harus dijalankan adalah demokrasinya kaum
proletar, yangmana kekuasaan tertinggi berada pada kaum mayoritas, bukan
kaum minoritas borjuis yang berada di dalam parlemen suatu Negara.
karena pemimpin politik yang duduk di pemerintahan hanya memikirkan
bagaimana untuk mengontrol kaum proletar dan mempertahankan dan membela
kaum borjuis bukan menampung aspirasi kaum buruh. Menurut Marx
demoktasi haruslah berada sepenuhnya pada kediktatoran kaum
proletar/buruh.
Pandangan
demokrasi menurut Max Weber adalah demokrasi haruslah berada pada kaum
elit, karena demokrasi adalah kompetisi kaum elit yang berada dalam
masyarakat. Yang mewakili masyarakat dan keterwakilan tersebut akan
berjalan dengan baik apabila partisi rakyat sedikit dalam menentukan
kebijakan, agar terciptanya derajat kepercayaan yang tinggi terhadap
pimpinan politik. Menurut Weber rakyat hanya memiliki sedikit pengaruh
dalam pengambilan kebijakan.
3. Keunggulan
Keunggulan
demokrasi menurut pandangan Karl Marx adalah bahwa kekuasaan
benar-benar berada ditangan rakyat, hal ini sesuai dengan mekna
demokrasi yang sesungguhnya yaitu Demos (kekuasaan) kratos (rakyat).
Karl marx juga membela kaum proletar atau rakyat sebagai kaum mayoritas,
dimana dalam demokrasi suara terbanyak atau mayoritas adalah berhak
memperoleh kekuasaan.
Demokrasi
menurut Max Weber adalah demokrasi yang mengidamkan terciptanya suatu
Negara yang dianggap baik, karena Negara diatur oleh wakil-wakil rakyat
yang mempunyai keahlian dibidangnya dan diharapkan akan membawa Negara
kearah yang lebih baik
4. Kelemahan
Demokrasinya
Karl Marx adalah demokrasi kediktatoran kaum buruh yang intinya pada
suatu saat nanti akan terjadinya suatu keadaan yang tidak mengenal
adanya kelas-kelas dalam masyarakat sehingga tidak ada lagi Negara. Karl
Marx juga mengabaikan arti demokrasi substansial dan procedural,
dimana kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan apabila menginginkan
demokrasi yang sesungguhnya.
Demokrasinya
Max Weber menjelaskan bahwa keengganan rakyat dalam perpolitikan dan
sedikit campurtangan masyarakat dalam menentukan kebijakan akan
menjadikan suatu Negara tersebut menjadi Negara Oligharkhi dimana dalam
pemilu hanyalah sebagai formalitas saja, serta menimbulkan masyarakat
yang golput. Hal seperti itu demokrasi tidak berjalan sesuai dengan
makna demokrasi yang sesungguhnya.
Daftar Pustaka
- Giddens, Anthony. 1985. “Kapitalisme dan Teori Sosial Modern”. Universitas Indonesia : Jakarta.
- Magnis, Frasns dan Suseno. 1999. “Pemikiran Karl Marx”. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
- Suhelmi, Ahmad. 2007. “Pemikiran Politik Barat”. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
- Wrong, Dennis. 2003. “Max Weber Suatu Khasanah”. Ikon Teralitera : Yogyakarta.
- Lihat Max Weber “Aliran Protestan Dan Kapitalisme” halaman 155-156 dalam Anthony Giddens. 1985. “Kapitalisme dan Teori Sosial Modern”. Universitas Indonesia : Jakarta.
- Max Weber menjelaskan satu persatu ciri khusus ekonomi secara lebih terperinci dalam Ernes Mandel. 2006. “Tesis Tesis Pokok Marxisme”. Resist Book : Yogyakarta.
- Giddens, Anthony. 1985. “Kapitalisme dan Teori Sosial Modern”. Universitas Indonesia : Jakarta
- Mandel, Ernest. 2006. ”Tesis-tesis Pokok Marxisme”. Resist Book : Yogyakarta
- Suhelmi, Ahmad. 2007. “Pemikiran Politik Barat”. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta